Menyoal Perkawinan Beda Agama
Salah satu isu hangat yang menyedot perhatian publik akhir-akhir ini, terkait dengan kegiatan keagamaan, adalah masalah pernikahan beda agama. Hal itu dipicu oleh lima anak muda alumnus dan mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia (UI) beberapa waktu lalu. Mereka mengajukan judicial review alias uji materi atas pasal 2 ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka beralasan, ketentuan dalam UU tersebut melanggar HAM bagi pasangan nikah beda agama, sebab telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.
Akibatnya, rakyat yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama melakukan penyeludupan hukum. Caranya, menggunakan modus pernikahan di luar negeri, yang membenarkan perkawinan beda agama, lalu mencatatkannya di catatan sipil Indonesia, padahal perkawinan seperti itu tidak dibenarkan di Indonesia. Atau juga dengan melakukan penikahan secara adat atau bahkan diam-diam, dan yang paling berbahaya adalah melakukan kumpul kebo, berkumpul bersama bagaikan suami istri, tanpa ikatan perkawinan. Model yang terakhir ini, dapat dipastikan adalah perbuatan zina yang tak dapat ditoleransi, baik oleh hukum agama maupun oleh hukum adat.
Pandangan Hukum Islam
Apabila dilihat dalam hukum Islam, sebagaimana termuat dalam fiqh-fiqh Islam, para ulama sepakat, bahwa seorang wanita muslimah haram hukumnya menikah dengan seorang laki-laki non muslim. Para Ulama juga sepakat bahwa laki-laki muslim haram menikah dengan wanita musyrikah. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam QS:al-Baqarah: 221, yang artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka (laki-laki musyrik itu) beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."
Selain itu, para ulama juga sepakat dibolehkannya seorang laki-laki muslim menikah dengan seorang wanita ahlul kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan). Hal ini sesuai firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5 yang artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi alkitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu. Bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan di hari kiamat termasuk orang-orang merugi."
Sebagian lain berpendapat pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan non muslim tidak boleh. Alasannya, ahlul kitab yang hidup di zaman sekarang tidaklah sama dengan ahlul kitab di masa Nabi Muhammad SAW. Tegasnya, ahlul kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik. Ini disebabkan kaum nasrani meyakini bahwa Isa adalah anak Allah. Sedangkan kaum Yahudi berpendapat Uzair anak Allah. Dengan fakta bahwa seluruh ahlul kitab zaman kini telah musyrik, maka dalil yang digunakan sebagai sandaran adalah kembali pada “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (QS al Baqoroh:221).
Persoalannya adalah bukankah kaum Nasrani telah mengakui bahwa Isa adalah anak Allah dan juga Yahudi telah mengakui Uzair sebagai anak Allah sebelum kerasulan Muhammad SAW.
Perlu digarisbawai bahwa, terbuka peluang bagi seorang laki-laki muslim, untuk melakukan pernikahan dengan seorang perempuan ahlul kitab, sekalipun dengan catatan, sebagaimana disyaratkan dalam QS al-Maidah:5 itu, yaitu haruslah wanita baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan pezina. Dengan kriteria tersebut, kelompok yang membolehkan pria muslim menikahi ahlul kitab harus mengusahakan calon istrinya memenuhi syarat tadi. Jika perempuan ahlul kitab yang tidak memenuhi kriteria dimaksud, maka perempuan tersebut tidak boleh dinikahi oleh seorang pria muslim. Atau dalam kata lain, haram hukumnya bagi seorang laki-laki muslim menikahi perempuan ahlul kitab yang seperti itu.
Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1). Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang tersebut di atas menggambarkan bahwa suatu perkawinan adalah merupakan ikatan lahir batin yang tidak boleh dikhianati oleh masing-masing pihak dan akan dipertahankan terus menerus. Perkawinan dimaksud harus dilaksanakan menurut tata cara yang ditetapkan oleh agama yang bersangkutan, bukan oleh beberapa agama yang bersangkutan.
Tujuan utama dari sebuah perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah QS Ar Rum:21 yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang (sakinah mawaddah warrohmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir".
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari ayat tersebut di atas yang sekaligus menggambarkan konsep keluarga sakinah di dalam agama Islam, yaitu: Pertama, penyebutan suami-istri (berpasang-pasangan) dalam ayat tersebut adalah memakai kata Azwaj. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara suami dan istri. Keduanya terjalin hubungan kemitra sejajar atau dalam kata lain tidak ada hubungan struktural (atas bawah) tetapi yang ada adalah hubungan fungsional (saling melengkapi). Kedua, dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara suami-istri adalah untuk mewujudkan “sakinah” yaitu ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan. Ketiga, dalam ayat tersebut juga disebutkan mawaddah (cinta kasih) dan rahmah (kasih sayang). Kedua kata ini menggambarkan jalinan yang sangat erat antara kedua bagian dari pasangan dan bahkan sulit dibedakan maknanya. Namun demikian tetap dapat dipisahkan, yaitu mawaddah lebih berkonotasi biologis, sedangkan rahmah lebih berkonotasi psikologis.
Bisakah Beda Agama Mewujudkan Sakinah
Pertanyaan utama dalam kajian ini adalah, apakah perkawinan yang dilakukan oleh dua sejoli yang berbeda agama, dapat mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah? Sebagaimana diketahui bahwa setiap penganut agama adalah juru dakwah bagi agamanya, sehingga masing-masingnya mempunyai kewajiban untuk mengajarkan dan mendakwakan agamanya kepada umatnya, yang dimulai dari orang-orang terdekatnya. Anak bagi suami istri akan menjadi ladang dakwah utama, sebab kewajiban utama seorang juru dakwah adalah menyelamatkan keluarganya dari api neraka, yang dimulai dari keluarga terdekatnya, yaitu anak keturunan. Hal ini sesuai firman Allah dalam QS At Tahrim:6.
Jika hal ini terjadi maka akan terjadi bentrok dalam pembinaan anak antara seorang suami dan istri, anakpun akan bingung apakah akan mengikuti agama ayahnya ataukah mengikuti agama ibunya, ataukah justru dibagi secara adil, sesekali ikut agama ayahnya dan sesekali ikut agama ibunya, sesekali beribadah ke masjid dan sesekali beribadah ke gereja. Jika ini dilakukan, dapat dipastikan akan terjadi kekacauan besar dalam beribadah. Dan ini dipastikan tidak akan mendatangkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.***
Kepala Kantor Kementerian Agama Rokan Hulu, Riau.