Revitalisasi Menghormati Guru
Tak dapat dipungkiri, bagaimanapun juga, kehadiran pendidikan merupakan aspek pertama dan utama dalam proses pembangunan serta kemajuan suatu bangsa. Sebab, penguasaan dalam seluruh aspek kehidupan yang meliputi politik, sosial, ekonomi, hukum, dan lainnya bermula dari penguasaan pendidikan. Tanpa menguasai pendidikan, mutahil aspek lainnya bisa terlaksana, bagaikan menegakkan tali yang basah.
Padahal, meskipun aspek pendidikan sudah dipenuhi, itu pun belum menjamin ‘kesuksesan’ seseorang dalam menyelesaikan urusan aspek lain. Apalagi jika aspek pendidikan disepelekan, tentu urusan seluruh aspek lainnya akan carut-marut. Sebab, untuk dapat sukses mengurus seluruh aspek dibutuhkan ilmu. Sementara ilmu diperoleh melalui pendidikan. Sedangkan salah satu syarat utama untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat yaitu pencari ilmu (siswa) harus menghormati gurunya.
Ya, menghormati guru merupakan salah satu kunci sukses untuk meraih ilmu sebanyak-banyaknya dan bermanfaat. Lebih tepatnya, menghormati guru bisa dibilang menjadi kunci pengantar kesuksesan kehidupan baik di dunia maupun akhirat kelak. Sebab, dengan begitu, maka ilmu kita akan bermanfaat. Hal ini senada dengan salah satu hadist nabi yang secara substansial menjelaskan bahwa untuk dapat menguasai segala urusan baik yang bersifat duniawi, ukhrowi, maupun keduanya, maka kita harus berilmu.
Dalam salah satu kitab akhlak yang mengupas tuntas tentang pendidikan yakni Ta’lim al-Mutaallim, Syekh Ibrahim ibnu Isma’il telah menegaskan bahwa seorang pencari ilmu tidak akan pernah memperoleh ilmu yang bermanfaat kecuali dengan menghormati ilmu, para ahlinya, serta guru.
Namun ironisnya, kini banyak siswa cerdas secara intelektual namun tidak menghormati para gurunya, bahkan menyepelekannya. Padahal, mereka bisa menjadi cerdas, berwawasan, dan mengetahui dunia lantaran melalui guru. Maka, fenomena itu diibaratkan dalam satu pepatah, kacang lupa akan kulitnya. Sebagai salah satu ekspresi “geramnya”, sehingga KH. Bisri Mustofa dalam kitab akhlaknya membuat sya’ir “akeh bocah pinter nanging ora bagus-sebab budi pakertine podo gemagus”.
Syair tersebut menggambarkan potret kondisi kaum muda masa kini merupakan kaum yang terpelajar dan berpendidikan, namun tidak beradab. Pasalnya, mereka bukannya menggunakan ilmu untuk kemaslahatan umat, namun justru untuk ‘meliciki’ umat dan menjadikannya sombong. Maraknya perilaku koruptif pada masa kini merupakan salah satu bukti konkritnya yang tidak dapat dibantah.
Maka tidak heran jika kaum cendekiawan, terpelajar, bahkan kalangan agamis pun terlibat dalam kasus korupsi. Itu merupakan salah satu akibat ilmunya tidak bermanfaat dan tidak menghormati para gurunya. Sehingga, zaman sekarang banyak orang yang cerdas secara intelektual, namun minim secara spiritual. Maka, itu lebih berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Jadi, percuma apabila kita berhasil memperoleh ilmu yang banyak namun tidak bermanfaat. Dalam hal ini, Syekh Ibrahim mengibaratkannya sebagai orang hidup tapi pada hakikatnya dia ‘mati’. Artinya, meskipun seseorang telah memiliki ilmu melimpah, tapi di tengah masyarakat keilmuanya tidak dapat dinikmati, baik diri sendiri maupun orang lain. Karena itu, sungguh merugi orang semacam itu. Meskipun dia memiliki nyawa dan berilmu, namun tidak berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Padahal, para guru telah tulus ikhlas mentransformasikan ilmu-ilmunya kepada para siswanya di sekolah, demi mencerdaskan mereka. Dengan bersusah dan segala jerih payahnya, para guru berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengentaskan para muridnya dari jurang kebodohan. Hingga mereka rela meluangkan waktu, bahkan meninggalkan keluarganya demi meraih tujuan mulianya, meskipun sebagian guru tidak demikian. Maka, sungguh tepat jika guru menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Oleh sebab itu, setiap penuntut ilmu (siswa) secara mutlak harus menghormati gurunya. Itu menjadi poin yang tidak boleh dilupakan oleh siapapun jika dia ingin ilmunya bermanfaat dan berguna bagi nusa dan bangsa. Sehingga, dalam konteks ini, Ustadz Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, ketua ICMI Pusat, menegaskan bahwa siswa harus menghormati gurunya sebagaimana mereka menghormati kedua orang tuanya. Sebab, pada hakikatnya, guru adalah orang tua kedua.
