Fenomena Kenaikan Suara PKS
Oleh: Ade Wiharso
Pemerhati Sosial dan Politik
RIAUMANDIRI.CO - Pemilu legislatif yang selama masa kampanye tersisihkan oleh hingar bingar pilpres, setidaknya telah melahirkan fenomena menarik, salah satunya merangsek naiknya suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Menurut quick count beberapa lembaga survei, seperti Litbang Kompas, per 25 Mei 2019, partai dakwah itu memperoleh sekitar 8,64 persen, naik dari pemilu sebelumnya 6,79 persen. Bahkan diperkirakan masuk jajaran lima besar.
Kenaikan suara PKS itu tentu di luar dugaan. Mengingat pada awalnya PKS diprediksi berbagai lembaga survei menjadi salah satu partai yang akan sulit menembus ambang batas parlemen sebesar 4 persen pada Pemilu 2019. Prediksi sulitnya PKS menembus 4 persen antara lain karena PKS termasuk partai yang tidak seberuntung PDIP dan Gerindra yang memperoleh efek ekor jas karena adanya calon yang dimajukan dalam Pilpres 2019. Ditambah lagi adanya riak konflik internal yang terjadi di tubuh partai PKS, ditandai dengan hengkangnya para elite partai di pusat dan daerah yang kemudian membentuk ormas bernama Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi).
Setidaknya kenaikan suara PKS memantik pertanyaan, apakah hal ini sebuah keluarbiasaan? Atau suatu yang lumrah terjadi jika melihat perilaku pemilih Indonesia? Perilaku pemilih Indonesia yang juga mayoritas muslim, memang memiliki karakter khas, yaitu moderat dan cair. Moderat dan cairnya pemilih Indonesia itu setidaknya terlihat bahwa sebagian besar mereka walaupun beragama Islam, namun ternyata secara mayoritas tidak menjatuhkan pilihannya kepada partai-partai Islam. Di tas kertas, penganut Islam di Indonesia secara statistik sebesar 88 persen, namun total suara yang didapatkan gabungan partai Islam tidak pernah mencerminkan jumlah itu. Gabungan suara partai Islam terbesar hanya terjadi pada pemilu pertama tahun 1955, yaitu sekitar 44 persen. Kemudian di era reformasi gabungan suara partai Islam terus menurun, bahkan dalam tiga kai pemilu terakhir hanya berada dalam kisaran 30 persen saja.
Perolahan partai-partai Islam di setiap pemilu, dan terakhir di pemilu 2019 yang sulit mendapatkan dukungan sepadan dengan jumlah umat Islam yang mayoritas ini merupakan sebuah anomali. Apalagi dalam perkembangan sosial keagamaan di Indonesia saat ini telah ditandai dengan fenomena makin salehnya umat Islam Indonesia. Seperti terlihat dengan makin merebaknya penggunaan pakaian wanita muslim seperti hijab, maraknya program-program keagamaan di media mainstream maupun media sosial, maraknya pengajian di kantor-kantor pemerintah dan swasta, serta ditambah dengan meningkatnya arus sentimen politik identitas pasca aksi 212.
Di tengah makin salehnya umat Islam Indonesia itu, ternyata tidak berdampak signifikan terhadap meningkatnya suara partai-partai Islam. Sehingga bisa dikatakan, agama bukan menjadi pertimbangan penting bagi sebagain besar pemilih muslim di Indonesia dalam menentukan pilihan. Dalam artian lain, Umat Islam Indonesia pada umumnya bertambah saleh secara sosial, namun tidak dalam perilaku elektoral. Dalam memlih, mereka ternyata tak membedakan partai nasionalis dan agama secara ketat.
Kurang dipertimbangkanya faktor agama oleh sebagian besar pemilih muslim, memang tidak terlepas dari cukup tingginya populasi muslim dibandingnkan populasi agama lain, dalam hal demogafi Indonesia. Mungkin pilihan politik yang berkelindan dengan identitas agama akan menjadi lebih kuat, jika populasi antara umat musim dengan non muslim, berbeda tipis. Seperti fenomena Pilkada di beberapa daerah dengan jumlah penganut agama yang berbeda tipis, selama ini.
