Debat di Kampus dan Kemampuan Berfikir Kritis
Oleh: Afrianto Daud
(Pembina Komunitas Debat Universitas Riau)
RIAUMANDIRI.CO - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) baru saja menyelesaikan satu iven nasional yang dikenal dengan National School Debating Championship (NSDC) atau Lombat Nasional Debat Antar Sekolah. Kegiatan itu berlangsung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel) pada 14-20 Agustus 2019 diikuti perwakilan siswa dari 34 provinsi, termasuk Riau.
Ini adalah kegiatan lomba debat berbahasa Inggris tahunan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, di samping lomba debat berbahasa Indonesia. Pada sa’at yang sama, di tingkat universitas Kemenristekdikti juga menyelenggarakan lomba debat yang mirip – National University Debating Championship (NUDC). NUDC 2019 dilaksanakan di kampus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Juli yang lalu.
Kegiatan lomba debat antar siswa (dan mahasiswa) ini adalah kegiatan yang bagus, karena bisa memberi cukup banyak dampak positif. Lomba debat tidak hanya memotivasi siswa/mahasiswa untuk berprestasi, tetapi juga bisa melatih mereka dengan beberapa kemampuan penting yang mesti dimiliki manusia abad 21, seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan berfikir kritis, kemampuan mencipta gagasan, dan berkolaborasi, hidup bersama dalam perbedaan. Dunia pendidikan sekarang mengenal kemampuan ini dengan sebutan 4 C-skills (communication, critical thinking, collaboration, and creativity).
Higher Order Thinking Skills (HOTS)
Salah satu poin penting dari Kurikulum 2013 yang sekarang berlaku adalah pentingnya guru melakukan proses pembelajaran yang memungkinkan siswa memiliki kemampuan berfikir tingkat tinggi, yang dikenal dengan HOTS (higher order thinking skills). Penekanan pada pembelajaran pada HOTS ini berbasis pada teori Taksonomi Bloom yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pakar psikologi pendidikan berkebangsaan Amerika Serikat, Benjamin S. Bloom (1956), dan kemudian direvisi atau dikembangkan muridnya, David R. Krathwohl, empat puluh lima tahun kemudian. Secara umum, Bloom membagi tujuan pendidikan menjadi tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor.
Untuk ranah kognitif (aspek berfikir atau ranah intelektual), Bloom menjelaskan kemampuan berfikir seseorang dengan menyusunnya menjadi beberapa level kemampuan, dari rendah sampai tinggi. Level kemampuan berfikir tingkat rendah (lower order thinking skills) adalah termasuk kemampuan mengingat, memahami, dan mengaplikasikan. Sementara kemampuan berfikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) pada edisi revisi adalah kemampuan menganalisa, kemampuan mengevaluasi, dan kemampuan mencipta. Kemampuan berfikir kritis masuk pada bagian kemampuan ini.
Selama ini dunia pendidikan kita cenderung masih berkutat pada pengembangan kemampuan berfikir tingkat rendah. Ada banyak pendekatan pembelajaran dan juga bentuk soal ujian di sekolah masih berputar di sekitar kemampuan mengingat dan memahami materi yang diajarkan. Tak jarang sebagian guru berhenti pada tahap mengajarkan siswa dalam menghapal dan memahami saja. Jika siswa sudah hapal dan paham, sebagian guru merasa dia sudah sukses mengajar.
Sementara kemampuan menganalisa dan atau kemampuan berfikir kritis kurang berkembang. Belum banyak metodologi pengajaran yang mendorong siswa untuk sampai pada kemampuan berfikir tingkat tinggi ini. Akibatnya siswa Indonesia cenderung kesulitan dalam hal analisa masalah. Belum banyak siswa/mahasiswa Indonesia, misalnya, yang berani berbeda pendapat dengan guru atau dosen ketika proses pembelajaran. Padahal beda pendapat, selama dikomunikasikan dengan cara-cara yang beterima, adalah hal yang biasa dalam proses pembelajaran.
Rendahnya kemampuan berfikir analitis dan kritis siswa Indonesia, misalnya, bisa dilihat dari hasil sejumlah survei pendidikan seperti Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Berdasarkan hasil survei PISA tahun 2012 Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Peru yang berada di ranking terbawah. Ratarata skor Matematika anak-anak Indonesia adalah 375. Indonesia hanya menduduki rangking 64 dari 65 negara dengan rata-rata skor 375, sementara rata-rata skor internasional adalah 500. Hal ini menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan analisis, evaluasi, kreasi, serta logika dan penalaran sangat kurang.
