Merdekalah Seratus Persen
Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto
Guru Besar UIN Suska Riau
RIAUMANDIRI.CO - Orang tak kan berunding dengan maling di rumahnya. Demikian kata Tan Malaka merespons sikap politik Moh. Hatta dan Sutan Syahrir yang menempuh jalur diplomasi dengan pihak kolonial Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.
Selama masih ada satu orang musuh di tanah air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan, katanya lagi. Merdeka harus seratus persen, tidak boleh setengah-setengah. Setelah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Perundingan hanya dilakukan oleh orang-orang yang duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Maling harus diusir. Maling tidak perlu dihormati. Demikian kira-kira pesan moral yang terkandung dalam kalimat Sang Bapak Republik itu.
Seakan menyahuti Tan Malaka, Jenderal Soedirman tidak kalah garangnya dengan Tan. Beliau berucap, lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.
Kiranya sekelumit ungkapan di atas sudah cukup mewakili untuk dijadikan pengetahuan betapa tinggi dan luhurnya semangat kebangsaan para pejuang negeri ini yang akhirnya mempersembahkan kemerdekaan buat kita nikmati sampai kini.
Bagi mereka, kemerdekaan bangsa dan tanah air adalah kata akhir yang tiada kata lain selain itu. Kemerdekaan adalah keniscayaan. Merdeka atau mati, hanya ada dua pilihan. Mereka tidak beretorika kosong. Mereka tidak sedang bersandiwara berlagak seperti pahlawan. Mereka berkata sungguh-sungguh, berkata dari hati, hati yang tulus menegakkan harga diri, harga diri bangsa yang dijajah, dijajah oleh manusia serakah, serakah untuk mengenyangkan nafsu yang tidak pernah mau kalah atau mau mengalah. Ucapan mereka adalah ucapan yang sebenarnya. Perjuangan mereka adalah perjuangan yang sebenarnya. Nyawa mereka adalah taruhannya. Kematian, bagi mereka adalah lebih mulia daripada dijajah sebagai manusia yang hina. Sepertinya, mereka berkata kepada dirinya sendiri, lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup berputih mata. ” Hiduplah dengan mulya, bila tidak, matilah sebagai syahida. Demikian kata Hasan al-Banna, tokoh pejuang Mesir yang memang akhirnya mati sebagai syahid, seperti halnya Sudirman dan Tan Malaka.
Kini, proklamasi itu sudah berumur 74 tahun, umur yang seharusnya cukup matang dan memberi banyak makna dan guna untuk anak-anak bangsa. Tetapi betulkah ia kini memberi banyak guna untuk kita yang ada di kota, atau mereka yang ada di pelosok-pelosok negara yang keadaan dan keberadaan mereka entah di mana?
Meriahnya acara tujuh puluh empat tahun Indonesia merdeka memang menggoreskan harapan bahwa pengurus negeri akan bekerja sungguh-sungguh untuk membuat rakyat merasakan kemerdekaan di dalam diri dan di negerinya sendiri. Rakyat ingin, dan amat ingin, negeri ini benar-benar merdeka seratus persen seperti dikatakan Tan Malaka dan Soedirman. Biarlah makan hanya dangan sambal dan pucuk ubi, tetapi tidak ada lagi orang lain mengatur-atur. Tidak ada lagi orang lain yang berkuasa di atas harga diri dan martabat bangsa. Tidak ada lagi orang lain yang menguras dan mengeroposkan raga dan jiwa negara untuk kepentingan mereka di balik topeng demi rakyat dan bangsa. Lepas dari penjajah, juga berarti lepas dari kebodohan dan dibodoh-bodohkan. Kebodohan adalah bahaya, dan kebodohan adalah neraka dunia.
Tetapi, betulkah kini kemerdekaan itu sudah seratus persen? Betulkah kini kemerdekaan itu sudah menjadi milik bangsa yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata ? Atau, mungkinkah yang terjadi di hari ini adalah kembalinya penjajah, seperti kembalinya Belanda menumpang tentara sekutu untuk menjajah lagi Indonesia yang telah dengan berani memproklamirkan kemerdekaannya di tanggal 17 Agustus 1945 itu?