Menariknya, terjadinya sekularisasi elektoral di kalangan pemilih muslim sejauh ini pun bukan tidak disadari oleh para elit partai-partai Islam sendiri. Mereka setidaknya menyadari kecenderungan perilaku khas pemilih ini. Hal tersebut terlihat dari berbagai program yang ditawarkan partai-partai Islam kepada calon pemilih yang terlihat lebih inklusif. Dari semua partai Islam, tidak ada satu pun yang menawarkan program-program eklusif dan simbolis, seperti penerapan syariah Islam. Mereka lebih tertarik membuat janji kampanye tentang kesejahteraan, pemerintahan bersih, memperkuat supremasi hukum. Dalam kasus PKS mereka pun lebih mengdepankan janji memberlakukan SIM seumur hidup dan penghapusan Pajak Kendaraan Bermotor. Suatu isu yang inklusif.
Ceruk Partai Islam
Cairnya pemilih Indonesia itu juga terlihat dari lemahnya kedekatan mereka dengan partai politik manapun. Dalam artian, jumlah pemilih Indonesia memiliki kedekatan dengan partai atau identitas kepartaian yang rendah. Menurut (Saiful Mujani, 2019), penurunan identitas kepartaian pemilih Indonesia itu sangatlah tajam dari pemilu ke pemilu: dari sebesar 86 persen pada pemilu 1999 menjadi 55 persen pada pemilu 2004, kemudian 20 persen pada pemilu 2009, dan 14 persen di pemilu 2014.
Penurunan identitas kepartaian ini menurut Mujani, konsisten dengan tingkat kepercayaan pemilih terhadap partai politik, yang juga terus anjlok. Dalam hal ini, makin banyak orang yang tidak percaya bahwa partai politik secara umum memperjuangkan kepentingan pemilih. Penurunan kedekatan pemilih dengan partai politik inilah yang memungkinkan mengapa dukungan kepada partai-partai umumnya sangat cair atau tidak stabil. Maka tidak heran jika setiap pemilu kita menyaksikan banyaknya pemilih yang beralih dukungan ke partai lain. Dan ada partai yang ditinggalkan pemilih.
Namun menariknya cairnya pemilih karena identitas kepartaian yang rendah itu seakan terpolarisasi di antara dua rumpun besar pemilih, yaitu rumpun pemilih partai nasionalis dan rumpun pemilih partai Islam. Dalam artian, penurunan suara suatu partai nasionalis akan cenderung beralih ke partai nasionalis lain. Begitu juga di rumpun partai Islam, penurunan suara suatu partai Islam, maka berarti ada peningkatan suara di partai Islam lainnya.
Peralihan suara di rumpun partai-partai Islam itu bisa kita telusuri dalam tiga gelaran pemilu terakhir, di mana terlihat total persentase suara yang stabil dalam kisaran 30 persen. Di Pemilu 2009, tingkat keterpilihan gabungan partai Islam mencapai 29,16 persen. Kemudian pada pemilu 2014 kekuatan elektoral partai-partai Islam (PKS, PKB, PPP, PAN, dan PBB) naik menjadi 31, 41 persen. Dan, menurut hasil quick count, perolehan gabungan suara partai-partai Islam (PKB, PKS, PPP, PAN, dan PBB) di pemilu 2019 sebesar 30,09 persen.
Dari angka pencapaian dalam pemilu 2019 (versi quick count), bisa dikatakan bahwa persentase gabungan suara partai Islam masih stagnan di kisaran 30 persen, bahkan dengan sedikit penurunan sekitar 1 persen dibanding pemilu 2014. Lalu dengan fenomena ini kita pun bisa memprediksi bahwa kenaikan suara suatu partai Islam, dalam hal ini PKS, tidak lebih disebabkan turunnya suara partai lain di rumpun partai partai Islam lainnya, seperti PPP, PAN, dan PBB. PPP mengalami penurunan yang cukup besar dari 6,53 persen di pemilu 2014 menjadi 4,61 persen, PAN juga mengalami penurunan dari 7,59 persen menjadi 6,77 persen, kemudian PBB dari 1,46 persen menjadi 0,77 persen. Sedangkan PKB terlihat cukup bisa menjaga basis suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, sehingga suaranya relatif stabil di angka 9 persen.
Kondisi dan pencapaian pada pemilu 2019 ini setidaknya bisa menjadi catatan bagi partai-partai Islam seluruhnya agar lebih mampu meluaskan pangsa pasar di tengah prilaku pemilih Indonesia yang lebih bersifat moderat dan cair. Perluasan dukungan dengan ide-ide inklusif di pemilu yang akan datang perlu dilakukan, agar bisa meraih para pemilh di kalangan nasionalis. Dengan demikian, hubungan antar partai Islam di setiap pemilu tidak lagi bersifat zero sum game, dengan artian menghindari terjadinya kanibalisasi sesama partai Islam. Wallahualam.