Sejarah Ujian Nasional yang 6 Kali Ganti Nama Sejak 1950
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Ujian Nasional (UN) akhirnya akan tinggal kenangan. Mendikbud Nadiem Makarim mengumumkan menghapus UN mulai tahun 2021. Sebelum UN dihapuskan, dalam perjalanan sejarahnya UN telah mengalami beberapa perubahan istilah.
Mulanya UN digelar pemerintah untuk bisa mengukur kualitas pendidikan di suatu daerah. Nantinya, nilai UN inilah yang akan dijadikan gambaran untuk memetakan kebijakan pendidikan di daerah.
Sebagaimana dikutip dari laman resmi Kemendikbud, UN punya sejarah panjang sejak masa pemerintahan Sukarno. Istilah UN sudah mengalami enam kali perubahan nama.
Periode 1950 sd 1964: Ujian Penghabisan
Awalnya, ujian akhir yang bersifat nasional pertama kali diselenggarakan pada tahun 1950. Ujian ini terus dilaksanakan hingga tahun 1964. Ujian di akhir jenjang sekolah ini kemudian disebut sebagai Ujian Penghabisan.
Soal-soal Ujian Penghabisan dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Soal-soal yang diujikan berbentuk uraian/esai dan hasil ujian diperiksa di pusat rayon.
Periode 1965 sd 1971: Ujian Negara
Kemudian, pada periode tahun 1965 hingga 1971, ujian ini diubah lagi namanya menjadi Ujian Negara. Tujuan ujian ini adalah untuk menentukan kelulusan, sehingga siswa dapat melanjutkan ke sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri apabila telah lulus Ujian Negara. Sedangkan bagi yang tidak lulus Ujian Negara tetap memperoleh ijazah dan dapat melanjutkan ke sekolah atau perguruan tinggi swasta.
Bahan Ujian Negara disiapkan seluruhnya oleh pusat dan hanya ada satu perangkat naskah ujian untuk seluruh wilayah Indonesia. Naskah ujian menggunakan soal bentuk uraian dan jawaban singkat dengan tingkat kesulitan soal relatif tinggi, serta memiliki kompleksitas jawaban yang memerlukan kemampuan berpikir tinggi. Yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan ujian adalah pemerintah pusat, yang dibantu oleh panitia ujian dari masing-masing wilayah (provinsi).
Pelaksanaan ujian dilakukan hanya satu kali dalam satu tahun pelajaran yaitu pada akhir tahun pelajaran pada kelas terakhir. Prosedur pelaksanaan ujian, pengawasan, dan pengolahan hasil ujian ditetapkan oleh Pusat.
Periode 1972 sd 1979: Ujian Sekolah
Kemudian, memasuki tahun 1972, Ujian Negara berganti menjadi Ujian Sekolah. Tujuan ujian adalah untuk menentukan peserta didik tamat atau telah menyelesaikan program belajar pada satuan pendidikan. Seluruh bahan ujian disiapkan oleh sekolah atau kelompok sekolah.
Mutu soal sangat bervariasi, tergantung mutu sekolah/kelompok sekolah. Bentuk soal yang digunakan pun berbeda antarsekolah/kelompok sekolah, dan yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan ujian adalah sekolah/kelompok sekolah.
Pelaksanaan ujian pada masa ini sama dengan pelaksanaan ujian pada masa sebelumnya yaitu hanya dilaksanakan satu kali dalam satu tahun pelajaran yang dilakukan pada akhir tahun pelajaran. Pemerintah pusat hanya menerbitkan pedoman penilaian yang bersifat umum. Pemeriksaan hasil ujian dilakukan di tingkat sekolah.
Kriteria tamat ditentukan oleh masing-masing sekolah dengan tidak mengenal Lulus atau Tidak Lulus, tetapi menggunakan istilah TAMAT. Biaya ujian sepenuhnya ditanggung oleh peserta didik. Persentase kelulusan sangat tinggi bahkan dapat dikatakan semua peserta didik lulus (100%), namun mutu lulusan tidak dapat diperbandingkan. Sistem Ujian Sekolah berlangsung hingga tahun 1979.
Periode 1980 sd 2002: Ebtanas dan Ebta
Memasuki tahun 1980, ujian nasional dikenal dengan nama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional atau lebih sering disingkat Ebtanas (untuk mata pelajaran pokok) dan Ebta (untuk mata pelajaran non-Ebtanas). Tujuan dari Ebtanas dan Ebta adalah untuk memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar (STTB).
