Nono Sampono: 74 Tahun Merdeka, Bangsa Ini Semakin Dinamis
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono melihat perjalanan bangsa ini selama 74 tahun, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan. Memang, diakuinya, untuk menyelesaikan persoalan bangsa itu tidak bisa seperti membalikan telapak tangan.
"Proses itu tetap berlangsung sepanjang kita berada pada koridor, yaitu empat hal penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dengan segala isinya, kemudian Bhinneka tunggal Ika," kata Nono Sampono dalam Dialog Kenegaraan bertema "Langkah Demokrasi Republik Indonesia Setelah Usia ke-74?" bersama Wakil Ketua Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera dan pakar hukum tata Negara Margarito Kamis, di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Rabu (13/8/2019)
Ada hal yang penting menurut Nono ketika bangsa ini merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan kemudian sampai dengan mendekati akhir dari Orde Baru. Keadaan dunia masih perang dingin dan itu berpengaruh besar terhadap kehidupan negara-negara di dunia.
Setelah itu Indonesia melakukan perubahan besar yang namanya Reformasi 98 dengan tiga isu penting dunia, yaitu demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Belakangan baru muncul isu terorisme. Seiring dengan itu, kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini harus menyesuaikan dengan tataran dunia.
Menurut Nono, ada hal 5 besar dilakukan dalam reformasi dan transformasi besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, sistem politik kita yang tadinya otoritarian sekarang lebih demokrasi.
Kedua, sistem pemerintahan yang tadinya sentralisasi menjadi desentralisasi. Ketiga, masalah ekonomi sudah tidak berbasis sumber daya alam karena makin lama menabrak lingkungan, ekonomi kreatif jasa dan sumber daya manusia menjadi terdepan. Keempat, hubungan luar negeri sudah berangkat dari kepentingan kawasan.
"Inilah 5 hal besar yang terjadi transfer transformasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan menggunakan parameter ini menurut saya, kita melihat kondisi kita saat ini tentu semakin dinamis. Kalau menurut saya semakin lebih maju," kata Nono.
Karena itu pula, Nono tidak setuju dengan adanya keinginan sekelompok masyarakat yang menginginkan kembali ke UUD 1945. "Dari sudut pandang saya, ini suatu kemunduran dari demokrasi. UUD 1945 dibuat pada waktu itu sesuai dengan tuntutan masa itu. Sekarang sudah tidak bisa, dunia sudah berbeda," ujarnya.
Mardani Ali Sera juga menilai, selama 74 tahun konsultasi demokrasi di Indonesia turun-naik. Namun bangsa ini perlu bersyukur, masa paling lama demokrasi bisa berkembang di masa era reformasi sekarang ini. Pemilu rutin 5 kali dijalan tepat waktu dengan tingkat partisipasi yang paling tinggi pada Pemilu 1999.
Hanya saja, politisi PKS itu menyayangkan, turun naiknya kualitas demokrasi yang dibangun bukan disebabkan oleh masyarakat, tapi oleh para elit yang tercermin dari pasca Pemilu 2019. Kualitas demokrasi itu sangat ditentukan oleh perilaku elit.
"Etika dan logika itu harus betul-betul etika publik, logika publik kita perkuat dan itu nanti biasa. Istilahnya guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kalau kami berperilaku baik, secara etika dan logika, publik akan mendukung, tapi kalau kami berperilaku tidak patut , mereka jauh lebih buruk lagi dan jangan salahkan masyarakat," tegasnya.
Margarito Kamis sependapat dengan Mardani bahwa kualitas demokrasi itu sangat ditentukan para elite. Rakyat yang disebut dalam UUD sebagai komponen utama yang memegang kedaulatan, cuma berdaulatan hanya 3-sampai 5 menit.
"Dalam kenyataan riil, rakyat cuma berdaulat dalam kurang lebih 3 sampai 5 menit. Selebihnya detil-detil berbangsa dan bernegara selesai sepenuhnya oleh elite. Tidak kurang dan tidak lebih dan ada temukan itu di manapun," tegas Margarito Kamis.
Reporter: Syafril Amir