Bersama Daerah, DPD RI Terus Maju dengan Kepala Tegak
RIAUMANDIRI.CO - DEWAN Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) genap berusia 14 tahun pada 1 Oktober 2018 ini. Sebagai bangsa kita patut bersyukur bahwa institusi para senator ini masih tetap kukuh berdiri dengan segala dinamika yang mengiringinya.
Memperingati hari kelahirannya sebaiknya merupakan momentum bagi kita untuk melakukan refleksi, menakar sejauh mana lembaga yang anggotanya dipilih oleh rakyat ini sudah menggapai tujuan pendiriannya.
Dilahirkannya DPD RI dari hasil pemilu tahun 2004 adalah untuk menjamin adanya keterwakilan penduduk dengan ruang (daerah) yangtercermin dalam sistem perwakilan dan proses legislasi. Dengan demikian, kehadiran DPD untuk mendorong keadilan dalam kebijakan pembangunan yang merata di seluruh Indonesia, tidak hanya di Pulau Jawa.
Diharapkan DPD RI dapat memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah. Serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah-daerah secara serasi dan seimbang.
Sebab, sudah dibuktikan dalam sejarah kehidupan kita berbangsa, bahwa kemajemukan historis dan budaya lokal serta keanekaragaman daerah tidak bisa dipaksakan menjadi satu pola yang serba seragam.
Keutuhan kita sebagai satu bangsa, justru dimaksudkan dibangun di atas kemajemukan (Bhinneka Tunggal Ika). Kalau kita mengingkari keragaman atau kemajemukan ini, maka akan muncul benih-benih perpecahan (disintegrasi bangsa), seperti yang sudah terbukti selama tiga dasa warsa terakhir.
Harus diakui, sejak awal berdirinya, kedudukan DPD memang sudah menyimpan masalah. Bukan hanya dalam konstitusi, tapi dalam undang-undang pun, fungsi legislasi DPD selalu dipagari yang membuat Anggota DPD tidak bisa secara maksimal memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerahnya di tingkat pusat. Itulah sebabnya sejak dini DPD sudah berupaya untuk memperjuangkan penguatan fungsinya.
Cara pertama, upaya penguatan kewenangan DPD melalui legislative review (2007) mempertanyakan frasa “ikut membahas” dalam Pasal 22D UUD 1945 yang dalam UU No.22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD justru mengerdilkan fungsi legislasi DPD.
Cara lainnya yang pernah dilakukan lembaga DPD memperkuat kewenangannya yakni melaluijudicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan UU No 12 Tahun 2011 Tentang P3. Berkat upaya ini, MK dengan Putusan Nomor No.92/PUU-X/2012tahun 2013, memberikan beberapa buah kewenangan lembaga ini dalam proses legislasi yakni DPD setara dengan DPR dan Pemerintah dalam pengajuan RUU berkaitan dengan daerah, hak dan kewenangan DPD juga sama dengan DPR dan Pemerintah dalam membahas meskipun tidak ikut dalam memberi persetujuan terhadap RUU menjadi UU.
Tambahan lainnya dari keputusan MK adalah DPD ikut menyusun prolegnas dan atas RUU APBN, DPR dan Presiden wajib meminta pertimbangan DPD. Akibat keputusan ini pula, muncul pola tripartit, sebab MK meminta agar Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang sebelumnya berasal dari fraksi berubah menjadi DIM lembaga.
Kewenangan DPD RI dipertegas kembali oleh MK melalui Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014 tahun 2015 yang menguji UU No. 17 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 terkait tafsir inkonstitusional bersyarat Pasal 71 huruf c, Pasal 166 ayat (2), Pasal 250 ayat (1), Pasal 277 ayat (1) UU MD3. Intinya, MK mempertegas keterlibatan wewenang DPD ketika mengajukan dan membahas RUU dengan sebuah naskah akademik terkait otonomi daerah, pembentukan/pemekaran, pengelolaan sumber daya alam, dan kemandirian anggaran DPD.
Cara ketiga, yang juga pernah dilakukan adalah melalui amandemen konstitusi. Langkah ini diupayakan oleh Anggota DPD RI periode keanggotaan 2004 – 2009. Dengan berbekal 238 orang dukungan anggota MPR, ketika itu DPD menyerahkan usul Perubahan Pasal 22D UUD 1945 kepada Pimpinan MPR.
Namun, dukungan yang begitu memadai pada awalnya, kemudian sejumlah anggota MPR dari beberapa fraksi secara bertahap menarik kembali tanda tangan mereka. Fenomena tarik dukung terhadap usul amandemen tersebut sungguh menarik untuk dicermati dari pinggir pentas sejarah negeri ini yang tengah mengonsolidasikan demokrasinya.
Tidak mudah memang upaya penguatan kewenangan itu, apalagi melalui cara amandemen konstitusi. Dari pengalaman yang dimiliki, DPD tahu persis betapa amandemen sangat membutuhkan bukan saja dorongan politik dan dukungan masyarakat secara luas, tapi juga momentum yang tepat.
Namun, DPD selayaknya tetap terus memelihara semangatnya untuk memelopori amandemen konstitusi demi memperbaiki sistem ketatanegaraan yang lebih ideal, bukan hanya kepentingan DPD semata. Dengan segala keterbatasan kewenangan tersebut, DPD tetap terus mengayunkan langkah dengan sepenuh hati demi Ibu Pertiwi.
