Media Sosial dan Radikalisasi
Akhir Februari lalu, publik Inggris terkaget dengan kisah tiga remaja dari Akademi Bethnal Green yang melarikan diri untuk bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Ketiganya terdeteksi berkomunikasi dengan seorang remaja yang berada di Suriah melalui media sosial.
Aqsa Mahmood, nama perempuan itu, adalah remaja Muslim dari Skotlandia keturunan Pakistan yang lebih dulu berangkat ke Suriah. Aqsa mengajak tiga rekannya itu bergabung dengan ISIS melalui media sosial.
Kasus yang sama muncul dari remaja 18 tahun asal Korea Selatan bermarga Kim. Sejak 8 Januari 2015, Kim dilaporkan menghilang dan telah bergabung dengan ISIS. Kim adalah remaja putus sekolah yang sebelum kepergiannya telah mengunggah serangkaian pesan melalui akun Twitter-nya yang berisi permintaan bantuan mendekati ISIS. Tentu masih banyak kisah lain, termasuk dari Indonesia.
Apa yang bisa kita baca dari fenomena meresahkan itu? Fenomena ini menjelaskan bagaimana kelompok radikal terorisme secara cerdas telah memanfaatkan internet, khususnya media sosial, sebagai alat propaganda dan rekrutmen. Dalam berbagai penelitian, ada ribuan media sosial yang 'diperalat' melancarkan kam panye radikalisme.
Secara kategoris, ada propaganda yang secara gam blang mengajak terjun ke medan jihad, tapi ada juga yang 'malu-malu' dengan hanya menarasikan doktrin keagamaan yang ekstrem dan radikal.
Dalam spektrum lebih luas, fenomena penggunaan internet oleh kelompok teroris merupakan suatu pola, modus, dan strategi baru yang menggejala secara global. Philip Seib dan Dana M Janbek menyebutkan fenomena ini sebagai terorisme global dengan media baru dari generasi pasca-Alqaidah. Kekuatan teroris tidak lagi dari jaringan perorangan, tapi melalui network media yang terhubung secara global. Melalui media baru ini mereka tidak hanya mengirimkan pesan secara lokal, nasional, regional, tetapi global yang menjangkau seluruh audiens.
Kehadiran media baru di dunia maya tentu keuntungan tersendiri bagi kelompok teroris. Dalam tinjauan sosiologi komunikasi sebagaimana Manuel Castells amati, hubungan antara terorisme dan media ini dapat dilihat dari dua tujuan inti terorisme, yakni teror dan politik media. Aksi terorisme diarahkan untuk menyentuh kesadaran sementara pemberitaan media sebagai pembentukan opini publik. Semua aksi terorisme berorientasi media agar mendapatkan respons spektakuler dan peliputan.
Secara garis besar, penggunaan jaringan internet oleh kelompok teroris dapat dikategorikan dalam dua hal. Pertama, cyberterrorism, yakni penggunaan internet secara destruktif untuk menyakiti seseorang atau properti termasuk menyerang dan mengubah situs dengan menyebarkan virus, mengubah konten, merusak, atau menyisipkan pesan radikal di situs orang lain. Kedua, propaganda online di mana kelompok teroris memanfaatkan jaringan internet sebagai media komunikasi untuk kepentingan propaganda, radikalisasi, dan rekrutmen.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat propaganda terorisme bukanlah hal baru. Sebagaimana catatan Bruce Hoffman, kelompok teroris telah lama memanfaatkan ruang dunia maya dengan mendirikan ribuan situs dari berbagai bahasa. Perkembangan terkini mereka mulai merambah ke ajang media sosial.
Pakar komunikasi, Gabriel Weimann (2014), menduga salah satu alasan kelompok teroris menyukai media sosial sebagai media propaganda karena secara demografis banyak dihuni kalangan muda yang menjadi target dan sasaran potensial radikalisasi dan rekrutmen. Mengapa remaja?
