Mencari Makna Sastra

Mencari Makna Sastra

Oleh: Syaiful Anuar*

RIAUMANDIRI.CO - Sastra lahir dari beragam kegelisahan yang merawang-mendanau dari batang ke batang perkara. Sastra memulai langkahnya dari keluh kesah yang berkepanjangan itu. Memang banyak penafsiran sastra yang berbeda bahkan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Dalam perbedaan dan pertentangan rumit itu pula, ruang keberadaan sastra menjadi abstrak. Sastra sebagai ciptaan fiktif yang tak mungkin ditemukan keberadaannya, absurd. Tetapi, dalam ruang lainnya sastra dianggap sebagai suatu kenyataan, fakta, ideologi, bahkan sebagai dari riwayat dari dasar kehidupan. Kita tidak akan menemukan makna yang dipakai sebagai titik tolak pemahaman yang dapat mewakili pikiran orang banyak.

Agaknya, setakat ini belum ada makna sastra yang sahih. Banyak ahli mengemukakan pendapatnya untuk memberi makna terhadap sastra. Segmentasi sastra dalam banyak dalil mengenai makna sastra itu dikemukakan pula dengan bukti otentik yang pada kesimpulannya menggambarkan makna sendiri pula. Dalam bahasa kesusastraan Hindu Kuno (Sanskerta) ‘shastra’, dimaknai sebagai teks yang mengandung instruksi, pedoman, serta ajaran. Sastra dibagi dalam dua kata dasar, ‘shas’ bermakna insruksi, pedoman, dan ajaran, sedang kan kata ‘tra’ berarti alat atau sarana. Luxemburg dkk 1989, mengemukan bahwa tidak memungkinkan untuk mendefinisikan makna sastra secara universal. Ia melihat tempat lahirnya sastra dipastikan berbeda dengan alasan berbeda yang hidup dalam lingkungan budaya berbeda pula. 


Upaya mencari makna sastra telah dilakukan banyak ilmuwan. Teeuw 1984, menjelaskan berbagai usaha ilmuwan untuk memaknai sastra secara jelas. Teeuw melihat, setidaknya banyak ahli yang telah berusaha memberikan batasan-batasan teks yang dapat dikatakan sebagai teks sastra. Namun, dari berbagai batasan itu sering dilihat sebagai sesuatu yang tidak utuh, longgar, dan bahkan lebih dangkalnya lagi dianggap sebagai batasan yang hanya dapat dilihat pada penyair tertentu saja. Penolakan terhadap batasan itu didasari dengan alasan bahwa batasan itu belum cukup mewakili makna sastra secara sempurna.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia misalnya, sastra dimaknai sebagai bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab suci (bukan bahasa sehari-hari), kitab ilmu pengetahuan, primbon, dan tambo yang sering dikawinkan dengan mite, legenda, dan dongeng. Pegnertian ini berbanding terbalik dengan pernyataan Eagleton (1988), ia berpendapat bahwa sastra sebagai karya tulisan yang halus (belle letters). Sastra terdiri atas bahasa harian yang dituliskan mendalam dengan bentuk padat, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, serta dijadikan ganjil. 

Sastra dipandang absurd dan relatif sifatnya. Setiap kelompok komunal dengan kehidupan sosial yang berbeda dengan yang lainnya, memandang sastra dengan caranya masing-masing. Mungkin untuk lebih jelasnya, sastra dapat dimaknai sebagai cara berpikir, proses petualangan batin, dan pengalaman hidup seseorang dalam kehidupan di kelompok sosial budayanya masing-masing. Artinya, setiap individu memiliki pemaknaannya sendiri terhadap sastra dan setiap kelompok manusia mendefinisikan sastra yang berbeda dengan kelompok lainnya. Karya sastra lahir dari proses kreatif dalam mengawinkan kata-kata untuk menggambarkan imajinasi pengarangnya. Sumardjo 1979, telah memisahkan makna sastra yang lahir sebagai produk ciptaan masyarakat dan turut mencerminkan jati diri masyarakatnya. Obsesi masyarakatnya diwakili pengarang yang menjadi bahagian dari masyarakat tersebut, maka ia juga melihat proses dalam mempelajari suatu kelompok masyarakat dapat melalui sastranya.

Untuk menjelaskan hal tersebut, saya mengajak kita melihat kelompok masyarakat primitif. Ekspresi dan aksi sastra beranjak dari pemikiran mistis yang diwujudkan dalam berbagai ritual yang dirangkai dari berbagai persoalan. Tindakan ini dilakukan dengan cara memanipulasi keadaan agar mereka dapat ke luar dari perkara yang tak berkesudahan. Hal ini tentunya tak berbeda dengan pelaku sastra dalam masyarakat modern. Mereka juga berangkat dari persoalan yang dahaga dan ingin menciptakan dunia baru yang jauh dari kekusutan. Hanya saja, menciptakan dunia baru itu berbeda caranya.

Dalam hal yang berbeda dari objek yang sama misalnya, kita dapat melihat sastra dari air di sungai. Jika cara memaknai sastra dari air sungai yang mengalir dilekatkan pada aktifitas di hulu sungai maka kita akan memaknainya secara seragam. Di mana orang-orang mandi di sana dan kemudian memberikan makna airnya yang hanyut ke hilir membawa kotornya daki mereka. Atau orang yang melihat aktifitas di hulu sungai akan memberikan makna bahwa air yang berada di sepanjang sungai itu telah kotor karena aktifitas di hulunya. Apakah mereka yang berada di hilir sungai memberikan makna yang sama dan menganggap air dari hulu itu telah kotor? atau mereka menganggap air dari hulu masih bersih dan dapat menyucikan diri? Pemaknaan air di sungai yang sama tentu berbeda di benak setiap orang yang tinggal di sepanjang sungai itu. Mereka melihat sungai sebagai bahagian dari diri mereka.

Sastra dapat dimaknai dari sudut pandang apa saja dan di mana saja. Tentang bagaimana dua orang memberikan makna pada rokok misalnya. Si A yang membakar dan menghisap rokok sambil merasakan nikmatnya dianggap telah memberikan makna pada sebatang rokok. Sebaliknya, jika si B tidak membakar atau mengisap rokok, tetapi mematahkan dan bahkan membuang rokok, bukankah ia juga telah memaknai rokok itu?. Kedua perilaku itu sebenarnya menggambarkan makna yang sama-sama mendalam. A jelas sebagai pencinta dan B dilihat sebagai pembenci rokok. 

Entah di mana letak punca makna sastra itu. Sangat sulit untuk menyatukan pengalaman pribadi setiap individu dalam memaknai sastra secara universal, hingga takkan mungkin dilihat dalam keseragaman. Sastra melekat dalam benak setiap individu seiring dengan pengalaman hidupnya. Sastra mengalir dalam sendi-sendi kehidupan itu sendiri. Puncanya muncul dari arah di mana orang akan lebih mengenal dirinya sendiri.

*Penulis lahir di Pantaicermin, Riau pada tanggal 6 April 1985 dari pasangan Mhd. Nur dengan Nurdiah. Anak kedua dari dua bersaudara. Menulis sejak tahun 2008. Selain menulis kajian kebudayaan, juga menulis puisi dan esai. Beberapa puisi dan esainya pernah dimuat beberapa media cetak dan online.