Inilah diantara alasan mengapa pengembangan kemampuan berfikir tingkat tinggi ini menjadi mendesak dan penting dilakukan di dunia pendidikan kita. Guru ditantang untuk mencari cara atau metode pembelajaran yang bisa mengasah kemampuan berfikir tingkat tinggi ini. Sekolah dan juga kampus ditantang mencari bentuk kegiatan yang bisa berkontribusi pada pengembangan kemampuan HOTS ini.
Kegiatan Debat, di Antara Solusi
Selain penerapan model pembelajaran aktif, seperti problem based learning (pembelajaran berbasis masalah), inquiry based learning (pembelajaran berbasis penemuan), project based learning (pembelajaran berbasis proyek), dan lainnya, saya berpendapat bahwa kegiatan debat bisa menjadi salah satu metode efektif yang bisa dilakukan guru (dan dosen) di kelas atau sekolah/kampus untuk mengembangkan kemampuan analitis, kritis, dan evaluatif ini. Ini karena proses debat melatih siswa (dan mahasiswa), langsung atau tidak langsung, untuk belajar banyak hal.
Pertama, seorang debater akan termotivasi untuk lebih banyak membaca, mendengar, dan memperhatikan berbagai isu dan fenomena di sekitarnya. Seorang tak akan bisa berdebat dengan baik, jika dia tak menguasai materi yang diperdebatkan. Wawasan yang luas adalah diantara kunci menjadi pendebat yang baik.
Kedua, proses debat akan membiasakan siswa untuk berfikir kritis, logis, dan analitis. Seorang pendebat akan terlatih untuk bertanya dan mempertanyakan sesuatu. Mereka terlatih untuk tidak menerima sebuah informasi begitu saja. Mereka terbiasa melihat sebuah fenomena dari beragam perspektif. Bahwa sebuah objek bisa dimaknai berbeda oleh individu yang berbeda. Mereka belajar menganalisa sebuah kejadian menggunakan pengetahuan yang mereka punya.
Ketiga, kegiatan debat melatih siswa untuk berbicara dan berkomunikasi dengan baik. Siswa belajar berargumen secara santun, berbasis data dan fakta. Pada saat yang sama, mereka belajar tetap berusaha menghormati pendapat yang berbeda. Kemampuan berargumen adalah satu hal yang penting. Menghormati pendapat yang berbeda adalah hal lain yang tak kalah penting. Dalam lomba debat, siswa diajarkan untuk kembali cair dan berteman akrab dengan lawan tanding setelah lomba selesai.
Cukup banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan debat dapat meningkatkan kemampuan berbicara sisiswa, kemampuan bertanya, kemampuan berargumen, kemampuan berdiskusi, kemampuan menganalisis isu, dan kemampuan berfikir kritis. Oleh karena itu, saatnya guru-guru sekolah atau dosen di PT mengadopsi kegiatan ini sebagai salah satu bentuk kegiatan pembelajaran di kelas. Pada saat yang sama, pihak sekolah/kampus perlu memberikan dukungan lebih pada pengembangan kegiatan debat di sekolah mereka. Membuat dan membina komunitas debat di sekolah/kampus adalah satu yang bisa dilakukan.
Ke depan saya bayangkan jika semakin banyak siswa dan mahasiswa yang terbiasa dengan kegiatan debat, maka kita akan memperoleh siswa/mahasiswa yang tidak hanya siap ikut kompetisi debat sejenis NSDC atau NUDC, tetapi siswa yang juga memiliki wawasan yang luas, artkulatif, kritis, analitis, sekaligus rendah hati. Dalam jangka panjang, kemampuan berfikir tingkat tinggi ini tidak hanya memungkinkan siswa ini untuk tidak mudah termakan berita hoax dan sejenisnya, bukan tak mungkin mereka yang terbiasa berargumen ini akan muncul menjadi sosok-sosok pemimpin masa depan kita. Pemimpin yang artikulatif, berwawasan luas, bisa berargumen dengan bangsa lain di dunia, seperti yang dulu dicontohkan oleh para pendahulu bangsa seperti Sukarno, Haji Agus Salim, dan M Natsir. Wallahu a’alam.