Berkas Dakwaan Korupsi Alkes di RSUD AA Rampung, Pekan Depan, Lima Tersangka Disidang
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Tiga dokter yang terseret kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di RSUD Arifin Achmad (AA) Pekanbaru tahun 2012/2013 akan menjalani proses persidangan pada pekan depan. Adapun agenda persidangan adalah pembacaan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Adapun tiga dokter itu adalah dr Kuswan Ambar Pamungkas, SpBP-RE, dr Weli Zulfikar, SpB(K)KL dan drg Masrial, SpBM. Dokter-dokter yang bertugas di RSUD AA Pekanbaru itu telah ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas IIB Sialang Bungkuk, Pekanbaru, sejak Senin (26/11) lalu.
Penahanan itu menindaklanjuti penanganan perkara yang diusut penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Pekanbaru. Selain ketiganya, perkara ini juga menjerat dua tersangka lainnya, Yuni Efrianti dan Mukhlis dari CV Prima Mustika Raya (PMR). Dua nama yang disebut terakhir juga dilakukan penahanan.
Atas penahanan itu, dokter-dokter di Riau bereaksi. Para dokter mendesak Korps Adhyaksa Pekanbaru itu menangguhkan penahanan terhadap tiga rekan mereka.
Tak hanya itu, upaya lain juga dilakukan. Seperti mengajukan permohonan penangguhan penahanan oleh sejumlah pihak, seperti dari RSUD AA Pekanbaru, dan sejumlah organisasi profesi kedokteran yang berada di bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Riau.
Atas permohonan itu, Kejari Pekanbaru kemudian melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau untuk meminta petunjuk. Hasilnya, Kejari Pekanbaru tetap keukeuh melakukan penahanan.
Meski begitu, Kejari Pekanbaru menggesa percepatan penyusunan surat dakwaan terhadap para tersangka. Hasilnya, pada Rabu (5/12) kemarin, dakwaan telah rampung dan langsung dilimpahkan ke pengadilan.
Selanjutnya, pihak pengadilan telah menetapkan majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara itu. Selain itu, juga telah diketahui jadwal sidang perdana perkara itu.
"Sidang perdananya sudah diketahui. Itu Selasa (18/12) depan," kata Kepala Seksi (Kasi) Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru, Yuriza Antoni, Senin (10/12).
Dikatakan mantan Kasi Pidana Umum (Pidum) Lingga, Kepulauan Riau (Kepri), sidang perdana itu dengan agenda pembacaan surat dakwaan. Adapun Jaksa yang bertugas menyidangkan perkara itu berjumlah tujuh orang.
"Saya langsung yang akan memimpin tim JPU," tegas Yuriza.
Sebelumnya, Firdaus Aziz selaku Penasehat Hukum dari tiga dokter yang menjadi tersangka, mengapresiasi kinerja Kejari Pekanbaru yang mampu merampungkan dakwaan dalam waktu yang cepat, meski penangguhan penahanan kliennya ditolak.
"Berhubung penangguhan penahanan tidak dikabulkan, otomatis pelimpahan berkas ini sebagai obat lah dari penolakan itu," ujar Firdaus.
Jika telah dilimpahkan ke pengadilan, proses persidangan juga diyakini bisa segera digelar. Saat itulah, katanya, pihaknya akan memaksimalkan segala upaya untuk melakukan pembelaan terhadap kliennya.
"Tentunya, jika itu memang sudah dilimpah, kita tentu akan mempersiapkan segala upaya pembelaan terhadap klien kita ini," sebutnya.
Dirinya yakin, tiga dokter itu tidak bersalah sebagaimana yang disangkakan kepada mereka. Keyakinan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, tiga dokter itu telah menang gugatan perdata yang diputus PN Pekanbaru belum lama ini.
"Kita akan buktikan di pengadilan, karena modal kita secara perdata," tegas Firdaus Aziz.
Dalam gugatan perdata itu, tiga dokter merupakan pihak penggugat. Sementara RSUD AA melalui Badan Layanan Umun Daerah (BLUD) dan CV PMR, masing-masing merupakan pihak tegugat I dan II.
