Munafikkah Kita?
Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA
Guru Besar UIN Suska Riau
RIAUMANDIRI.CO - Ketika terbang dari Pekanbaru ke Jakarta bulan September 2018 yang lalu, saya melihat beberapa foto hasil lukisan seorang pelukis yang dimuat dalam majalah yang tersedia di atas pesawat. Si pelukis memberi judul lukisannya dengan “lukisan bangsa munafik.”
Lukisan yang dipamerkannya di salah satu negera tetangga itu terasa indah. Namun, karena awam dalam dunia lukisan abstrak, saya tidak mengerti goresan-goresan mana dalam lukisan tersebut yang melambangkan kemunafikan.
Saya coba amati satu per satu, tetapi tetap saja tidak mengerti. Saya berkata dalam hati, “ya sudah, ini lukisan bangsa munafik, tidak usah dicari-cari lagi di sisi mananya dalam lukisan ini tersirat goresan kemunafikan. Yang jelas, menurut si pelukis, bangsa kita adalah bangsa yang munafik. Titik.”
Pada saat itu juga ingatan saya melayang ke beberapa tahun yang silam, kepada salah seorang ponakan yang mengikuti Ujian Nasional (UN) Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ingatan itu begitu membekas, karena ponakan saya yang sangat lemah dalam mata pelajaran matematika, tiba-tiba mendapat nilai tinggi untuk mata pelajaran tersebut.
“Kok bisa kamu dapat nilai setinggi itu ?”, tanya kami kepadanya. “Ya. Saya disuruh keluar pura-pura ke wc. Sampai di wc sudah ada guru yang menunggu dan memberikan kunci jawaban soal,” jawabnya jujur.
Pertama, walau senang mendengar kejujurannya, saya tetap kaget dengan jawaban seperti itu, kok bisa terjadi begitu?
Kedua, saya sangat amat kecewa dengan perlakuan guru yang begitu ceroboh. Apakah si guru tidak sadar bahwa tindakannya itu sama artinya memberi racun untuk generasi muda bangsa yang pada saatnya nanti menjadi bom waktu yang akan meluluhlantakkan sendi-sendi bangsa dan negara.
Ketiga, ini yang paling parah, konon, sang guru tidaklah sendirian. Ia hanya melaksanakan “perintah” dari orang yang punya kewenangan untuk memerintahnya.
Keempat, kalau memang begitu adanya, maka dapatlah dipastikan bahwa inilah kemunafikan sistemik yang sedang dipraktekkan oleh sebuah bangsa, karena, konon, perbuatan seperti itu juga terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia. Lalu, bukankah ini kejahatan yang sangat fundamental, kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggungjawab untuk mendidik anak-anak bangsa yang dikemudian hari akan menjadi pemimpin bangsa ini ?
Fikiran saya terus melayang jauh ke belakang, ke beberapa tahun sebelumnya lagi. Teringat kembali berbagai tulisan atau percakapan orang di berbagai media atau di berbagai tempat, bahwa kita ini bangsa munafik, suatu julukan yang sangat tidak nyaman, baik di pendegaran apalagi di perasaan.
“Masak sih, bangsa yang sering disebut penganut Islam terbesar di dunia disebut sebagai bangsa munafik,” protes saya dalam hati. Saya terbawa oleh perasaan dan lepas dari obyektivitas keintelektualan.
Begitulah fikiran dan perasaan saya menerawang ke mana-mana ketika masih di atas pesawat terbang. Hati saya terasa hambar ketika menengok kota Jakarta dari udara menjelang landing, kota yang dibanggakan oleh segenap rakyat sebagai ibu kota negara, tetapi mungkin juga telah menjadi ibu kota kemunafikan yang merembes ke segenap penjuru Indonesia.
Kemudian, satu hari setelah pulang ke Pekanbaru, seorang mahasiswa datang ke rumah untuk ujian, nyetor hafalan surat-surat pendek yang memang diwajibkan oleh kampus kepada setiap mahasiswa yang akan mengajukan judul skripsinya.
