LAM Riau, Kapal Besar Terseret Badai
Oleh: Hj Azlaini Agus
Tokoh Masyarakat Riau
RIAUMANDIRI.CO - Pada dekade awal Tahun 2000-an, ada suatu keraton di Jawa Tengah yang banyak sekali memberikan gelar kehormatan. Bahkan Gubernur Riau pada waktu itu pun mendapat gelar kehormatan tersebut. Padahal sang Gubernur seperti yang diketahui publik, tidak ada hubungan dengan keraton dimaksud baik secara historis maupun budaya, apalagi jasa.
Begitu mudah dan murahnya keraton tersebut memberikan gelar kehormatan kepada siapa saja, baik dari kalangan birokrat, kepala daerah, pengusaha, pedagang, politisi dan sebagainya.
Beberapa waktu kemudian, dari sebuah media cetak diketahui bahwa keraton di Jawa Tengah itu sedang mengalami krisis keuangan, sehingga terjadi kesulitan untuk membiayai kebutuhan rutin keraton.
Pemberian gelar kehormatan yang gencar dilakukan pada waktu itu antara lain dilakukan untuk menopang keuangan keraton. Fenomena itu kemudian berakhir, tentu saja setelah penguasa keraton menemukan jalan keluar dari kesulitan keuangan tersebut.
Dalam 2 pekan terakhir warga masyarakat Riau disibukkan oleh polemik tentang rencana Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau yang akan memberikan Gelar Adat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Langkah LAM Riau tersebut adalah suatu polemik dan wajar kalau menimbulkan tanggapan pro dan kontra.
Sebenarnya tentang Pemberian Gelar Adat oleh LAM Riau, sudah ada pakemnya, sudah ada aturannya. Dan kepada siapa gelar adat dapat diberikan juga sudah ada alasan dan tata caranya. Semua keputusan itu dibahas dengan seksama oleh Majlis Kerapatan Adat (MKA) LAM Riau yang merupakan badan yang memiliki fungsi kontrol terhadap jalannya LAM Riau; kira-kira seperti Majelis Syuro.
Dari berbagai media pada beberapa hari terakhir kita membaca ucapan Ketua DPH LAM Riau, Syahril Abubakar yang menjelaskan tentang alasan pemberian gelar adat kepada Jokowi, yang oleh Syahril Abubakar dianggap berjasa untuk Riau.
Pertama, menurut Ketua DPH LAM Riau bahwa Jokowi berjasa menanggulangi asap, sehingga sudah 3 tahun Riau tidak menderita gangguan asap. Haruslah dipahami bahwa tindakan Jokowi tersebut bukan dilakukan untuk Riau saja, tetapi itu adalah program pemerintah menanggulangi bencana asap secara nasional, di seluruh daerah di Indonesia, terutama Sumatera bagian Selatan dan Kalimantan yang selama 5 (lima) tahun terakhir merupakan produsen asap sejalan dengan pembukaan lahan perkebunan secara besar-besaran.
Jadi bebasnya Riau dari asap tidaklah dapat dikatakan sebagai jasa Jokowi untuk Riau, melainkan program pemerintah secara nasional. Selain itu peran Pemprov Riau dan beberapa Pemkab di Riau yang didukung oleh Danrem dan personil TNI, pada tahun 2015 dan 2016 dalam melanggulangi bencana asap, juga ternyata sangat efektif dalam menanggulangi bencana asap, sehingga di tahun 2017 dan 2018 tidak terjadi bencana asap yang masif.
Para prajurit TNI dan relawan yang siaga 24 jam di sekitar titik-titik api, bahkan mereka tidur di dekat titik-titik api, di bawah koordinasi Forkopimda dan Kepala dan Satuan BPBD Riau. Jadi penanggulangan asap bukanlah program Jokowi yang dikhususkan untuk masyarakat Riau.
Kedua, menurut Syahril Abubakar Presiden Jokowi telah memberikan Block Rokan kepada Riau. Semua orang waras tahu bahwa Konsesi Blok Rokan diserahkan Presiden Jokowi kepada Pertamina, bukan kepada masyarakat/ daerah Riau.
LAMR memang membentuk Tim Perjuangan Rokan Blok dan pergi ke Jakarta meminta hak untuk mengelola Blok Rokan setelah kontrak Chevron Pasifik berakhir di tahun 2021.
Ada 3 pihak yang meminta hak untuk mengelola Block Rokan sesudah 2021, yakni PT Chevron sendiri yang sudah menyanggupi penyediaan dana operasional USD 8 Milyar/tahun, Pertamina dengan kemampuan dana USD 750 juta/ tahun, dan Tim Block Rokan LAMR yang merasa mewakili masyarakat Riau.
Dan nyatanya Pemerintahan Jokowi menyerahkan Block Rokan kepada Pertamina. Atas desakan masyarakat Riau, Pertamina kemudian “menyatakan akan bekerja sama dengan BUMD Riau”.
