Kronologi Kasus Syafrudin, Petani Rumbai yang Didakwa 4 Tahun Karena Bakar Lahan 20 x 30 M
RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Pada 16 Maret 2019, Syafrudin (68), seorang petani di Rumbai, Kota Pekanbaru, Riau, ditangkap oleh anggota Polsek Rumbai dan langsung diperiksa penyidik sebagai tersangka karena diduga melakukan pembakaran lahan. Pada 17 Maret, Syafrudin ditahan.
Kejadian ini bermula ketika Syafrudin mengelola lahan yang sudah dikelolanya sejak 1993 dengan cara membakar onggokan sebanyak 10 buah dalam luas lahan 20 x 30 meter. Rencananya, lahan tersebut akan ditanami ubi, pisang, dan kacang panjang. Lokasi kejadian di KM 17 di pinggir jalan Rumbai (dekat pintu tol Pekanbaru-Dumai).
Syafrudin juga dketahui sudah memasang sekat bakar saat akan mengelola lahan. Selain itu, tanah yang ia kelola merupakan tanah mineral, bukan gambut.
Syafrudin membakar lahan kelolanya pada pukul 11.40 ketika matahari sedang terik. Sebelum membakar, ia sudah menebas semak-semak di ujung lahan guna menghindari api merembet. Setelah lahan terbakar, sebab posisi lahan yang persis di pinggir jalan, Syafrudin menjaga api agar tidak terpercik ke orang-orang yang ada di jalan.
30 menit setelah lahan terbakar dan Syafrudin yakin lahan akan baik-baik saja (sebab sudah membuat sekat bakar dan pengalamannya selama belasan tahun), ia meninggalkan lokasi untuk melaksanakan Salat Zuhur.
Ketika didatangi Bhabinkamtibmas Kelurahan Muara Fajar, Ardiansya, di kediamannya dan ditanyai siapa yang membakar lahan, karena Syafrudin merasa tak melakukan kesalahan apapun, ia pun mengakui perbuatannya dengan alasan ingin membuka lahan untuk bertani. Pada pukul 14.00, Syafrudin ditangkap anggota Polsek Rumbai.
"Ketika api sudah padam, datanglah mobil pemadaam kebakaran. Nah ini bukti bahwa apinya tidak besar. Jadi walaupun pemadam datang, api sudah bisa dipadamkan dengan mudahnya," ungkap Noval Setiawan, salah satu pengacara publik yang mengawal kasus ini, Jumat (17/1/2020).
Syafrudin didakwa Pasal 108 Jo Pasal 69 huruf h UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada pasal 69 ayat (1) huruf H dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Namun, pasal ini terbantahkan sebab Syafrudin tidak membuka lahan, melainkan mengelola lahan yang sudah sering dikerjakannya sejak 1993.
"Syafrudin ini terkena dakwaan alternatif tentang baku mutu udara atau pengrusakan lingkungan (Pasal 98 Ayat (1) UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) sebab dakwaan pertamanya terbantah. Beliau tidak membuka lahan baru, tapi mengelola lahan yang sudah biasa dikelolanya sejak 1993," ungkap Noval.
Kini, Syafrudin dituntut 4 tahun penjara atau denda Rp3 miliar.
Ahlul Fadli, salah satu aktivis Walhi menyatakan kemirisannya terhadap proses hukum Indonesia, terutama Riau. Sebab katanya, jika ingin membandingkan kerusakan lingkungan yang dihasilkan korporasi besar, maka Syafrudin tidaklah ada apa-apanya.
"Sejak 2014, Walhi bersama jaringan lembaga lain sudah melaporkan perkebunan yang melakukan pengrusakan lingkungan hidup. Tapi tidak ada yang diproses. Padahal kesalahannya sudah jelas. Ada pembakaran lahan, menebang pohon alam, lahannya gambut, dan merusak ekologis. Sebenarnya posisi penegak hukum kita ini gimana? Sudah berapa biaya habis menangani kasus Pak Syafrudin? Harusnya biaya-biaya itu bisa dimanfaatkan untuk penanganan kasus yang jauh lebih besar," jelasnya.
Reporter: M. Ihsan Yurin