Nasib Pahlawan Devisa Terus Dirundung Sesal
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Ungkapan pahlawan devisa yang ditujukan khusus kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran yang bekerja di berbagai belahan dunia, sekilas sangat mulia bahkan sangat terhormat. Namun, pada kenyataanya, masyarakat Indonesia sering disuguhkan berbagai kabar dan berita tentang nelangsanya nasib para buruh migran di luar negeri.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertema ‘Perlindungan dan Pemberdayaan Tenaga Kerja’ di Media Centre Parlemen, Gedung Nusantara III, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (18/3/2019) dengan narasumber anggota Fraksi Golkar MPR RI Ikhsan Firdaus dan Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Nur Hasono.
Contoh kasus terbaru nelangsanya nasib buruh migran terjadi pada Eni Suci Suharyati seorang TKI asal Banten yang baru pulang setelah menjalani masa kerja selama 6 bulan di salah satu negara di Timur Tengah.
"Pulangnya Eni ke kampung halaman, tidak membawa kabar manis dan suksesnya seorang TKI tapi membawa kisah horor serta begitu banyak luka fisik dan psikologis akibat penyiksaan yang diterima oleh majikannya," Nur Hasono.
Begitu seringnya nasib para ‘pahlawan devisa’ yang terus dirundung sesal dan kesal, memunculkan satu pertanyaan besar di benak masyarakat Indonesia tentang bagaimana sistem pemberdayaan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia terutama di luar negeri.
Ikhsan Firdaus mengakuibanyaknya permasalahan buruh migran di luar negeri. Namun saat ini menurut beberapa data termasuk dari Migant Care sendiri bahwa ada penurunan yang cukup siginifikan terkait buruh migran bermasalah.
“Seperti contoh kasus terbaru Siti Aisyah. Ending kasus tersebut adalah cermin bahwa pemerintah sudah mulai membangun satu concern tentang bagaimana kita melindungi warga negara kita di luar negeri,” katanya.
Untuk kedepan, lanjut Ikhsan, untuk melindungi tenaga kerja migran Indonesia di luar negeri, memang perlu moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri terutama yang unskill. Lahirnya UU No.18 Tahun 2017 terkait perlindungan pekerja migrant Indonesia, menurut Ikhsan, sangat cukup untuk meelindungi buruh migran.
“Saya sangat berharap ke depan juga ada agreement atau MoU yang jelas antara pemerintah kita dan pemerintah yang menbutuhkan tenaga kerja, tentang segala hal terkait perjanjian kerja TKI,” ujarnya.
Nur Hasono mengatakan bahwa soal unskill dari para buruh yang kemudian menjadi salah satu faktor masalah buruh migran selama ini bukanlah satu-satunya faktor. Ada beberapa faktor lain yang menyumbang banyak terhadap permasalahan seputar buruh migran.
“Pertama, unskill buruh migran memang menjadi satu faktor permasalahan. Namun, faktor yang lebih kompleks lagi adalah inkonsistensi penempatan kerja. Pekerja yang memiliki skill bidang malah di tempatkan agen dipekerjaan bidang B. Ketika terjadi pemeriksaan, para TKI yang penempatannya salah begini akan ditangkap dan dipenjara. Sebab, seperti di Malaysia penempatan kerja mesti sesuai dengan skill yang dimiliki si pekerja. Ini yang banyak menjadi masalah,” terangnya.
Lalu, lanjut Nur Hasono, masalah lainnya adalah pekerjaan yang tidak melihat batasan waktu. Ada pekerja yang mesti bekerja semalam 18 jam bahkan lebih sampai 24 jam tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja (PK), upah juga diberikan secara tidak layak.
Belum lagi para pekerja tiba-tiba berhadapan dengan pemberi kerja atau majikan yang ‘usil’ dan memiliki anggapan bahwa buruh itu adalah budak sehingga bisa seenaknya melakukan apa saja. Walaupun skill para pekerja ada, tapi masalah-masalah seperti itu yang menjadi beban berat buat pekerja dan menjadi masalah berkepanjangan.
“Hal-hal itulah menurut saya yang harus diperhatikan pemerintah juga para wakil rakyat, untuk membuat satu aturan jangan hanya dibebankan kepada para pekerja tapi buatlah aturan ketat yang ditujukan juga kepada para agen dan juga negara yang membutuhkan tenaga kerja,” tandasnya.
Reporter: Syafril Amir