Pendidikan di Era 4.0 dan Ancaman Karakter Remaja
Oleh: Rozi Riza Julianti, M.Pd
RIAUMANDIRI.CO - Pengguna internet aktif di Indonesia berdasarkan laporan Kominfo tahun 2019 adalah 171.17 juta jiwa, atau 64.8% dari jumlah 264 penduduk negri ini.
Tak dapat disangkal revolusi industri 4.0 sudah mengubah kehidupan manusia secara fundamental. Ketergantungan manusia terhadap teknologi sudah demikian besar. Pun demikian berdampak pada dunia pendidikan, dimana pendidik harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Terlebih siswa sebagai generasi muda yang hidup pada zaman 4.0, sudah demikian familiar dengan internet dan dunia digital.
Satu sisi, melek teknologi siswa ini adalah sebuah keuntungan, dapat mempermudah proses pembelajaran. Selain juga warning bagi guru yang “asal ngajar”, karena siswa dapat mengakses materi pelajaran yang lebih dalam di internet. Namun di sisi lain, dampat negatif juga mengiringi siswa dengan kondisi tersebut. Sudah bukan rahasia lagi, jika tidak hanya konten positif yang dapat diakses siswa di dunia maya.
Pornografi, berita hoax merupakan virus terbesar yang mengancam karakter siswa di era revolusi indsutri. Jangan Tanya berapa banyak kasus yang muncul ke permukaan akibat dampak pornografi. Sementara hoax, bisa berdampak lebih parah, karena memengaruhi pandangan (pola pikir) anak terhadap suatu kebenaran. Ini bahkan memiliki efek jangka panjang. Jangankan generasi muda, orang dewasapun dapat bertingkah atau berperilaku menyimpang hanya karena tidak kritis terhadap suatu informasi. Apalagi remaja yang masih dalam fase pembentukan jati diri.
Melek teknologi yang ditandai dengan meningkatnya penggunaan smartphone dan internet juga memberi dampak pada interaksi sosial siswa. Siswa cenderung enggan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya karena lebih memilih menghabiskan waktu dengan smartphonenya. Bahkan ketika berkumpulpun juga aktivitas dengan gadget tidak bisa dihilangkan.
Kebiasaan-kebiasaan ini praktis akan menjadi budaya bagi generasi muda, yang tidak dapat dikatakan budaya positif seutuhnya. Budaya seperti itu tentu akan memengaruhi minat siswa, sikap terhadap pendidikannya, kebutuhan individualnya, kompetensinya, pengetahuannya, dan emosi siswa.
Seperti diungkapkan banyak pakar psikologi bahwa komponen-komponen tersebut akan membentuk karakter seorang individu (Ardana, dkk. 2009). Minat siswa yang merupakan datang dari dalam diri remaja, dapat dipengaruhi lingkungan sekitarnya.
Jika seorang individu menghabiskan hari-harinya dengan dunia maya, sudah dapat dipastikan akan berkontribusi terhadap minatnya. Sikap terhadap pendidikannya juga akan menjadi permasalahan serius, jika seorang individu tidak memiliki seseorang yang dapat memfilter informasi yang ia peroleh. Hal yang sama juga akan terjadi terhadap perkembangan emosi siswa.
Informasi dan pengetahuan yang ia peroleh dari medsos, atau sumber-sumber lainnya di internet berperan aktif memengaruhi perkembangan emosinya. Disinilah letak dilemma perkembangan teknologi terjadap perkembangan karakter peserta didik.
Di sekolah barangkali bisa lebih dikontrol, karena peserta didik terikat oleh aturan-aturan yang ada. Baik aturan pelarangan membawa Hp, atau aturan membawa Hp dengan berbatas waktu dan kepentingan. Yang jadi masalah adalah, jika keluarga siswa tidak berperan aktif ikut mengontrol penggunaan teknologi ini di rumah.
Diperlukan sinergi yang kondusif antara orang tua dan murid dalam membina perkembangan karakter anak. Lalu, sudahkan para orang tua peduli terhadap penggunaan gadget (gawai) peserta didik di rumah?, semoga.
*Penulis adalah guru SMAN 6 Pekanbaru