Adapun gugatan yang dikabulkan majelis hakim PN Pekanbaru itu, adalah pihak tergugat diwajibkan membayar utang kepada pihak penggugat sebesar Rp460 juta, tergugat diwajibkan membayar bunga kepada penggugat sebesar 18 persen pertahun, terhitung mulai diajukannya gugatan ke pengadilan hingga keluarnya keputusan berkekuatan hukum tetap.
Lalu, tergugat diwajibkan membayar dwangsom (uang paksa,red) sebesar Rp1 juta perhari jika terjadi keterlambatan pembayaran sejak ada putusan tetap. Terakhir, menghukum tergugat untuk membayar biaya peradilan sebesar Rp1.256.000.
Dasar gugatan tiga dokter itu terkait alat kesehatan (alkes) di RSUD AA Pekanbaru tahun 2012-2013 lalu. Belakangan, alkes ini menjadi persoalan oleh penyidik Polresta Pekanbaru karena diduga adanya penyimpangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara.
"Ternyata dalam pembuktian kita (pada sidang perdata), ada barang (klien) kita, ll yang belum dibayar. Totalnya itu sampai Rp460 jutaan," kata Firdaus.
Tahun 2012/2013 lalu, anggaran pengadaan alkes di RSUD AA Pekanbaru mencapai Rp5 miliar. Sementara yang diusut Polresta Pekanbaru adalah kerjasama yang dijalin pihak rumah sakit dengan rekanan CV PMR.
Dalam penyidikannya, pihak kepolisian mendapati pengadaan alkes tersebut tidak sesuai prosedur. Pihak rumah sakit menggunakan nama rekanan CV PMR untuk pengadaan alat bedah senilai Rp1,5 miliar.
Dalam prosesnya, penyidik menyatakan pihak dokterlah yang membeli langsung alat-alat tersebut kepada distributor melalui PT Orion Tama, PT Pro-Health dan PT Atra Widya Agung, bukan kepada rekanan CV PMR. Nama CV PMR diketahui hanya digunakan untuk proses pencairan, dan dijanjikan mendapat keuntungan sebesar lima persen dari nilai kegiatan.
"Menurut fakta persidangan (perdata), RSUD sudah membayarkan ke CV PMR. Cuma, CV PMR belum melunasi ke pihak dokter karena ada anu (persoalan,red) di antara mereka, antara direksi dengan orang kepercayaannya. Itu faktanya," terang Firdaus.
Terkait ini, kata Firdaus, adanya alkes itu bukanlah berupa kegiatan pengadaan dari proses tender, melainkan pinjam meminjam. Hal ini sebagaimana keterangan Firdaus Aziz lebih lanjut.
"Mengapa mesti dipakai pihak ketiga untuk perjanjian pinjam meminjam alat. Dokter karena profesinya memang memiliki alat kesehatan, baik untuk RSUD maupun RS swasta," sebutnya.
"Pada tahun 2012-2013 itu, alat di RSUD itu faktanya gak ada. Jadi dipinjamlah alat dokter ini tujuannya semata-mata untuk pelayanan kepada pasien. Agar tidak ada komplain ke RS. Ini harapannya," sambung Firdaus.
Menurutnya, hal seperti ini telah terjadi berulang kali, dan tidak pernah timbul persoalan. "Ternyata kemudian, saat penyidikan oleh Polresta, rupanya terhadap pembayaran kepada dokter, dia (rumah sakit dan CV PMR,red) ada membuat semacam dokumen, seolah-olah itu dokumennya pengadaan alkes. Padahal itu barang dokter," terang Firdaus seraya mengatakan kalau alat itu sudah terpasang di tubuh pasien.
Kembali ditegaskannya, kalau kegiatan ini murni terkait perjanjian pinjam meminjam, bukan terkait kegiatan pengadaan melalui proses lelang sebagaimana putusan gugatan perdata.
Reporter: Dodi Ferdian