Hendrawan Supratikno Pesimis Pemilihan Pimpinan MPR secara Aklamasi
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Politisi senior PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno merasa pesimis, pemilihan Pimpinan MPR 2019-2024 sulit dilakukan secara aklamasi seperti tahun 2009.
Dia beralasan, untuk pemilihan secara aklamasi itu membutuhkan figur seperti Taufik Kiemas pada pemilihan pimpinan MPR 2009. Taufik Kiemas waktu itu melakukan komunikasi politik begitu hebat, menjadi jembatan kebangsaan antarfraksi dan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan.
kita punya gak figur sekaliber bapak Taufik Kiemas dengan komunikasi politik yang begitu hebat, menjadi jembatan kebangsaan antarfraksi dan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan.
"Kalau dilihat dari nama-nama yang beredar, figur-figurnya yang beredar, mohon maaf, kelihatannya aklamasi agak susah," ujar Hendrawan Supratikno dalam diskusi bertema "Musyawarah Mufakat untuk Pimpinan MPR", di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/7/2019).
Bahkan Hendrawan memprediksi akan muncul tiga paket dalam pemilihan pimpinan MPR. Tiga paket itu dari 9 fraksi terbagi dalam tiga paket dan masing-masing paket ada 2 orang dari DPD RI.
Alternatif lain menurut Hendrawan adalah paket tengah yang terdiri dari PDIP 129 kursi, Golkar 85 kursi, Gerindra 81 kursi, ditambah dengan partai menengah dan satu dari DPD RI.
"Sebelum masuk ke persidangan Paripurna sudah bisa diduga, 4 fraksi ditambah 1 DPD RI, hampir dipastikan angkanya di atas 360 dan sudah pasti menang karena anggota MPR 711 orang," ujar Hendrawan.
Sedangkan Ketua Fraksi Gerindra di MPR Fary Djemi Francis, tidak setuju pemilihan Pimpinan MPR dikaitkan dengan rekonsiliasi paslon capres dan cawapes 01 dan 02 pasca Pilpres 2019.
"Berbicara rekonsiliasi dalam pimpinan MPR itu kayaknya kurang etis. Sebab peran, tugas dan fungsi MPR berbeda dengan DPR. Bagi kami tidak penting siapa dan dari partai apa yang menjadi pimpinan MPR. Yang jelas, visi besar dalam bernegara harus berjalan sesuai cita-cita para pendiri bangsa," kata Fary.
Jadi kata Fary, bukan tergantung figurnya pimpinan MPR, tetapi bagaimana 575 anggota DPR dan ditambah anggota DPD 136 memahami peran bahwa MPR untuk menjaga NKRI dan Pancasila menjadi kekuatan kita bersama.
"Bagi kami (partai Gerindra), tidak etis kita bicara tentang pimpinan MPR. Apalagi bagi-bagi kursi pimpinan di MPR. Makna rekonsiliasi bukan berarti bagi-bagi kursi, tetapi bagaimana caranya mengkolaborasi kedua pihak yang kemarin berkompetisi menjadi satu kekuatan demi masa depan bangsa Indonesia. MPR menjadi amat strategi ke depan untuk melihat persoalan bangsa dan negara yang akibat pemilu kemarin terpecah belah," ujar Fary.
Anggota Fraksi PPP MPR RI Ahmad Baidowi juga menegaskan, pemilihan Pimpinan MPR tidak perlu dikait-kaitkan isu rekonsiliasi karena sudah punya aturannya masing-masing. "Rekonsiliasi tidak perlu juga harus bagi-bagi jabatan. Seolah-olah rekonsiliasinya itu langsung merujuk pada pembagian kekuasaan," kata Ahmad Baidowi.
Namun dia setuju kalau pemilihan Pimpinan MPR itu dilakukan secara aklamasi untuk merajut kebersamaan. Dia mencontohkan jika Gerindra berkeinginan untuk menjadi Ketua MPR, tinggal didiskusikan dengan fraksi-fraksi di DPR.
"Misalkan temen-temen Gerinda berkeinginan untuk masuk dalam ketua MPR, ya tinggal didiskusikan saja. Kalau cocok satu paket ya tinggal satu paket saja, gak usah rame-rame. Tinggial di kukuhkan di sidang MPR," kata Baidowi.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ady Prayitno memprediksikan bahwa Ketua MPR mendatang akan tetap diambil partai pengusung Jokowi.
Kalau Ketua MPR diberikan ke Gerindra, Ady mempertanyakan sikap PKB, apakah mau. Karena sejak awal pemilu ditetapkan, PKB mau memberikan kelogowoan kepada Golkar yang merasa sebagai partai pemenang kedua dalam pemilu menempati posisi Ketua MPR itu.
Dengan alasan itulah, Ady berkeyakinan, Ketua MPR mendatang diambil partai pengusung Jokowi. "Kok sepertinya pimpinan MPR yang akan datang tetap diambil oleh teman-teman partai pengusung Jokowi. Saya cukup yakin itu," ujarnya.
Reporter: Syafril Amir