Ustaz Abdul Somad Tunjuk 4 Pengacara Laporkan Jony Boyok ke Polisi
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Ustaz Abdul Somad (UAS) akhirnya melaporkan pemilik akun Facebook Jony Boyok ke Polda Riau, atas dugaan tindak pidana pencemaran baik di media sosial. Langkah hukum ini diambil agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Sebelumnya, pemilik akun Facebook Jony Boyok, dijemput anggota Front Pembela Islam (FPI) Pekanbaru dari rumahnya, Rabu (5/9/2018) sore kemarin. JB, biasa ia disapa, kemudian diantarkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau. Tindakan itu dilakukan oleh FPI karena Jony Boyok dinilai telah menghina UAS.
Jony Boyok, mengunggah foto UAS yang telah diedit di bagian matanya dengan warna merah. Pemilik akun tersebut juga membuat tulisan, yang menyebut bahwa UAS telah berhasil menghancurkan kerukunan beragama.
Tak hanya itu, Jony juga memposting tulisan yang menghina UAS. Foto dan tulisan itu diposting oleh akun Jony Boyok, pada 2 September lalu. Lantas, postingan tersebut viral. Banyak yang menghujat akun Jony Boyok, atas postingannya tersebut.
FPI Pekanbaru, melacak keberadaan Jony Boyok. Setelah diketahui, Jony Boyok dijemput di rumahnya di Jalan Dolok I, Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru. Sebelum menyerahkan Jony Boyok ke Ditreskrimsus Polda Riau, FPI meminta klarifikasi kepada Jony Boyok di Markas FPI Pekanbaru. Jony pun mengakui perbuatannya.
Atas hal ini, UAS kemudian memberikan kuasa khusus kepada empat orang pengacara untuk membuat laporan polisi. Mereka dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau.
"Datuk Seri Ulama Setia Negara (UAS), telah memberikan kuasa hukum kepada LBH LAM Riau untuk menyelesaikan permasalahan secara hukum," ujar Ketua Bidang Agama Islam LAM Riau, Gamal Abdul Nasir, Kamis (6/9/2018).
Empat kuasa hukum UAS itu, yakni Zulkarnain Nurdin sebagai ketua tim, Wismar Hariyanto, Aspandiar dan Aziun Asyaari. "Inilah (empat pengacara,redl) yang dipercaya LAM Riau untuk menyelesaikan permasalahan ini," lanjut Gamal.
Dikatakan Gamal, UAS yang tengah berada di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) menyatakan bahwa dirinya telah memaafkan Jony Boyok. Namun, proses hukum akan tetap berjalan. Langkah ini dilakukan agar memberikan efek jera kepada pelaku, dan supaya tidak terjadi lagi perbuatan yang sama.
"Sebagai seorang muslim, Datuk Seri UAS sudah memaafkan Jony Boyok. Tetapi karena kita negara hukum, perlu proses pembelajaran supaya tidak terulang kembali hal-hal seperti ini," sebutnya.
Kasus ini menurut LAMR haruslah diangkat. Sebab, UAS merupakan orang yang dituakan di Riau. Apalagi, UAS telah menerima gelar Datuk Seri Ulama Setia Negara.
"Dalam Melayu ini, ulama adalah orang yang kita hormati. LAM tidak terima UAS diperlakukan seperti ini. Jangan sampai kasus ini dipetieskan. Jangan sampai kasus ini dimentahkan," harap Gamal.
Terlebih lagi kata Gamal, dalam ajaran Islam, orang yang menghina ulama sama dengan menghina nabi. "Kasus ini harus diangkat sesuai hadis nabi bahwa ulama adalah perpanjangan tangan, penerus nabi. Orang yang menghina ulama sama dengan menghina nabi, orang yang menghina nabi sama dengan menghina Allah SWT," paparnya.
Sementara itu, Zulkarnain Nurdin menuturkan, bahwa keputusan FPI Pekanbaru yang telah mengamankan Jony Boyok merupakan langkah yang bijak. Ketua tim kuasa hukum UAS ini mengucapkan terima kasih kepada FPI Pekanbaru.
"Kepada FPI kita ucapkan terima kasih atas kepedulian sosial, rasa kemanusiaan. Karena salah satu fungsi FPI adalah untuk menjaga harkat ulama. Mampu melakukan langkah persuasif," sebut dia usai membuat laporan ke Polda Riau.
Langkah FPI mengamankan Jony, bukanlah sesuatu yang dapat dikatakan persekusi. Karena Jony dibawa dan diserahkan ke Polda Riau atas kemauannya sendiri.
Dijelaskan Zulkarnain, tindakan Jony yang menghina ulama telah masuk ke ranah pidana. Jony dinilai telah melanggar Pasal 27 ayat 3, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi Elektronik (ITE).
Di mana, dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut menyebut, melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
"Ini merupakan delik aduan. Artinya kepolisian tidak bisa melakukan penyelidikan bahkan penyidikan kalau tidak ada aduan dari korban atau penerima kuasa. Ancaman maksimal empat tahun penjara dan denda Rp750 juta," jelasnya.
"Oleh karena itu, UAS sebagai korban memberikan kuasa kepada LBH LAM Riau. Ditunjuk kepada kami. Semua nama yang disebut pengurus di LAM Riau," ujarnya.
Ditambahkan anggota Kuasa Hukum UAS lainnya, Aziun Asyaari, usai pembuatan laporan, pihaknya akan menunggu proses hukum yang dilakukan pihak kepolisian.
"Kita sudah membuat laporan secara resmi dan sudah diterima langsung pengaduannya. Tinggal proses hukumnya lagi. Tentu Ustaz Somad dalam waktu dekat ini diperiksa. Bagaimana proses penyidik, itu menjadi otoritas penyidik," sebut Ketua DPC Peradi Kota Pekanbaru itu.
Saat ditanyakan kapan UAS akan diperiksa, Aziun mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan penyidik. Itu dikarenakan saat ini jadwal UAS berceramah cukup padat. "Belum (UAS belum diperiksa,red). Jadi kita coba mencocokan waktu dengan penyidik dan UAS sendiri. Karena waktu UAS cukup padat sekali. Jadi nanti kalau sudah ada, kita kasih kabar," lanjut Aziun.
Terpisah, Kabid Humas Polda Riau, Kombes Pol Sunarto membenarkan bahwa kuasa hukum UAS menyerahkan ke surat pengaduan ke Ditreskrimsus Polda Riau. "Ya, benar. Tadi pengacaranya UAS ke Krimsus (Ditreskrimsus Polda Riau,red) untuk menyerahkan surat pengaduan," kata Sunarto.
Untuk proses hukum selanjutnya kata Sunarto, pihaknya akan memeriksa saksi-saksi. Termasuk saksi terlapor sendiri. Hanya saja, Jony Boyok tidak ditahan oleh Polda Riau, meski sebelumnya sudah diserahkan oleh FPI Pekanbaru.
Alasan tidak ditahannya Jony, karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun. "Nggak (ditahan). Ancaman hukumannya di bawah lima tahun. Tapi JB amankan diri di Kantor Krimsus," pungkas mantan Kabid Humas Polda Sulawesi Tenggara itu.
Reporter: Dodi Ferdian