Penyelenggaraan Pemilu 2019 Harus Dievaluasi Total
RIAUMENDIRI.CO, JAKARTA - Wakil Ketua Komite I DPD RI (membidangi hukum dan politik) Fahira Idris mengatakan, Pemilu 2019 merupakan pemilu kelima pasca reformasi seharusnya berjalan lebih baik dan demokratis dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.
Namun dia melihat berbagai persoalan yang terjadi, terutama saat hari pemungutan dan penghitungan suara 17 April 2019 hingga saat ini. Tidak hanya persoalan substantif, seperti aturan perundang-undangan, sistem pemilu serentak pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg), serta integritas penyelenggara di semua jenjang, tetapi juga persoalan yang sifatnya teknis di lapangan terutama terkait logistik, proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS, keamanan kotak suara yang berisi dokumen pascapencoblosan, sistem informasi penghitungan suara KPU yang banyak mendapat sorotan, dan banyak persoalan lainnya.
“Semua sisi penyelenggaraan Pemilu 2019 harus dievaluasi total. Dari sisi regulasi banyak hal yang harus direvisi. Dari sisi teknis lebih banyak lagi yang harus diperbaiki. Berbagai persoalan yang terjadi di Pemilu 2019 ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua, terutama para elit atau mereka yang punya kewenangan dan kekuasaan mendesain regulasi dan sistem pemilu yang sejak awal memang kurang aspiratif. Cukup sekali kita mengalami pemilu seperti ini,” papar Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Menurut Fahira, menyerentakkan pilpres dan pileg harus dipikirkan kembali karena begitu banyak dampak dan konsekuensi yang terjadi di lapangan. Selain membuat proses penghitungan suara menjadi lebih lama, juga menguras daya tahan dan tenaga petugas KPU, pengawas lapangan, saksi, hingga tenaga pengaman. Bahkan sampai ada yang jatuh sakit hingga meninggal akibat kelelahan.
Pilpres dan pileg serentak juga mengurangi perhatian publik terhadap pemilihan DPR, DPD, DPRD sehingga potensi terjadinya kecurangan terbuka. Temuan terakhir, Bawaslu, Kota Surabaya merekomendasikan penghitungan suara untuk pemilihan legislatif di seluruh TPS yang berada di Surabaya karena dugaan salah hitung Formulir C1.
Selain itu, lanjut Fahira, egoisme beberapa parpol yang mematok ambang batas 20 persen pencalonan presiden harus diakhiri karena membatasi hak rakyat memilih lebih banyak calon presiden. Ambang batas yang sangat besar ini juga dianggap tidak sesuai dengan konsep pemilu serentak. Selain berpotensi memunculkan calon tunggal, ambang batas pencalonan presiden 20 persen juga berpotensi mempertemukan hanya dua kekuatan politik seperti yang terjadi saat ini sehingga potensi gesekan juga besar.
Dari sisi teknis penyelenggaraan, sambung Fahira, juga sangat banyak hal yang harus diperbaiki. Dari sisi logistik, kotak suara kardus tidak boleh lagi menjadi pilihan pemilu selanjutnya karena sangat banyak kelemahannya. Selain itu, kekurangan surat suara yang terjadi di beberapa daerah dan surat suara tertukar juga tidak boleh terjadi lagi. Administrasi kepada pemilih juga harus sempurna, karena berdasarkan catatan Bawaslu, masih terdapat pemilih yang tidak mendapatkan formulir C6 (surat undangan mencoblos dan keterangan memilih di TPS mana).
“Hal-hal penting lainnya yang saat ini menjadi masalah, misalnya dibolehkan kepala daerah menjadi tim sukses juga harus dipikirkan ulang dampaknya bagi birokrasi dan rakyat di daerah. Tak kalah penting pengaturan yang lebih tegas terhadap hitung cepat yang kini menjadi polemik panas, agar tidak terulang lagi di pemilu mendatang,” kata senator dari DKI Jakarta itu.
Reporter: Syafril Amir