Menurut catatan, sejak 2004 hingga 2018, DPD telah mengartikulasikan kepentingan daerah melalui usul RUU sebanyak 87 (delapan puluh tujuh) RUU, 256 (dua ratus lima puluh enam) pandangan dan pendapat, 80 (delapan puluh) pertimbangan APBN, 217 (dua ratus tujuh belas) pengawasan, 20 (dua puluh) pertimbangan, 9 (sembilan) Prolegnas, dan 11 (sebelas) rekomendasi.
Capaian tersebut merupakan hasil kolaborasi apik kinerja lembaga dan anggota DPD dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah secara optimal. Tak hanya itu, DPD RI terus berupaya memberikan perhatian penuh pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan daerah.
Sebab, hingga kini beberapa wilayah Indonesia belum merasakan pembangunan yang optimal untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Kesenjangan antar daerah masih tinggi, tingkat kemiskinan pun cukup tinggi terutama di Indonesia timur. Sebagian besar kabupaten yang tergolong daerah tertinggal terdapat di Indonesia timur.
Permasalahan pembangunan daerah yang tidak merata merupakan tantangan pemerintah. Pembangunan harus merata di seluruh wilayah Indonesia sesuai kebutuhan masing-masing untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
DPD RI dituntut untuk membuat kebijakan dalam mewujudkan pembangunan. Kebijakan tersebut hendaknya diutamakan berbasiskan pembangunan daerah, perbatasan, ataupun desa tertinggal.
Peran itu harus lebih ditingkatkan melalui fungsi memberikan pertimbangan dan pengawasan dalam pelaksanaan pembangunan yang dicanangkan pemerintah, dan meningkatkan produk legislasi lainnya dari yang sudah pernah dihasilkan seperti RUU Perkoperasian, RUU Ekonomi Kreatif, dan RUU Perekonomian Nasional.
Wujud kepedulian DPD kepada kesejahteraan masyarakat dan daerah yang merata dan berkeadilan juga hendaknya dengan meningkatkan perhatian dan keterlibatan penuh DPD dalamDewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), wadah utama bagi program pemekaran wilayah.
Sebab, pemekaran wilayah adalah bagian dari penataan daerah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah. Juga merupakan pelaksanaan desentralisasi yang akan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sehingga, hal tersebut sesungguhnya merupakan hak daerah dan rakyat untuk memperoleh kesejahteraannya. Kita harapkan dengan daerah otonomi baru bisa mengatasi keterisolasian, kemiskinan, serta kesenjangan daerah-daerah terluar dan terdepan di perbatasan.
Berdasarkan evaluasi dari sejumlah aspek, memang pemekaran wilayah ada yang berhasil, namun sebagian besar daerah otonomi baru kurang berhasil dan memendam sejumlah masalah seperti pengalihan personil, peralatan, pembiayaan, dan dokumen yang belum terlaksana dengan baik, serta pelayanan publik juga belum optimal.
Maka, berkenaan dengan pemekaran wilayah ini harus dengan ketat diawasi dipenuhinya sejumlah persyaratan ditetapkan menjadi daerah otonomi baru. Yang juga menjadi penting, adalah agar pembentukan daerah otonomi baru tidak hanya berdasarkan usulan daerah saja, tapi juga mempertimbangkan strategi nasional untuk daerah perbatasan, pulau-pulau terluar dan daerah tertentu untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan NKRI. Sesuai amanat UU, Pemerintah tentu seharusnya segera menerbitkan PP tentang Penataan Daerah dan Desain Besar Penataan Daerah.
Meski DPD RI pada Oktober ini memperingati hari jadinya ke-14 dengan penuh rasa syukur, namun diselenggarakan dengan khidmat dan penuh prihatin. Indonesia tengah diberikan cobaan. Bulan Juli lalu Lombok dilanda gempa bumi 6,4 SR. Di saat pemerintah bersama-sama warga mulai rehabilitasi membangun kembali Lombok, tepat 2 bulan setelahnya pada 28 September 2018 Palu dan Donggala dilanda gempa bumi 7,4 SR dan menimbulkan tsunami.
Begitu banyak saudara-saudara kita yang meninggal dan luka-luka pada kedua musibah tersebut. Apa yang dirasakan saudara-saudara kita di berbagai daerah, DPD RI pun merasakan hal sama. DPD RI kerap hadir di tengah-tengah kesulitan rakyat dan daerah. Kami yakin dengan semangat dan rasa kebersamaan sesama anak bangsa, ujian ini dapat segera dilalui untuk meraih tingkatan lebih baik.
Mengingat bencana geologi dalam waktu akhir-akhir ini menjadi semakin sering terjadi, DPD RI mengharapkan sudah saatnya Indonesia memiliki Undang-Undang tentang Kegeologian, yang di dalamnya terdapat pengaturan pengelolaan riset dan data untuk mendukung upaya preventif.
Terakhir, kami sampaikan. Meskipun hanya berselancar di dataran area kewenangan yang terbatas, DPD harus terus berkiprah melalui kerja-kerja politik yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat dan daerah. Bahwa marwah institusi tidak harus ada karena besarnya kewenangan yang dimiliki, tapi juga yang utama adalah bahwa rakyat menilai DPD bekerja dengan sungguh-sungguh sebagai wujud optimalisasi perannya. Ya, bersama-sama Daerah, DPD harus tetap terus melangkah, dengan kepala tegak!
Penulis: GKR Hemas, Anggota DPD RI/Senator dari DI Yogyakarta