Tingkatkan Mutu dan Kualitas Pendidikan, Regulasi Harus Terintegrasi dengan IT
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Untuk lebih meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan di Riau, khususnya dalam melaksanakan program wajib belajar 12 tahun, diperlukan pemahaman dan wawasan bagi seluruh pemangku kepentingan. Hal ini bertujuan agar dalam penerapan regulasi pendidikan, baik perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan bisa terintegrasi dengan penggunaan IT.
Alasan tersebut menjadi dasar bagi Forum Komite SMA, SMK, SLBN se Riau untuk menggali ilmu dan juga pola penerapan di Dinas Pendidikan Jakarta dan juga Bandung Jawa Barat. Kegiatan yang digelar dalam studi banding tersebut dilaksanakan pada 11-13 November kemarin.
Sebanyak 60 orang unsur, terdiri dari MKKS SMA, SMK, SLBN, Forum Komite SMA, SMK, SLBN kabupaten/kota se-Riau, kepala sekolah SMA dan SMK se-Pekanbaru mengikuti agenda ini. Dengan turut didampingi Kepala Dinas Pendidikan Riau, Rudiyanto dan juga staf Ahli Disdik Riau, Kalis Binsar.
Dikatakan Ketua Forum Komite SMA, SMK, SLBN se Riau, Delisis Hasanto kepada Riaumandiri.co, Rabu (14/11/2018), kegiatan ini salah satu program dari Forkom Riau, bertujuan untuk membuka wawasan dan juga menambah pemahaman seluruh pihak terkait. Khususnya dibidang pendidikan, sehingga bagaimana bisa lebih membuat dunia pendidikan bisa lebih bermutu dan berkualitas.
"Dalam kegiatan ini kita bersilahturahmi dengan Disdik DKI Jakarta dan juga Bandung. Alhamdulillah kehadiran kita sangat diterima disana, dan banyak informasi penting yang bisa kita dapatkan sebagai acuan dalam penerapan pendidikan program wajib belajar 12 tahun," ujar Delisis.
Dijelaskannya, dalam pertemuan yang dilaksanakan di Jakarta, dipaparkan oleh Kasi Humas Disdik DKI Jakarta bahwa diketahui dalam penerapan wajib belajar 12 tahun seluruh biaya memang gratis dan ditanggung oleh pemerintah. Di mana pembiayaannya bersumber dari APBD, dengan menganggarkan sebesar 25,6 % atau kurang lebih Rp19 triliun dari total APBD sebesar Rp77 triliun.
Juga pemerintah DKI Jakarta telah menganggarkan indeks rasio kebutuhan anak didik sebesar Rp8.600.000,- per anak per tahun. Dengan anggaran tersebut bersumber dari BOSNAS dan BOP atau BOSDA.
"Semuanya didukung oleh sumber daya yang baik, mulai dari regulasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dengan baik. Serta seluruh sistem sudah menggunakan IT yang terintegrasi dengan sistem, termasuk sistem transaksi non tunai. Sehingga kami diarahkan berkunjung ke SMAN 1 dan SMKN 27 Jakarta pusat," jelas Delisis.
Sementara itu, lanjutnya, kunjungan di Bandung kehadiran rombongan disambut oleh Kepala Bagian Perencanaan, Hendra Sumantri dan juga didamping Kepala Bidang Guru dan tenaga kerja (GTK), Budi serta jajaran kepala sekolah dilingan di Jawa Barat. Dari silaturahmi dan dialog tersebut, turut dipaparkan untuk pembiayaan program sekolah disana salah satunya bersumber dari masyarakat melalui komite sekolah, yang disebut dengan iuran awal masuk sekolah yang berkisar dari Rp3 juta hingga Rp5 juta persiswa.
Begitupula untuk iuran bulanan dipungut sebesar Rp500 ribu persiswa, juga mereka mengratiskan untuk setiap anak miskin, dengan persyaratan yang berlaku.
"Jadi agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda di tengah masyarakat, Pemprov Bandung menerbitkan surat edaran ke setiap sekolah dan diperkuat dengan Pergub, yang saat itu draftnya presentasikan pada kami,"ungkapnya.
Oleh sebab itu, tambah Delisis, dari hasil pertemuan kedua Disdik tersebut tentunya menjadi bahan evaluasi bagi penerapan sistem pendidikan di Riau.
"Apalagi akan dicanangkannya pendidikan gratis oleh Pemrov Riau, tentunya diharapkan ekosistem pendidikan dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan kegelisahan serta ketakutan bagi penyelenggara sekolah," pungkasnya.
Reporter: Renny Rahayu