Pada masa awal diberlakukannya mata pelajaran yang diujikan dalam Ebtanas adalah Pendidikan Moral Pancasila (PMP), kemudian pada tahun berikutnya ditambah dengan beberapa mata pelajaran lainnya. Sejumlah mata pelajaran pokok diujikan melalui Ebtanas, sedangkan mata pelajaran lainnya diujikan melalui Ebta.
Bahan Ebtanas yang berupa kumpulan soal disiapkan oleh pusat (Dit. Pendidikan Dasar dan Menengah). Panitia daerah merakit paket tes dan menggandakannya. Sedangkan bahan ujian Ebta disiapkan oleh masing-masing sekolah/daerah/wilayah. Tanggung jawab penyelenggaraan Ebtanas dan Ebta adalah sekolah, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Pelaksanaan ujian dilaksanakan satu kali dalam satu tahun pelajaran yaitu pada akhir tahun pelajaran.
Periode 2003 sd 2004: UAN
Pergantian istilah kembali terjadi. Tahun 2003, Ebtanas diganti menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Tujuan UAN adalah untuk menentukan kelulusan, pemetaan mutu pendidikan secara nasional, dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Bahan mata pelajaran yang diujikan terdiri atas tiga mata pelajaran yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris yang disiapkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) dengan menggunakan soal-soal dari Bank Soal Nasional. Untuk mata pelajaran lainnya disiapkan oleh sekolah atau daerah dengan menggunakan Standar Kompetensi Lulusan dan Panduan Materi dari Puspendik.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan UAN. Pemeriksaan hasil ujian (scanning dan scoring) dilakukan di provinsi dengan kunci jawaban dikirim dari Pusat. Nilai peserta didik diberikan ke sekolah penyelenggara ujian melalui penyelenggara ujian tingkat kabupaten/kota.
Kriteria kelulusan UAN tahun 2003 adalah (a) memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional, (b) tidak terdapat nilai < 3.00, (c) nilai rata-rata (UAN +UAS) minimal 6.00.
Sedangkan pada UAN tahun 2004 kriteria kelulusan adalah (a) memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional, (b) tidak terdapat nilai < 4.00, (c) nilai rata-rata (UAN +UAS) minimal 6.00.
Biaya ujian ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh Kemendikbud, UAN ini dinilai punya kelebihan karena ada resiko tidak lulus, sehingga diasumsikan peserta didik lebih giat belajar dan guru lebih serius dalam mengajar. Inilah yang nantinya dijadikan pemetaan mutu pendidikan di tiap daerah.
Periode 2005 hingga 2020: Ujian Nasional (UN)
Lalu pada tahun 2005, istilah ujian berubah lagi menjadi Ujian Nasional (UN). Tujuan ujian ini adalah untuk menentukan kelulusan, membuat pemetaan mutu pendidikan secara nasional, dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Seluruh soal disiapkan okleh pusat dengan menggunakan soal-soal dari Bank Soal Nasional. UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dibantu Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik). Penyelenggaraan UN di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, yaitu tingkat provinsi dibawah tanggungjawab gubernur, tingkat kabupaten/kota oleh bupati, dan tingkat sekolah oleh kepala sekolah penyelenggara UN.
Biaya Ujian Nasional ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Mutu lulusan berdasarkan nilai rata-rata peserta didik meningkat.
Namun pada tahun 2015, nilai UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa. Sekolah diberi otonomi untuk meluluskan atau tidak meluluskan siswanya.
Mulai 2021: Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter
2020 adalah tahun terakhir bagi UN. Mendikbud Nadiem mengumumkan akan menghapus UN mulai 2021, saat Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019) lalu.
Nadiem mengubah format lama UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Asesmen Kompetensi Minimum terkait literasi membaca siswa dan numerasi siswa. Sedangkan survei karakter ialah tentang iklim penanaman karakter di sekolah pada siswa.
Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tidak lagi dilakukan di akhir jenjang sekolah seperti Ujian Nasional melainkan di tengah jenjang. Itu berarti mulai 2021, asesmen ini diadakan saat kelas 4 SD dan bukan kelas 6 SD, kelas 8 SMP dan bukan kelas 9 SMP, juga kelas 11 SMA bukan kelas 12 SMA. Inilah yang paling membedakan format baru ini dari ujian-ujian sebelumnya.
Karena tak diterapkan di jenjang akhir sekolah, nilai Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tak bisa jadi dasar seleksi. Siswa tak bisa menggunakan nilai ini untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, seperti misalnya untuk syarat masuk Perguruan Tinggi.**