Dua remaja asal Inggris, Yusuf Sarwar dan Mohammed Ahmed, yang ke Suriah beberapa bulan sebelum berangkat tercatat memesan dua buku di Amazon. Dua buku itu tentang pengantar Islam, Islam for Dummies dan the Koran for Dummies. Artinya, kebanyakan remaja yang direkrut paham keagamaannya rendah. Mereka men cari pengetahuan keagaman dari media online. Saat itulah, mereka bertemu pemahaman keagamaan yang radikal.
Aqsa, perekrut tiga remaja Inggris, menurut penuturan ayahnya di CNN, ia terlahir dari keluarga Muslim moderat. Pikiran Aqsa banyak terpengaruh setelah sering menyaksikan khotbah secara daring dan menjalin kontak lewat media sosial dengan orang-orang yang meninggalkan Glasgow ke Suriah.
Di sinilah bisa dilihat efektivitas media sosial karena lebih komunikatif, interaktif, dan langsung menyasar ke sasaran. Dari proses itulah radikalisasi berjalan di dunia maya.
Gary R Bunt mengulas fenomena ini dengan istilah Islamic Authority Online, yakni munculnya fatwa online dengan ragam ideologi, termasuk yang radikal sekalipun. Otoritas keagamaan online selain meruntuhkan otoritas keagamaan offline ternyata memiliki pengaruh besar mengubah pemahaman dan ekspresi keagamaan seseorang.
Sebenarnya fenemona belajar Islam online bukanlah persoalan, justru sebagai media dan pendekatan baru pembelajaran. Namun, berapa banyak dari remaja yang concern pada latar belakang dan validitas situs dan media sosial yang dikunjungi. Harus dipahami bahwa situs dan media sosial radikal dewasa ini telah masif dan intensif menggunakan media baru ini sebagai media penyebaran paham dan ajarannya.
Maraknya radikalisme di dunia maya menandai perubahan pola dan strategi baru radikalisasi. Remaja tidak lagi-meskipun masih ada-mengalami proses radikalisasi di tempat ibadah dan ruang rahasia. Dewasa ini, kebanyakan remaja telah teradikalisasi di dunia maya saat waktu senggang di kamar tidur, ruang sekolah, dan tempat istirahat. Proses radikalisasi melalui dunia maya tentu akan masif terjadi dan sulit diidentifikasi dan dikontrol. Apa yang bisa dilakukan?
Pada level kebijakan, peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam membendung penyebaran ideologi yang menyesatkan. Namun, harus diakui masih ada celah terutama pada aspek regulasi terkait pencegahan terorisme di dunia maya. Regulasi yang ada belum mampu memayungi secara komprehensif berbagai program dan kegiatan pencegahan yang berkaitan dengan para penyebar paham, ajaran, dan ajakan di dunia maya.
Karena itulah, kita banyak berharap dari tumbuhnya pertahanan diri remaja yang dengan cerdas dan bijak mampu membandingkan berita dan konten situs sehingga ada keseimbangan perspektif dan pengayaan pengetahuan. Gerakan cerdas media menjadi keniscayaan di tengah kian gencarnya tebaran propaganda terorisme di media online.
Ketika kelompok teroris telah merambah arena baru, kita juga butuh senjata baru, pasukan baru, regulasi baru, dan tentu strategi baru melawannya. Di sinilah pentingnya yang penulis istilahkan dengan 'pencegahan terorisme secara semesta' yang berarti melibatkan seluruh komponen bangsa, baik pemerintah, industri media, pegiat media, akademisi, pakar, maupun masyarakat untuk terlibat aktif dan bersinergi menanggulangi terorisme.
Pada praktiknya, untuk mengimbangi kemasifan radikalisme di dunia maya, kami telah mencanangkan 2015 sebagai "tahun damai di dunia maya" dengan mengajak seluruh pihak, terutama industri dan pegiat media dalam pencegahan terorisme di dunia maya. Mari kita hiasi ruang maya dengan pesan perdamaian pada aspek informatif melalui pemberitaan maupun konten edukasi yang mengajarkan wawasan kebangsaan dan keagamaan yang moderat. Mari bersama cegah terorisme untuk Indonesia damai! (rol)
Deputi Bidang Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT