Pasal Penghinaan Presiden dan Denda Gelandangan Rp1 Juta Tak Dihapus dari RKUHP
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly memastikan pasal yang mengatur pidana penghinaan presiden dan wakil presiden tak akan dihapus dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Pasal pasal 223 dan 224 RKUHP mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara. Aturan itu jadi salah satu pasal yang disoroti sebelum penundaan pembahasan karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi.
"Misalnya, penghinaan presiden, no (tidak dihapus). Namanya kan martabat," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (4/11).
Selain itu, pasal yang akan dipertahankan adalah Pasal 432 RKUHP yang mengatur setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum akan mendapatkan sanksi paling banyak Rp1 juta. Menurutnya, aturan ini merupakan kemajuan karena menghilangkan hukuman badan bagi gelandangan.
Namun, Yasonna mengklaim banyak orang yang salah membaca aturan tersebut. Ia memastikan perempuan yang pulang malam tak akan ditangkap dan dimintai denda Rp1 juta karena dianggap gelandangan.
Politisi PDIP itu menuding ada kelompok yang salah paham membaca pasal. Sebab itu, ia akan membuka ruang pembahasan terbatas pada rapat berikutnya.
"Supaya enggak bikin pusing, kita akomodasi orang yang tidak baca semua. Akhirnya kita tahu tidak semua orang punya pemahaman yang sama," tutur dia.
Yasonna memastikan pembahasan RKUHP akan berlanjut di DPR setelah perumusan prolegnas. Dia menargetkan pembahasan akan dilakukan mulai Januari 2020.
RKUHP telah menjadi bahasan DPR sejak 2005. Namun selalu ditunda karena memicu perdebatan publik. RKUHP kembali diajukan pada Prolegnas 2015, tapi kembali ditunda karena serangkaian protes berujung aksi unjuk rasa pada September lalu.
Selain RKUHP, ada RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, RUU PKS, dan RUU KKS. Penundaan pembahasan dilakukan setelah aksi unjuk rasa yang dimotori mahasiswa digelar serentak di sejumlah daerah pada September 2019. Bahkan lima orang meninggal dunia dalam rangkaian aksi bertajuk #ReformasiDikorupsi itu.