Sidang Pemalsuan SK Menhut di PN Siak, JPU Sebut PH Terdakwa Gagal Paham
RIAUMANDIRI.CO, SIAK - JPU Kejari Siak mementahkan pledoi Penasehat Hukum (PH) terdakwa Eks Kadishutbun Siak Teten Effendi dan Direktur PT Duta Swakarya Indah (DSI) Suratno Konadi, Yusril Sabri dkk, pada pembacaan replik. JPU bahkan menyebut PH kedua terdakwa gagal paham soal pengertian pemalsuan surat.
Sidang lanjutan perkara dugaan pemalsuan SK Menhut nomor 17/Kpts.II/2019 tentang Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) tersebut dibuka hakim ketua Roza Elafrina yang didampingi Hakim Anggota Fajar Riscawati dan Selo Tantular, Selasa (9/07/2019) di Pengadilan Negeri (PN) Siak. Sedangkan dari JPU dihadiri oleh Endah Purwaningsih, Indriyani dan Nelly Kristina. Kedua terdakwa hadir yang didampingi tim PH-nya.
Replik yang dibacakan JPU Kejari Siak secara bergantian itu membuat tim PH terdakwa menyimak dengan seksama. Tampak sesekali tim PH terdakwa mengangguk-angguk, menggeleng dan sesekali terlihat mereka berdiskusi kecil.
Meski tim JPU membacakan repliknya dengan artikulasi datar, namun isinya dapat mementahkan isi pledoi PH terdakwa yang dibacakan pada sidang sebelumnya.
Dalam repliknya, JPU memaparkan alasan kenapa pledoi PH terdakwa harus ditolak dan diabaikan. Awalnya menyangkut keberatan ahli Dr Mirza yang dihadirkan JPU sebagai ASN yang tidak mendapat izin dari atasan pada waktu menjadi ahli di PN Siak. Disebutkan JPU, ahli ini sejak semula dari penyidik pun telah mendapat izin resmi dari tempatnya bertugas.
"Selain sebagai ASN yang bersangkutan juga mengajar di UMSU Medan. Esensinya yang penting sebagai ahli adalah mempunyai kompetensi sesuai keahlian, sesuai KUHAP yang dapat membantu hakim nantinya untuk membuat terang suatu perkara pidana," kata Endah Purwaningsih pada pembacaan replik.
Berkenaan dengan pendapat PH yang menyebut ahli Dr Mirza bukan ahli TUN melainkan ahli hukum tata negara, JPU beragumentasi, meskipun secara akademik ada dibedakan antara hukum tata negara dengan hukum tata usaha negara. Akan tetapi di antara keduanya ada kaitan yang sangat erat. Lagi pula saat ini di kehidupan modern sangat sulit membedakan antara HTN dengan HTUN.
"Hal ini selaras juga dengan pendapat ahli dari terdakwa yaitu Husnul Abadi dan Ferry Amsari yg berpendapat sama," terang JPU.
Terkait dalil PH terdakwa berkenaan dengan asas presumtio ius Causa, yaitu tentang asas di mana putusan masih tetap berlaku sampai dicabut, ternyata menurut JPU SK Pelepasan Kawasan Hutan nomor17/Kpts.II/1998 telah mati dengan sendirinya sesuai dengan diktum ke sembilan dari SK Menhut tersebut. Putusan PK TUN nomor 198/2017 yang disebut JPU dalam tuntutan hanyalah melegimitasi kenyataan di mana SK pelepasan.
"Sebenarnya telah mati sejak 6 Januari 1999, jadi bukan sebagai tempat berpijak perkara ini tetapi putusan ini yang memastikan bahwa SK pelepasan untuk PT DSI memang telah mati, kemudian digunakan untuk mengurus izin lokasi (Inlok) dan IUP pada 2006 dan 2009. Padahal kedua terdakwa telah tahu permohonan izin telah ditolak dua kali oleh bupati Siak Arwin pada 2003 dan 2004 lalu," kata dia.
Menurut tim JPU, ahli terdakwa Dr Muzakir dan ahli JPU Dr Mahmud Mulyadi sama -sama sepakat soal- soal batal atau tidak bukanlah lapangan hukum pidana, tetapi hukum administrasi negara. Kedua ahli itu menawarkan solusinya adalah melihat putusan dari pengadilan TUN yang terlihat dalam putusan PK nomor198/tun/2017.
Berkenaan dengan asumsi PH Terdakwa yang menyebut tidak ada pemalsuan terhadap SK Pelepasan karena semua saksi menyebut surat itu asli, JPU berpendapat, material memang tidak ada yang dipalsukan tetapi SK Pelepasan itu digunakan seolah -olah masih hidup dan berlaku. Penggunaannya untuk memohon izin-izin lainnya. Penggunaan surat yang telah mati itu yang disebut menggunakan surat palsu.