Ternyata, mahasiswa itu memiliki suara yang merdu. Satu persatu ayat suci yang dilafalkannya terdengar indah, tetapi sayang, sering terhenti karena ia lupa beberapa ayat yang lainnya. Bahkan, ada dua surat pendek yang pada umumnya hafal oleh banyak orang pun ia lupa. Berkali-kali diulang dan dibimbing, tetap saja lupa. Saya mulai curiga, ada apa dengan anak ini. Saya lalu bertanya,
“kamu pernah jadi imam shalat ?”
“Dulu saya tinggal di mesjid dan sering jadi imam Pak,” jawabnya.
Sambil bergurau, saya katakan kepadanya, “kelihatannya hafalanmu dah banyak virus, sehingga kamu banyak lupa, bahkan ayat yang pendek sekalipun.”
“Betul Pak. Saya pun tidak sesering dulu lagi membaca al-Qur’an. Dah jarang.” “Kamu semester berapa ?”
“Semester 13 Pak,”
“Kenapa kok sampai 13. Memang kamu kerja ?”
“Saya ambil cuti selama dua tahun. Ikut organisasi di Jakarta,”
“Memang ada gajinya di organisasi itu, sehingga kamu berhenti kuliah ?”
“Tidak ada gaji Pak, tapi bisalah, karena ada yang ngasih.”
“Berapa umur kamu ?”
”kalau umur asli 25 tahun Pak.”
Saya jadi kaget, “kok ada umur asli. Jadi, ada umur palsu ?”
“Ya Pak. 24 tahun.”
“Kenapa bisa begitu ?”
“Saya dulu ikut Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat provinsi. Karena umur saya dah lewat untuk masuk golongan anak-anak, oleh panitia umur saya diturunkan satu tahun, Tidak hanya itu, semua ijazah dan kartu keluarga saya diganti, dan selesai dalam satu hari Pak.”
“Menurut kamu, perbuatan itu betul apa salah ?”
“Waktu itu saya tidak tahu. Karena masih anak-anak, ya saya anggap itu boleh saja. Bahkan, saya menilai bapak yang mengurus itu orang hebat.”
“Kalau sekarang ?”
“Sekarang saya sadar, itu salah. Bahkan kesalahan besar, karena telah mengajar saya berbohong selagi saya masih kecil.”
Pengakuan si mahasiswa ini membuat saya terdorong mengungkap sebuah realita yang lebih parah lagi dari apa yang dikemukaan di atas, namun terjadi di arena yang sama, arena yang pada prinsipnya sakral tersebut.
Keinginan saya mengungkapkannya semakin sangat terdorong ketika melihat bangsa ini semakin jauh dari kejujuran, sebagai sikap yang sangat diperlukan untuk menjadi bangsa besar dan beradab.
Realita itu adalah tentang seorang remaja di sebuah mesjid yang fasih membaca al-Qur’an. Suaranya bagus dan akhlaknya juga bagus. Tapi saya dibuat kaget oleh pernyataan salah seorang jamaah bahwa anak itu adalah juara MTQ tingkat anak-anak cabang tilawah tunanetra. Kekagetan saya terjadi ketika melihat dia membaca al-Qur’an dengan cara melihat langsung, tidak melalui hafalan.
“Lho, kok dibilang tunanetra,” tanya saya dalam hati. Memang, bila saya perhatikan secara baik-baik, matanya agak kurang jelas bila melihat dekat. Orang menyebutnya rabun dekat. Tapi dia tetap saja bisa melihat walau bacaannya harus lebih didekatkan ke matanya. Apalagi, saya lihat dia juga bisa mengendarai kendaraan bermotor ke sekolah dan ke mana-mana.
Karena takut dia akan tersinggung dan terbuka rahasianya, saya diam saja, tapi tetap ada keinginan untuk bertanya dan menyelidiki apa yang terjadi sebenarnya kepada anak tersebut.
Begitulah. Waktu terus berlalu. Anak itu rajin ke mesjid dan sering azan di samping membaca al-Qur’an ketika ada wirid-wirid pengajian. Sehingga, sampai suatu ketika, saya bertanya kepadanya.
“Dah berapa kali kamu ikut MTQ ?”
“Lima kali Pak.”
“Pernah dapat juara ?”
“Pernah juara dua. Pernah juga juara tiga.”
“Tingkat apa dan cabang apa ?”