Ada yang beranggapan bahwa kini negeri ini hampir sama saja dengan yang dulu sebelum proklamasi. Kebodohan masih saja melanda. Keterbelakangan masih saja dirasakan. Kemiskinan masih saja menjadi kenyataan. Hegemoni satu kelompok kepada kelompok lain masih saja terlihat nyata. Arogansi kekuasaan masih saja dirasakan oleh orang-orang kecil yang tidak punya apa-apa untuk dijadikan penopang harga diri di depan sang penguasa. Ketidakadilan seakan-akan terus saja dipertontonkan di serata media.
Bila dulu, ketika rakyat tertekan dan merasakan ketidakadilan dan tidak tahu mengadu entah kemana, kini juga sama hampir tiada beda. Bila dulu rakyat kecil tidak dipedulikan dan bahkan dipermainkan, kini hampir-hampir serupa. Bahkan, bila dulu masih banyak dan amat banyak tanah yang tersisa dan tersedia untuk rakyat jelata, kinikonon-- hampir melebihi dua pertiga beralih tangan kepada orang-orang sana yang tidak tahu siapa nama dan negerinya. Bila dulu orang-orang yang ada di pedalaman berstatus sebagai suku terasing masih punya harga diri dan dihargai sebagai manusia dan anak bangsa, justru kini tergusur laksana penghuni hutan lainnya yang tidak punya akal dan cita-cita.
Lalu, bukankah ini namanya penjajahan di tanah merdeka? Bukankah ini namanya penghambaan oleh orang-orang yang negerinya telah diakui merdeka oleh seantero bangsa? Rakyat mulai tertekan oleh keadaan. Negeri mulai berantakan oleh berbagai pelanggaran yang terbiar atau dibiarkan. Hukum mulai seperti barang mainan bak anak-anak mempermainkan mainan yang diletak dimana suka mereka letakkan. Agama bahkan terkesan bagaikan sekedar hiburan di saat jam istirahat lelah dari permainan rekayasa dan atau kecurangan-kecurangan. Tanah suci Mekah, Kabah dan Baitullah seakan dijadikan pemutih kesalahan-kesalahan yang dibuat secara sengaja dan direncanakan. Mesjid, musala dan rumah-rumah ibadah tak ubahnya bagaikan rumah persinggahan, rest area di pinggir jalan tol kemungkaran.
Semua seperti tidak ada yang bisa mengingatkan, apalagi menghentikan. Penjajahnya terlalu digdaya untuk dilawan, sehingga diperlukan tenaga mega ekstra untuk dikerahkan. Negeri ini bagaikan kehilangan semangat, karena penjajahnya sudah sampai ke tulang sumsum. Penjajahnya tidak datang dari luar badan, tetapi bersemayam di dalam badan, badan para pengurus, badan para pemangku kepentingan.
Ya, penjajahnya adalah kepentingan itu sendiri. Kepentingan semua orang-orang yang ada di atasnya, penguasa atau pengikutnya. Semua seakan sama berjuang untuk menyelamatkan diri sebagai pengkhianatan kepada pahlawan yang semua berjuang menyelematkan negeri.
Lalu, bisakah dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh Tan Malaka dan Soedirman, ketika republiknya kini tidak hanya tidak merdeka seratus persen, tetapi justru kembali terjajah seratus persen?
Wahai Tan Malaka! Bila Engkau dulu pernah persumpah, Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi, maka bersuaralah wahai Bapak pencetus Naar de Republiek Indonesia! Engkau gemakan suara itu di tahun 1924, Engkau menghadap Tuhanmu sebelum melihat negerimu merdeka seratus persen di tahun 1945, ketika negeri baru berumur seumur jagung, maka gemakanlah kembali dengan suaramu yang lebih keras lagi dari dalam kuburmu, ketika kini negerimu telah terjajah kembali hampir seratus persen oleh orang-orang yang kemaruk harta dan kuasa.
Jangan biarkan negeri ini mengalami tragis seperti hidupmu yang tragis di saat perjuanganmu belumlah usai, di saat cita-cita bangsa menjadi masyarakat adil makmur belum kesampaian menjadi kenyataan. Suruhlah generasi mudamu, anak cucu bangsa mu melawan penjajah itu seperti Engkau melawan penjajah di zamanmu.