"Hal ini dikuatkan oleh ahli Dr Mahmud Mulyadi yang menyebut pemalsuan atas dua hal yaitu pemalsuan material dan pemalsuan intelektual, yaitu isinya yang tidak sesuai dengan kebenaran," kata JPU.
Demikian juga mengenai saat terjadi tidak pidana (tempus delicti), menurut JPU selain seharusnya hal ini harus dimuat dalam eksepsi oleh PH terdakwa (PH terdakwa tidak menggunakan haknya ketika itu), lagi pula hak menuntut belum gugur karena tindak pidana dalam perkara aquo terjadi pada 2006 dan 2009 ketika digunakan untuk mohon Inlok dan IUP. Kemudian kejadian pada 2012, saat izin digunakan untuk bukti dalam perkara perdata oleh PT DSI, sehingga temposnya sudah sesuai aturan dan tidak bertentangan dengan pasal 78 dan 79 dan hak menuntut tidak gugur.
Dengan demikian pendapat ahli Husnu Abadi, putusan dianggap benar sampai dengan dicabut, tidak relevan lagi karena telah diuji oleh PK nomor 198/2017 sesuai diktum 9. PT DSI tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan sehingga batal dengan sendirinya. Terkait presumtio ius Causa PT DSI tidak mempunyai kepentingan lagi sejak 6 Januari 1999.
Berdasarkan alasan, JPU mementahkan pula pendapat ahli dari terdakw, Gunardo yang menyebut SK pelepasan masih tetap berlaku karena belum dicabut Menhut. Penpat itu bertolak belakang dengan putusan PK nomor 198/2017 tersebut.
"Lagi pula Apakah masih berlaku atau tidak suatu SK mentri, ahli Gunardo tidak berwenang menilai keputusan tersebut karena yang berwenang adalah pengadilan TUN," kata JPU lagi.
Mengenai tidak ada materi pembatalan dalam putusan PK 198 sebagaimana disebut dalam pledoi, JPU menyebut PH terdakwa mesti melihat halaman 53 putusan tersebut. Sebab jelas ditegaskan pemohon tidak mempunyai kepentingan lagi.
"Dasar hak PT DSI SK pelepasan tidak berlaku lagi, jadi PH hanya melihat persoalan secata sepotong -sepotong dan tidak komprehensif," kata JPU Nelly.
Hal lain yang dimentahkan JPU mengenai alasan tidak bisa mengurus HGU karena keadaan bahaya, disebut JPU tidak tepat. Sebab, saat itu negara tetap berjalan. Kalau diterapkan alasan bahayanya bisa menunda kewajiban, maka contoh kecilnya saja berakibat banyak.
" PNS yang batal karena SK dalam bahaya tahun 1999 maka pendapat ahli terdakwa yaitu Ferry Amsari keliru. Selanjutnya pendapat PH yang bersandar pada PK nomor 158 tahun 2016 yang menyebut SK pelepasan masih berlaku, juga tidak tepat. Karena genus nyawa dari SK pelepasan kawasan nomkr 17 / 98 adalah tanah tata usaha negara yang harus diselesaikan oleh leradilan TUN.
Dilanjutkan JPU, Pk TUN adalah putusan terakhir yg lebih kemudian lahirnya dari PK perdata yang keluar 2016.
Kata JPU, titik tumpu perkara ini adalah permohonan izin PT DSI telah 2 kali ditolak kemudian digunakan lagi untuk mohon Inlok dan IUP. Penggunaan SK pelepasan yang tidak berlaku lagi untuk kepentingan Inlok dan IUP inilah yang disebut menggunakan surat palsu dalam perkara ini.
Alasan keterlabatan karena masih bisa ditoleransi menurut ahli Gunardo, dasar SK 1998 adalah SKB 3 mentri. Pasal 11 SKB BPN mengatakan selambat- lambatnya 45 hari sejak ada SK pelepasan harus telah terbit SK HGU.
"Ada batas waktu secara limitatif dalam SKB tersebut yang mengunci SK pelepasan kawasan telah tidak berlaku lagi. Alasan masih berlaku menurut Feri Amsari karena keadaan bahaya tidak tepat karena yang ada tahun 1998 hanya penggantian presiden, sedang urusan lain dari pemerintahan tetap normal," kata dia.
Menurut JPU, unsur -unsur sudah lengkap pada dakwaan. Pasal 263 ayat 2 telah terbukti maka tetap tuntutan Analisa yurisdiksi tetap dengan tuntutan 2 tahun 6 bulan. JPU juga menyebut pledoi PH tidak sesuai fakta persidangan.
Reporter: Darlis Sinatra