Teras Narang Setuju Pilkda Dikembalikan ke DPRD
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Ketua Komite I (Pemerintahan Daerah) DPD RI Teras Narang menyebutkan bahwa masih terbuka pemilihan kepala daerah (pilkada), yaitu pemilihan gubernur, bupati dan walikota) dikembalikan ke DPRD. Untuk mengembalikan ke DPRD tidak perlu dengan mengamandemen UUD 1945.
"Untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD masih terbuka karena dalam UUD 1945 disebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Tapi untuk presiden secara tegas disebutkan dipilih langsung oleh rakyat," kata Teras Narang dalam diskusi bertema "Apakah Pemilihan Kepala Daerah Dikembalikan ke DPRD?" di Media Center DPR, Kamis (14/11/2019).
Pada prinsipnya Teras Narang menyatakan setuju jika pilkada dikembalikan ke DPRD, tapi hanya untuk pemilihan bupati dan walikota. Untuk pemilihan gubernur tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.
"Saya setuju pilkada pemilihan bupati dan walikota dilakukan oleh DPRD. Untuk provinsi (gubernur) dipilih langsung oleh rakyat dalam pilkada sertentak karena kapasitas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah," kata mantan Gubernur Kalteng itu.
Dijelaskan Teras Narang, pilkada pemilihan langsung di tingkat provinsi itu, sesuai dengan desertasi dia. Kenapa dia cenderung pemilihan gubernur tetap dilakukan secara langsung? Yaitu agar konsep presiden, konsep wakil pemerintah pusat yang ada di daerah itu berada dalam satu alur.
"Gubernur karena kapasitasnya sebagai pembina, pengawas dan pemberi supervisi terhadap kabupaten kota, maka pemilihannya langsung. Di bawah presiden itu langsung gubernur yang mengkoordinasikan semua program yang dilaksanakan oleh Presiden," jelasnya.
Mengapa dia setuju pilkada bupati dan wali kota dikembalikan ke DPRD? Alasan Teras Narang ada dua faktor, pertama untuk penghematan anggaran negara dan kedua menimalisir konflik di tengah masyarakat akibat pilkada langsung tersebut.
Berdasarkan catatan-catatan yang dimilik Teras Narang, untuk memilih gubernur dan ditambah satu pemilihan pasangan kepala daerah di kabupaten, bisa menghabiskan biaya kurang lebih Rp327 milyar.
"Itu hanya pemilihan satu gubernur dan satu kabupaten kota. Jadi saya bilang mahal sekali. Apalagi nanti kalau tambah banyak maka tambah mahal lagi. Saya berfikir, bagaimana kalau uang Rp327 miliar ini dijadikan untuk membangun Sekolah Dasar (SD), SMP, SMA, Puskesmas kita tambah dan lain sebagainya," kata Teras.
Sedangkan dana yang dihabiskan kalau pemilihan kepala daerah itu dilakukan oleh DPRD hanya menghabiskan anggaran yang tidak lebih dari Rp5 miliar. "Berarti apa?, Ada unsur penghematan nya dari segi biaya.
Kemudian, lanjut Teras Narang, jika mengikuti perkembangan yang terjadi selama ini dalam pilkada langsung, terjadi konflik yang luar biasa. Kadang-kadang satu rumah bisa bermusuhan. "Apalagi bermusuhan itu terjadi di satu bantal, sulit untuk membayangkan," kata Teras sambil tertawa.
Dalam diskusi tersebut, Teras Narang mencerita proses dari awal pembuatan UU yang mengatur soal pilkada langsung itu yang dimulai dari lahir Undang-Undang 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian dirubah dengan 32 tahun 2004 dan terakhir dirubahkan lagi menjadi Undang-Undang 23 tahun 2014.
"Perubahan-perubahan ini saya tahu betul. Kebetulan saya dipercaya sebagai Ketua Komisi II DPR RI pada saat itu. Saya ketua yang menangani permasalahan ini. Memang terjadi satu perdebatan yang luar biasa, tidak terhadap presiden, karena terhadap presiden dan wakil presiden itu sudah final," ungkap Teras Narang.
Sedangkan pembicara lainnya yang tampil dalam diskusi tersebut adalah Ketua Komisi II (Pemerintahan Dalam Negeri) DPR RI dari Golkar Ahmad Doli Kurnia Tanjung, Wakil Ketua Komisi II dari PPP Arwani Thomafi dan anggota DPRD Wonosobo Suwondo Yudhistiro.
Reporter: Syafril Amir