Dari berbagai sumber diketahui bahwa untuk operasional Block Rokan itu dibutuhkan setidaknya USD 8 Milyar/tahun, karena Pertamina hanya punya kemampuan dana USD 750 Juta/tahun, berarti Pertamina pasti akan menggaet investor lain untuk mengoperasionalkan Block Rokan setelah kontrak Chevron berakhir.
Tentang bagaimana bentuk kerjasama Pertamina dgn masyarakat/BUMD Riau dan keuntungan apa yang diperoleh Riau dari kerjasama dgn Pertamina tersebut, sampai hari ini belum jelas.
Jadi Block Rokan tidaklah bisa dianggap sebagai kebaikan hati Jokowi untuk Riau, apalagi untuk dijadikan alasan pemberian gelar adat. Akan tetapi, seandainya pada Agustus 2018 yang lalu Presiden Jokowi menyerahkan pengelolaan tambang migas blok Rokan tersebut kepada daerah dan masyarakat atau pun BUMD Riau, maka barulah layak LAM Riau menganggap Jokowi berjasa untuk Riau, dan pemberian gelar adat kepada beliau menjadi “patut”.
Ketiga, tentang TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) yang dijelaskan Syahril Abubakar sebagai alasan pemberian gelar adat kepada Jokowi, juga terkesan mengada-ada. Seperti diketahui bahwa Program TORA adalah program nasional yang dilakukan pemerintah di seluruh wilayah Indonesia.
Di dalam Perpres RI No. 86 Tahun 2018, Pasal 1 butir 1 dijelaskan bahwa "Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui Penataan Asset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia".
Dibandingkan dengan daerah lain sampai saat ini Riau termasuk daerah yang masih sangat kecil presentase penerimaan sertifikasi TORA.
Selain itu konsep TORA yang diatur oleh Perpres RI No. 86 Tahun 2018, tidak mengatur tentang skema pengembalian hak ulayat Masyarakat Adat di Riau yang sejak puluhan tahun lalu diambil oleh pemerintah dan diberikan kepada investor untuk membangun usaha perkebunan dan lahan usaha kehutanan.
Di dalam perpres tersebut tidak menyebutkan baik secara explisit maupun implisit bahwa masyarakat hukum adat merupakan salah satu subjek TORA.
Jadi Program TORA bukan program Jokowi khusus untuk Riau, dan tidak diperuntukkan untuk mengembalikan/ memulihkan hak ulayat masyarakat adat atas hutan dan tanah. Bagaimana pula TORA dipandang sebagai budi baik pemerintahan Jokowi untuk Riau?
Keempat, menurut Syahril Abubakar bahwa Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit, juga menjadi alasan pemberian gelar adat kepada Bapak Jokowi. Padahal Inpres tersebut juga tidak mengatur secara spesifik hal-hal positif yang diperoleh masyarakat dan daerah Riau, karena konsep yang ada di dalam Inpres tersebut berlaku untuk seluruh Indonesia, dan sampai hari ini belum direalisasikan, begitu juga untuk daerah Riau.
Jadi angka 2 juta hektar kebun sawit untuk rakyat Riau yang disampaikan oleh Ketua DPH LAM Riau di media on line beberapa hari yang lalu tidak jelas dasarnya. Hal itu belum ada realisasinya, bahkan Pemprov Riau dan Pemkab di Riau yang bertugas melakukan pengumpulan dan verifikasi data serta pelaporan hasil verifikasi, belum memulai tugasnya.
Lalu darimana muncul angka 2 juta hektar yang diekspose oleh Ketua LAM Riau itu? Konsep dan Program Inpres No. 8 Tahun 2018 itu secara keseluruhan memang bagus, tapi seberapa besar manfaat yang sudah direalisir dan dimanfaatkan oleh masyarakat Riau, itu masih belum ada sama sekali, semuanya masih tanda tanya.
Lalu apakah sesuatu yang masih tanda tanya dapat dianggap sebagai sebuah prestasi? Apakah gelar adat yang merupakan gelar kehormatan layak diberikan untuk prestasi yang masih tanda tanya.
Saya kira orang Melayu di Riau ini bukan orang bodoh, bukan pula orang-orang tuli dan buta. Orang-orang Melayu di era teknologi informasi canggih ini, sudah sangat cerdas. Dan orang cerdas berfikir menggunakan logika, dan logika itu dibangun di atas fakta, bukan di atas angan-angan, bukan agak-agak, bukan tebak-tebak buah manggis, dan yang jelas bukan janji-janji yang tak jelas. Begitu pula kalau LAM Riau mau memberi gelar adat kepada siapa pun juga, maka lakukan itu untuk sesuatu yang “layak” menurut akal sehat.
Pekanbaru, 8 Desember 2018