Deretan Kepala Daerah Muda Terjerat Korupsi yang Diungkap KPK
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Sejak berdirinya tahun 2002 sampai saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjerat 119 kepala daerah. Teranyar, Lembaga antirasuah itu menciduk dan menetapkan Bupati Lampung Utara, Agung Ilmu Mangkunegara sebagai tersangka suap terkait proyek-proyek di Dinas PUPR dan Dinas Perdagangan Pemkab Lampung Tengah.
Kasus Agung memperpanjang daftar kepala daerah muda yang terjerat kasus korupsi. Agung diketahui masih berusia 37 tahun. Sebelumnya, Tim KPK menjerat Rita Widyasari selaku Bupati Kutai Kartanegara pada tahun 2017 atau saat masih berusia 44 tahun, mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip (42 tahun) dan mantan Gubernur Jambi, Zumi Zola (38 tahun). Bahkan, Adriatma Dwi Putra selaku Wali Kota Kendari dijerat KPK saat masih berusia 29 tahun.
Sejatinya, para kepala daerah berusia muda tersebut terpilih karena masyarakat berharap mereka membawa perubahan dengan kebijakan-kebijakan progresif khas anak muda supaya semakin sejahtera. Namun, harapan tersebut sirna lantaran para kepala daerah muda tersebut justru terlibat korupsi yang menyengsarakan masyarakat yang telah memercayainya.
"Pemuda dalam kondisi sekarang berada pada dua sisi. Satu sisi pemuda harapan bisa dilakukannya perubahan-perubahan yang signifikan, out of the box, dibentuknya tatanan baru yang lebih baik yang lebih reformis dan lebih layani masyarakat. Harapannya banyak seperti itu karena ada asumsi yang sebaliknya, seolah-olah sistem yang ada, yang tumbuh sejak lama berpuluh tahun lalu berimplikasi buruk terhadap generasi saat itu. Tetapi di sisi lain, KPK memproses cukup banyak (kepala daerah berusia muda)," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Senin, 14 Oktober 2019.
Tidak hanya kepala daerah, ungkap Febri, ada juga yang dari swasta, unsur pemerintahan termasuk BUMN lainnya yang katakanlah di bawah 40 tahun, tersangkut perkara korupsi di KPK.
Meski demikian, kata Febri, banyaknya kepala daerah muda yang terjerat korupsi tidak berarti generasi muda tidak dapat diharapkan membawa perbaikan. Febri mengatakan, karakter korupsi melekat pada kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seseorang. Untuk itu, korupsi tidak melihat usia ataupun jenis kelamin.
"Ketika ada kewenangan yang dimiliki dan kewenangan itu digunakan untuk kepentingan diri sendiri maka tindak pidana korupsi terjadi di sana," kata Febri.
Untuk itu, Febri menilai upaya perbaikan dan pencegahan korupsi harus terus dilakukan, termasuk oleh generasi muda. Selain itu, katanya pembentukan sistem nilai-nilai antikorupsi harus dilakukan sejak dini.
"Banyak informasi yang bisa didapatkan dari sumber-sumber formal dan informal bagaimana kita bisa berkontribusi melawan korupsi. Tapi prinsip yang paling dasar begini, korupsi itu bukan hanya soal kita mengambil uang dari anggaran negara, tapi berprilaku antikorupsi juga penting (dibenahi). Mulai dari jujur, memisahkan antara kepentingan pribadi dan penugasan atau antikonflik kepentingan sejak awal dan juga berpartisipasi secara aktif di organisasi-organisasi yang ada," kata Febri.
Seperti puluhan ribu masyarakat mahasiswa dan pelajar saat ini, terang Febri, itu kontribusi mereka dalam upaya pemberantasan dan penegakan hukum melalui suara yang mereka sampaikan atau diskusi yang dilakukan atau tulisan yang dibuat.
Tidak otomatis jadi korup
Febri menampik jika banyaknya kepala daerah muda terjerat kasus korupsi sebab sistem dan iklim politik di Indonesia. Menurutnya tidak semua orang yang masuk sektor atau sistem politik langsung menjadi korup.
Banyak politikus yang tidak diproses oleh KPK, misalnya. Bahkan, banyak politisi yang rajin melaporkan gratifikasi dan menolak menerima sesuatu yang tidak jelas.
"Jadi kita tidak bisa mengatakan setiap orang yang masuk sektor politik pasti akan Jadi korup. Kalau kita simpulkan seperti itu maka kita mengabaikan ada orang-orang yang mencoba menjaga integritasnya," ujar Febri.
Dari kajian yang dilakukan KPK, ujar Febri, terdapat sejumlah faktor di sistem politik di Indonesia yang meningkatkan risiko korupsi, seperti pendanaan yang membuat biaya politik tinggi. Menurutnya, hal ini bisa dicegah dengan sejumlah pendekatan seperti aturan pendanaan partai politik, pelaksanaan kampanye dan kontestasi politik serta proses pengkadaresisasi dan rekrutmen di internal partai.
"Akan lebih tinggi biaya politik kalau orang yang tidak bekerja di satu daerah sejak awal, tidak mengadvokasi masyarakat di satu daerah sejak awal tiba-tiba menjadi caleg atau kepala daerah di sana. Butuh biaya pengenalan yang lebih banyak. Ini kan perlu proses kaderisasi yang panjang. Tidak ujug-ujug ada orang yang punya akses kekuasaan, sumber daya ekonomi kemudian menduduki jabatan politik tertentu dicalonkan di daerah yang dia tidak kenal misalnya. Itu juga berkontribusi membuat biaya politik menjadi lebih tinggi. Memang ada sistem yang perlu diperbaiki karena itu KPK membuat Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) sebagai tawaran kepada sektor politik," urainya.
Sebelumnya KPK mengusulkan bantuan dana keuangan sebesar Rp10.000 per suara. Usulan tersebut direspon pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PP No 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Parpol telah disahkan. Bantuan keuangan dari APBN untuk parpol tingkat pusat meningkat dari Rp108 per suara menjadi Rp1.000 per suara.
KPK meyakini peningkatan bantuan keuangan untuk partai politik ini berkontribusi mencegah korupsi dengan syarat diiringi perbaikan akuntabilitas keuangan partai.
Dengan bantuan dari negara yang berasal dari rakyat itu, keuangan partai harus transparan dan diaudit. Selain itu, peningkatan bantuan dana tersebut juga harus dibarengi dengan langkah partai politik membentuk sistem etik di internal.
"Jadi (peningkatan bantuan dana partai politik) tidak bisa berdiri sendiri. Kalau berdiri sendiri akan berisiko ulangi beberapa kesalahan yang sama," pungkas Febri.