Tujuh Anak Buah Tito Diperiksa Polisi soal Kode Terkait Desa Fiktif
RIAUMANDIRI.ID, KENDARI - Penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polda Sultra telah memeriksa tujuh orang saksi tambahan dari pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berkait dugaan desa fiktif di Kabupaten Konawe.
Kabid Humas Polda Sultra AKBP Harry Goldenhart menyatakan pemeriksaan terhadap tujuh orang pejabat Kemendagri ini guna mendukung pengumpulan alat bukti kasus dugaan desa fiktif di Kabupaten Konawe.
Kementerian Dalam Negeri sendiri dipimpin oleh Tito Karnavian yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolri.
"Minggu lalu, tim penyidik ke Jakarta memeriksa tujuh orang saksi dari Kemendagri," kata Harry di Mapolda Sultra, Rabu (27/11).
Harry tak menampik, pemeriksaan terhadap pejabat Kemendagri ini terkait pemberian kode wilayah terhadap 56 desa yang diusulkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pendefinitifan Desa di Kabupaten Konawe.
"Itu domain penyidik (soal pemberian kode wilayah 56 desa)," singkat Harry.
Sejauh ini, beber Harry, sudah ada 64 saksi yang diperiksa dalam dugaan desa fiktif di Kabupaten Konawe. Sebanyak 57 saksi diperiksa di Mapolda Sultra yang terdiri dari pejabat desa, pejabat Pemerintah Kabupaten Konawe dan pejabat di Pemprov Sultra.
Pemeriksaan terhadap sejumlah saksi ini untuk mendukung pengumpulan alat bukti kasus dugaan desa fiktif mengingat status perkara ini sudah naik ke tahap penyidikan.
Ia menegaskan, Polda Sultra akan terus mengusut kasus ini sekalipun banyak pihak menilai masalah ini sudah selesai. Sebab, kata Harry, penanganan kasus ini dimonitor oleh Bareskrim Mabes Polri dan disupervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain memeriksa sejumlah saksi, polisi juga telah meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit jumlah kerugian negara.
Evaluasi Perda
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, Nata Irawan meminta Pemerintah Kabupaten Konawe, melakukan evaluasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2011.
Kemendagri menilai, munculnya isu desa fiktif lantaran adanya Perda yang cacat hukum.
Akibat kesalahan prosedur itu, menyebabkan 56 desa yang tercantum dalam Perda secara yuridis dikatakan cacat hukum dan menyebabkan kelembagaan desa tidak berjalan.
Dari total 56 desa yang tercantum dalam Perda, setelah dilakukan verifikasi dari Tim Kemendagri, 34 desa dinyatakan memenuhi syarat ditetapkan menjadi desa.
Sedangkan 18 desa masih perlu pembenahan administrasi, serta 4 desa terdapat perbedaan data jumlah penduduk dan luas wilayah sehingga perlu dievaluasi.**