Koalisi Masyarakat Sipil: Pemerintah Tertutup Soal Pansel Capim KPK
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pemerintah dinilai tertutup soal Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) KPK. Keputusan Presiden (Kepres) pembentukan Pansel Capim KPK diduga sengaja ditutup hingga adanya dugaan meloloskan figur yang melanggar kode etik. Penilaian ini disampaikan Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai lembaga, Ahad (28/7/2019).
Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora mengatakan pihaknya sudah menyurati Kementerian Sekretaris Negara untuk meminta salinan Keputusan Presiden nomor 54/2019 sebagai dasar Presiden Jokowi membentuk Pansel KPK. Namun, permintaan itu ditolak dengan alasan Kepres tersebut hanya ditujukan ke pihak yang ditunjuk.
"Nah ini jawabannya (surat KPK) kita ditolak, alasannya itu permohonan informasi publik Kepres tersebut 'bersama ini kami beritahukan bahwa permohonan saudara tidak dapat kami penuhi, karena berdasarkan keputusan presiden dimaksud antara lain menyebutkan salinan Kepres tersebut disampaikan masing-masing ybs untuk dipergunakan sebagaimana mestinya maka keputusan presiden tersebut hanya dapat diberikan kepada yang masing-masing yang tersebut dalam keanggotaan panitia seleksi tersebut," kata Nelson, di kantornya, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Ahad(28/7/2019).
Nelson membandingkan Kepres penunjukan Pansel KPK di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dapat diakses publik. Dia kini mempertanyakan sikap Kementerian Sekretaris Negara yang dianggap tertutup mengenai Kepres itu, padahal semestinya dapat diakses publik.
"Yang 2014 zamannya Pak SBY aja itu dibuka nah kenapa ini enggak gitu. Atas penolakan ini kita akan mengajukan keberatan, kita mau menggugat SK ini tapi kita perlu Kepres-nya dulu kita mau hardcopynya dulu, atas penolakan ini kita sangat kecewa ya," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi ( PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyoroti beberapa nama Capim KPK yang lolos tetapi belum melaporkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Menurut Feri, dalam UU KPK diwajibkan pelaporan LHKPN.
Jika ada nama yang lolos tetapi belum lapor, Feri menilai ada cacat prosedur dalam proses seleksi capim KPK. Selain itu ia menduga ada settingan terkait capim KPK selanjutnya.
"Kalau boleh berkata sedikit keras bahwa jangan-jangan pemerintah atau Pansel sudah mengatur sedemikian rupa siapa ke depannya pimpinan KPK selanjutnya itu artinya proses seleksi ini rekayasa. Kecuali pansel dan KPK mematuhi apa yang dikehendaki UU KPK dan UU administrasi negara," ujarnya Feri.
Sementara itu, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, menyoroti nama-nama Capim KPK yang lolos pernah terlibat melanggar etik di KPK. Serta ada nama-nama Capim KPK yang dipertanyakan rekam jejaknya.
Kurnia mencontohkan misalnya rekam jejak pegawai KPK yang pernah mendapat sanksi etik, ada beberapa hakim yang pernah memvonis ringan, serta ada advokat yang pernah membela koruptor. Dia meminta agar Pansel KPK memcari capim KPK yang benar-benar berintegritas.
"Ada beberapa nama justru yang membebaskan pelaku korupsi. Ini kita nilai figur tersebut diduga tidak mempunyai keberpihakan dalam pemberantasan korupsi, ada nama Budi Kuswanto dia sering memvonis ringan, kategori ringan kita 0-4 tahun. Lalu Hulman Siregar pernah membebaskan seseorang pelaku korupsi di tahun 2016, Ahmad Drajad ybs pernah membebaskan dua orang pelaku korupsi," kata Kurnia.
Dia berharap proses psikotes Capim KPK dapat dipertimbangkan secara serius oleh Pansel. Kurnia mengatakan jika nama-nama yang diduga memiliki rekam jejak tidak baik tetap lolos dia mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi dari Pansel dan pemerintah.
"Wajah Pansel, kinerja Pansel adalah representasi dari Presiden Jokowi karena pembentukan Pansel berdasarkan Kepres yang langsung ditandatangani oleh Presiden yang mana Presiden mempercayakan nasib Capim KPK kepada Pansel. Kalau nama yang bermasalah tetap diloloskan kita pertanyakan komtimen pemberantasan korupsi dari pemerintah," kata Kurnia.