Beliau berani berkata demikian sebab ketika siswa berada di rumah, pengelola utama yang mencerdaskannya ialah kedua orang tua. Namun, ketika siswa sudah berada di sekolah, maka pengelola utama yang mencerdaskannya ialah para gurunya. Sehingga, tanggung jawab dalam hal mencerdaskan antara orang tua dan guru setali tiga uang. Maka dari itu, bagaimanapun kondisinya, kapan pun, dan dimana pun berada, siswa harus tetap menghormati para gurunya, baik yang mengajarnya saat ini maupun di masa lampau. Terlebih, siswa harus menyayangi gurunya sebagaimana mereka menyayangi kedua orang tuanya.
Pemisalan ini sungguh tepat mengingat salah satu hadist nabi, ‘Ridlallahu bi al-Rilha al-Walidain”. Secara substansial, maksudnya ialah kerelaan (ridla) Allah itu bergantung pada kerelaan (ridla) kedua orang tuanya. Maka, konsep ini berlaku pula dalam hal menuntut ilmu. Apabila kedua orang tua ridla, maka Allah pun akan meridloi ilmu seorang anak yang sedang mencari ilmu. Begitu pula dengan guru sebagai orang tua kedua. Jika mereka meridloi, maka Allah juga akan meridloi ilmu siswa guru tersebut. Dengan diridloi ilmunya, maka siswa akan menjadi insan yang bermanfaat bagi siapapun, kapan pun, dan dimana pun berada.
Saking urgennya perihal menghormati guru, hingga salah satu sahabat nabi, yakni Sayyidina Ali RA. pernah berkata bahwa beliau merupakan ‘hamba’ orang yang mengajarinya ilmu. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, perkataan Ali tersebut diinterpretasikan bahwa Ali mengabdi (pasrah) sepenuhnya kepada para gurunya, pengabdiannya ibarat pengabdian seorang pembantu kepada tuannya.
Perilaku tersebut benar-benar diamalkan oleh beliau, sehingga beliau menjadi sosok insan yang cerdas dan bermanfaat bagi siapapun. Terbukti, beliau sukses menyandang gelar “Babu al-‘Ilm” dari nabi Muhammad, yang berarti pintu ilmu. Pengamalan Ali itu merupakan manifestasi dari salah satu hadist nabi yang secara substansial menegaskan bahwa barang siapa yang mengajarkan satu ayat dari Al-Qur’an kepada seorang hamba, maka dia (pengajar) adalah tuannya (hamba).
Oleh karenanya, dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, dalam penjelasan tentang penghormatan pencari ilmu kepada para pengajarnya, Syekh Ibrahim menggunakan kata “ta’dzim”. Sedangkan, dalam interpretasinya kata itu dimaknai dengan kata “ihtiram”, yang secara etimologi jelas berarti menghormati. Sebab, kata “ta’dzim” jika diartikan dengan menghormati, maka posisinya berada di atas arti menghormati dari terjemahan kata “ihtirom”. Maka, kata menghormati dari terjemahan kata “ta’dzim” sederajat dengan kata memuliakan.
Maka dari itu, di zaman modernisasi ini, kita semua harus memperkuat kembali jiwa hormat kita kepada para guru kita bagaimanapun, dimanapun, dan kapanpun, agar kita memperoleh ilmu yang bermanfaat. Dan yang terpenting, semua itu harus didasari dengan niat tulus ikhlas sebagai balas budi jasa guru kita. Dengan begitu, maka kita akan terhindar dari berbagai perilaku maupun tindakan negative yang telah melanda di negeri ini, terutama korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Wallahu a’lam bi al-showab.***
Guru MILB YKTM Budi Asih, Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang.