Arsul Sani Soal Uighur: NU dan Muhammadiyah Tak Mungkin Bisa Dibeli
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Arsul Sani meyakini organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak mungkin bisa dibeli untuk menutup mata terkait kondisi muslim Uighur, Xinjiang, China.
Hal ini disampaikan Arsul merespons laporan Wall Street Journal (WSJ) yang melaporkan ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, sejumlah media, hingga akademisi di Indonesia dirayu China agar tidak mengkritik dugaan persekusi yang diterima etnis minoritas Muslim Uighur.
"Saya kira enggak mungkin organisasi sebesar NU dan Muhammadiyah kemudian bisa dibeli untuk kemudian tutup mata dan lain sebagainya," kata Arsul kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (13/12/2019).
Dia juga mempertanyakan laporan yang dibuat WSJ, apakah sudah melihat pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh NU dan Muhammadiyah terkait Uighur selama ini.
Laporan WSJ menurut Arsul tidak bisa menjadi dasar, karena laporan tersebut memiliki sudut pandang tertentu.
"Kita juga tidak boleh hanya mendasarkan, katakanlah, laporan media barat yang juga punya interest tertentu, kemudian kita mengamini begitu saja," kata politisi PPP ini.
Sebelumnya, laporan WSJ menyebut China membujuk sejumlah organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, sejumlah media, hingga akademisi di Indonesia agar tak lagi mengkritik dugaan persekusi yang diterima etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.
Isu Uighur mencuat kembali pada 2018 usai sejumlah organisasi HAM internasional merilis laporan yang menuding China menahan satu juta Uighur di kamp penahanan layaknya kamp konsentrasi di Xinjiang.
WSJ memaparkan China mulai menggelontorkan sejumlah bantuan dan donasi terhadap ormas-ormas Islam tersebut setelah isu Uighur kembali mencuat ke publik.
WSJ juga menyebut pemerintah China membiayai sejumlah ormas Islam dan pimpinan media di Indonesia untuk berkunjung ke Xinjiang.
Undangan diberikan tak lama setelah sejumlah ormas Islam bereaksi terhadap kondisi umat muslim Uighur. Para pemimpin Muhammadiyah, misalnya, sempat mengeluarkan surat terbuka pada Desember 2018 lalu yang menyuarakan dugaan kekerasan terhadap komunitas Uighur.
Muhammadiyah bahkan menuntut penjelasan China dan memanggil duta besarnya di Jakarta.
Sejumlah kelompok Islam bahkan berunjuk rasa di depan kedubes China di Jakarta sebagai bentuk protes terhadap dugaan penahanan itu. Namun, sejak undangan kepada ormas Islam untuk berkunjung ke Xinjiang, WSJ melaporkan bahwa pandangan para pemuka agama Islam Indonesia berubah.
Wakil Sekjen PBNU Masduki Baidlowi membantah isu organisasinya dirayu oleh China terkait muslim Uighur. Dia menduga tuduhan itu dilontarkan karena sikap Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat atau negara Barat yang selalu mengecam tindakan China terhadap Uighur.
"Jangan karena kita tidak senada dengan Barat seolah dibeli oleh China. Itu pernyataan kasar dan tidak sopan," kata Masduki.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti ikut membantah laporan WSJ. Dia menegaskan Muhammadiyah akan selalu independen.
"Muhammadiyah tidak akan menyampaikan suatu pandangan karena sumbangan. Apalagi selama ini tidak ada sumbangan untuk Muhammadiyah," kata Abdul M'uti, Kamis (12/12/2019).