Kursi di Parlemen Menurun, Kepemimpinan Airlangga Mulai Dikritik Kader Beringin
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Catatan Partai Golkar dalam Pemilu Serentak 2019 dinilai kurang memuaskan. Sebab, Golkar di bawah komando Ketua Umum Airlangga Hartarto gagal memenuhi target kursi parlemen sebanyak 110 kursi.
Kader partai beringin, Yorrys Raweyai juga menyebut bahwa kursi Golkar di DPR mengalami penurunan signifikan jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Tercatat, pada 2009 Golkar meraih 14,45 persen dan berhak menduduki 107 kursi. Sementara di Pemilu 2014 Golkar meraih 14,75 persen atau setara 91 kursi.
“Meski deretan argumentasi politis cukup banyak yang bisa diajukan untuk sekadar memandang penuruanan suara ini sebagai suatu hal yang wajar,” kata Yorry dalam catatannya berjudul Golkar Pasca Pemilu 2019 yang dipancarluaskan pada Jumat (21/6).
Dalam tataran pilpres, masih lanjut Yorrys, Golkar sebagai partai yang kali pertama mendeklarasikan dukungan kepada Joko Widodo sebagai calon presiden juga tidak mendapat peningkatan elektoral secara signifikan.
“Tekad Partai Golkar yang mengajukan Airlangga Hartarto sebagai calon pendamping Joko Widodo pun tidak memberi dampak lebih. Figur Airlangga tidak mampu memberi kepercayaan secara elektoral, baik bagi Partai Golkar maupun bagi Joko Widodo,” sambungnya.
Yorrys turut menyinggung jabatan Airlangga sebagai Menteri Perindustrian sebagai salah satu faktor yang mengganjal laju kepemimpinan di partai.
Menanggapi kritik Yorrys atas kursi partai yang merosot tersebut, pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar menilai ada faktor masa lalu yang menjadi penyebab. Salah satunya, kasus korupsi yang melibatkan kader dan elit Golkar.
“Diakui atau tidak, publik mengesankan Golkar tidak serius menggarap proyek anti-korupsi dan tetap mempertontonkan perilaku koruptif yang dilakukan ketum sebelumnya," ujarnya saat dihubungi wartawan.
Selain itu, ada juga kader dari Partai Golkar yang berdiaspora dengan membentuk partai sendiri. Menurut Idil, berdirinya Partai Berkarya yang lahir dari rahim beringin, ikut menyumbang andil dalam pengurangan suara Golkar.
“Publik yang masih berempati dengan nostalgia orde baru mengalihkan dukungan ke Partai Berkarya yang jelas merupakan anak kandung langsung dari penguasa orde baru," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun menilai kritik pada ketua umum Golkar memang kerap dimunculkan jelang musyawarah nasional (munas). Sehingga menjadi wajar jika Yorrys melontarkan kritik mengingat Desember nanti Golkar akan menggelar munas.
Dia mencatat, pucuk pimpinan di Partai Golkar juga terus berganti pasca reformasi. Hanya Aburizal Bakrie yang sempat menang di munas untuk menjabat kedua kali. Tapi, Ical tidak akhirnya kewalahan menghadapi dualisme yang ada di tubuh partai.
"Golkar pasca reformasi adalah memastikan adanya pergantian kepemimpinan secara teratur. Seingat saya terakhir kali ada yang maju di periode kedua pasca 2014 lalu juga tidak berakhir baik," kata Rico kepada wartawan.
Hal itu terjadi lantaran Golkar merupakan partai yang dihuni banyak kader-kader mumpuni. Termasuk adanya kegelisahan kader untuk terus melakukan evaluasi partai.