KPU tak Larang Koruptor Ikut Pilkada 2020
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya tak memasukkan aturan larangan terhadap terpidana kasus korupsi yang hendak mencalonkan diri dalam Pilkada 2020 dalam Peraturan KPU. Aturan tersebut tak ada dalam PKPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengatakan, pihaknya berharap DPR dan pemerintah memasukkan larangan koruptor maju pilkada dalam undang-undang.
"Kita berharap itu kan dimasukkan dalam undang-undang, karena kita juga sekarang ini kan lebih fokus pada tahapan. Jadi supaya jangan terlalu misalnya menjadi lama," tutur Evi Novida saat dihubungi, Jumat (6/12).
Dalam pasal 4 soal persyaratan calon kepala daerah di dalam PKPU Nomor 18 Tahun 2019, tidak ada larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi. Pasal 4 ayat H masih sama dengan aturan sebelumnya, yakni PKPU Nomor 7 Tahun 2017 yang hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana. Dua mantan terpidana yang tersirat disebutkan dilarang dalam PKPU antara lain bukan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
Namun, Evi mengatakan, PKPU Nomor 8/2019 ada penambahan Pasal 3A yang intinya bakal calon kepala daerah diutamakan bukan mantan terpidana korupsi. KPU berharap pengaturan larangan mantan terpidana korupsi dicantumkan dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum maupun UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dua UU tersebut rencananya akan direvisi dan mulai dibahas dalam program legislasi nasional 2020.
"KPU tetap dalam prinsipnya melarang, ingin melarang napi untuk maju sebagai kepala daerah. Tapi kami minta kepada partai politik untuk mengutamakan yang bukan napi koruptor," kata Evi.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sudah memprediksi tidak dicantumkan larangan koruptor dalam PKPU. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menuturkan, KPU berhadapan dengan ekosistem hukum dan politik yang tidak mendukung terobosan larangan koruptor mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Menurut dia, KPU berada dalam dilema yang dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk mengesahkan peraturan teknis pencalonan. Jika memaksakan pengaturan pencalonan mantan napi, risikonya pengesahan PKPU pencalonan akan berlarut-larut.
Titi mengatakan, kalau KPU memaksakan larangan tersebut, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) pasti akan menolak mengundangkan PKPU pencalonan tersebut. Alasannya, karena bertentangan dengan UU dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau KPU tetap mengatur sekalipun, Kemenkumham pasti tidak bersedia mengundangkannya karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," kata Titi.
Selain itu, pasti juga akan segera diuji oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Agung (MA) dan bisa dipastikan akan dibatalkan oleh MA. KPU juga akan dilaporkan pihak-pihak yang kontra ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Titi melanjutkan, KPU dianggap sudah bertindak di luar ketentuan hukum dan membuat ketidakpastian proses pencalonan. Perludem menaruh harapan besar pada putusan Mahkamah Konstitusi agar mengabulkan permohonan uji materi yang dilayangkan Perludem.
Permohonan itu yakni pencalonan mantan napi dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Rencananya MK akan memutus perkara tersebut pada Rabu (11/12) mendatang. "Kami berharap MK akan memberikan kejelasan dan angin segar bagi upaya kita mendapatkan calon kepala daerah yang berintegritas," tutur Titi.
Sebelumnya, sikap fraksi partai politik di DPR juga tidak tegas terkait larangan koruptor maju pilkada. Fraksi-fraksi di DPR masih belum menganggap larangan ini layak dimasukkan dalam UU Pilkada. Ketua Fraksi PDIP di DPR Utut Adianto menegaskan, keinginan KPU untuk memasukan aturan larangan eks koruptor maju pilkada harus didiskusikan terlebih dahulu.
"Ya kalau itu kan nanti bagian dari yang harus di (diskusikan), itu kan printilan-printilannya, kalau kita bicara undang-undang kan bicara konsep besarnya," ujarnya.
Sikap ragu-ragu juga ditunjukkan anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yaqut Cholil Qoumas. Meskipun, secara pribadi ia mendukung larangan eks koruptor maju pilkada. Namun, Yaqut menganjurkan sebaiknya aturan tersebut dikaji terlebih dahulu.
Namun, dukungan adanya larangan koruptor maju pilkada dilontarkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota komisi II DPR Fraksi PKS Mardani Ali Sera menegaskan mendukung KPU memasukkan aturan larangan eks koruptor di pilkada. "Kepentingan publik di atas hak privat," kata Mardani.**