Kesejahteraan Petani Baru Sebatas Narasi dan Ilusi
Oleh: Wahyudi Ilfahman
Ketua Bidang Pengembangan Profesi HMI Cabang Pekanbaru
Hari Tani Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 September setiap tahunnya merupakan salah satu kebijakan Presiden Soekarno sebagai bentuk apresiasi terhadap semua jasa para petani Indonesia. Tanggal tersebut merupakan hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, yang juga merupakan momentum kebangkitan kaum tani di seluruh Indonesia, sebagaimana ditetapkan melalui Keppres 169 tahun 1963.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengamanatkan terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pelaksanaan reforma agraria, yang program pokoknya adalah menyediakan tanah dan program pendukung lainnya untuk kaum petani.
Namun amanat ini tidak dijalankan. Gemah ripah loh jinawi, ungkapan yang sering disematkan pada Indonesia. Kata tersebut memiliki arti yakni 'kekayaan alam yang berlimpah'. Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah ditambah posisi Indonesia yang dinilai amat strategis sehingga dijuluki sebagai negara agraris. Karena kekayaan Indonesia yang berlimpah ini jugalah salah satu alasan begitu besarnya nafsu para penjajah untuk menguasai Indonesia.
Mereka mengerahkan seluruh kemampuan dan usahanya, bahkan rela mati berjuang hanya untuk menikmati hasil kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah yang membentang sepanjang Nusantara. Dan sekarang sudah 73 tahun Indonesia merdeka, tapi justru kondisi pertanian kita sangat miris dan memprihatinkan.
58 tahun sudah sejak ditetapkannya hari itu tapi hingga kini nasib kaum tani tak kunjung membaik. Kemiskinan di pedesaan semakin luas karena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin tajam. Sudah jadi rahasia umum, Indonesia kian berkembang di tengah arus modernisasi yang begitu cepat. Makin banyak bangunan-bangunan megah didirikan di kota-kota yang tersebar di seluruh Nusantara.
Beragam perumahan dengan berbagai tipe dan fasilitas di dalamnya, apartemen, hotel, pusat perbelanjaan, gedung-gedung pencakar langit, seolah sudah jadi rupa baru Indonesia. Begitu sulit menemukan pemandangan hijau macam sawah di perkotaan. Bahkan di desa pun, sawah-sawah makin terkikis keberadaannya.
Berdasarkan data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, hingga per 24 Agustus 2017, untuk program sertifikasi tanah transmigrasi target 600.000 hektar terealisasi 32.820 hektar (5,4%), program legalisasi aset target 3.900.000 hektar terealisasi 1.189.349 hektar (30,49%), program pelepasan kawasan hutan target 4.100.000 hektar terealisasi 707.346 hektar (17,25 %) dan program redistribusi tanah target 400.000 hektar terealisasi hanya 185.958 hektar (46,49 %). Namun usaha pemerintah sejauh ini masih terkesan jalan di tempat. Terbukti masih berlansungnya konflik-konflik agraria yang menempatkan petani sebagai korban penggusuran, kekerasan, bahkan mengalami kriminalisiasi.
Maraknya permasalahan-permasalahan agraria yang menempatkan petani menjadi korban, menjadi gambaran bahwa pemerintah saat ini tidak peduli terhadap petani yang notabene harus dilindungi dan diberdayakan sesuai mandat Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani No. 19 tahun 2013 demi terwujudnya kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan yang termakhtub dalam UU Pangan No. 18 tahun 2012.
Bak gayung bersambut, belum selesai masalah yang satu berimbas pada masalah yang lain, seperti kedaulatan pangan yang masih jauh dari harapan. Baru-baru ini kita melihat dan mendengar polemik di tubuh pemerintahan ketika Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita berencana melakukan impor beras. Sedangkan menurut Dirut Perum Bulog Budi Waseso (Buwas), cadangan beras Indonesia masih mencukupi hingga Juni 2019, sehingga dia menolak rencana itu.
Di sini bisa dilihat bahwa tidak adanya koordinasi yang jelas sehingga menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang diciptakan sendiri oleh pemerintahan. Salah satu alasan pemerintah melakukan impor beras adalah untuk menekan dan mengatasi harga beras yang melambung tinggi di pasaran akhir-akhir ini. Impor beras bukan solusi mengatasi harga tetapi justru merusak harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Apalagi jika impor itu dilakukan menjelang musim panen raya datang, tentu berimbas pada kesejahteraan petani yang sudah mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam proses bertani tersebut.
Tetapi nyatanya harga gabah kering dibeli dengan harga rendah. Lagi-lagi petani yang menjadi korban dari kisruhnya sistem ketahanan pangan kita. Kesejahteraan petani dan ketahanan pangan tidak bisa diabaikan dalam langkah-langkah pengelolaan pasokan beras. Salah satu hal yang menentukan ketepatan langkah dalam pengelolaan pasokan dan cadangan beras adalah data produksi dan konsumsi yang baik. Sayangnya, pemerintah terkesan tidak mempunyai data yang baik seperti itu. Keputusan untuk mengimpor 2 juta ton beras pada tahun ini pun diwarnai oleh ketidakpercayaan pemerintah kepada data miliknya sendiri.
Pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada pembangunan fisik infrastruktur semata. Pemerintah juga perlu menyediakan ketersediaan lahan pertanian yang luas untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan serta memperhatikan kualitas dan kuantitas agro industrinya, sehingga dapat meningkatkan added value yang menambah devisa negara.
Pembangunan yang tepat dengan kondisi alam di Indonesia, dapat menciptakan pertumbuhan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas, diharapkan dapat menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan secara optimal.
Sesungguhnya Indonesia telah mencapai kemerdekaannya pada tahun 1945. Jangan hanya segelintir orang saja yang benar-benar menikmati indahnya kemerdekaan. Sudah sepatutnya bangsa sebesar Indonesia tidak melupakan pejuang-pejuang pertanian yang telah memberi kita makan. Perhatikan para petani Indonesia, agar dapat tercapai kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya.
Selamat Hari Tani Nasional 2018. Saya bangga menjadi anak petani.