“Anak-anak. Cabang tilawah tunanetra.
“Sekarang kenapa tidak ikut lagi, ke tingkat remaja, misalnya ?”
“Saya tidak mau Pak. Saya tidak buta. Saya bisa melihat. Saya tidak mau berbohong. Bertahun-bertahun saya menahan perasaan tertekan karena berbohong. Sekarang tidak mau lagi”
“Apa-apa saja trik yang dilakukan dalam menjalankan kebohongan kamu ?”
“Saya disuruh pakai kacamata hitam. Bila berjalan dituntun. Tidak boleh ke mana-mana bila tidak ditemani dan dituntun. Saya stres. Saya tidak mau lagi berbohong. Saya yakin Allah tahu.”
Terhenyak saya mendengar pengakuan polos dari anak itu. “Sudah sebegituparahnyakah praktek kemunafikan terjadi di bangsa ini ?”, kembali hati saya bertanya. Tapi, apa yang diungkap oleh dua anak di atas, adalah apa yang sering dikatakan oleh banyak orang tentang pelaksanaan MTQ di Indonesia.
Ada hal yang sangat amat kontras terjadi di arena yang sangat relijius itu. Al-Qur’an mengajarkan kejujuran dan mencela kebohongan, tapi di arena di mana kitab suci itu disyi’arkan justru berlaku perbuatan yang menentang dan bahkan tanpa disadari melecehkan al-Qur’an.
Saya sendiripun pernah mengalami hal yang mirip, yaitu ketika menjadi hakim pada salah satu cabang yang dipertandingkan dalam musabaqah. Selesai merekap nilai semua peserta dari semua hakim, dan ranking masing-masing sudah tahu, salah seorang hakim meminta peserta yang dapat ranking di bawah dinaikkan menjadi nomor satu. Permintaan itu disampaikan karena ada yang memesan. Kami jadi berdebat karenanya dan bahkan sampai bertengkar. Sebagai yang paling senior, saya marah besar dengan permintaan tersebut dan menolaknya dengan keras.
Begitulah. Ada banyak lagi kasus seperti itu di tempat dan cabang lain terjadi dan kurang baik bila dibuka semuanya dalam tulisan ini. Yang jelas, apa yang diungkap mahasiswa di atas, serta juga apa yang saya alami dan dengar cerita dari banyak pihak, adalah bagian sangat kecil saja dari sekian banyak perbuatan yang mengindikasikan terjadinya banyak perbuatan kemunafikan di tempat itu serta di tempat-tempat lain yang seharusnya bersih dari perbuatan terscela seperti itu.
Dalam hati saya berkata, di arena dan dalam kegiatan yang sangat relijius saja terjadi praktek-praktek kemunafikan, apalagi di tempat-tempat lain yang nilai atau suasana relijinya tidak ada sama sekali.
Ada pertanyaan yag sangat fundamental pula untuk dikemukakan dalam pembicaraan ini, yaitu, sejak kapankah bangsa Indonesia menjadi bangsa munafik seperti sering dikatakan orang? Lalu, seberapa besarkah kemunafikan itu kini menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari bangsa ini pada hari ini?
Tentu, tidak hanya tidak mudah menentukan batas waktu sejak kapan bangsa ini menjadi munafik, tetapi juga akan beresiko besar. Karena, bila tidak hati-hati akan muncul persepsi bahwa bangsa ini terlahir sebagai bangsa munafik, sehingga para pejuang dan pendiri bangsa yang telah mengorbankan semua milik mereka yang berharga untuk berdirinya negara Indonesia akan terbawa masuk ke dalam persepsi sebagai bangsa munafik.
Perlu ada ukuran untuk menentukan munafik atau tidak munafiknya bangsa ini secara proporsional. Artinya, apa ukurannya seorang atau satu kaum disebut munafik, dan apa pula ukurannya mereka disebut jujur atau baik.
Dari perspektif Islam, ukuran itu sangat jelas dan tegas, yaitu : bila bicara bohong; bila berjanji ingkar ; bila diberikepercayaan khianat. Itulah tiga kriteria kemunafikan yang diberikan oleh Nabi lebih dari 14 abad yang silam.