MA Diminta Segera Keluarkan Putusan Gugatan PKPU Larang Mantan Napi Jadi Caleg
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis meminta Mahkamah Agung (MA) untuk segera mengeluarkan putusan atas gugatan atau judicial review terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif.
"MA harus segera mengeluarkan putusan sebelum DCS anggota legislatif diumumkan agar tidak menimbulkan masalah hukum baru," kata Margarito Kamis dalam diskusi PKPU Larang Eks Terpidana korupsi, Apa Kabar Elite Parpol?”, di Media Center DPR, Selasa (31/7/2018).
Namun Margarito optimis, MA akan mengabulkan gugatan tersebut karena PKPU yang digugatan itu bertentangan atau tidak ada dasar hukum yang diatur dalam undang-undang.
"Saya haqqul yakin, MA akan mengabulkan gugatan itu. Kalau MA menolak patut dipertanyakan. Apa dasar hukum yang dijadikan MA?. PKPU ini salah," tegas Margarito Kamis.
Persoalannya kata Margarito, kapan putusan itu akan dikeluarkan MA karena tidak ada yang mengikat MA menyelesaikan gugatan judicial review dalam rentang waktu tertentu.
"Bisa saja MA mengeluarkan putusan setelah proses pencalegan selesai. Agar tidak menimbulkan masalah hukum baru, saya minta MA mengeluarkan putusan sebelum caleg ditetapkan," saran Margarito.
Margarito mengatakan bahwa dia sejak pertama menilai PKPU yang melarang mantan napi korupsi dilarang menjadi caleg karena bertentangan dengan UU. Karena dalam UU tidak ada yang mengatur mantan napi korupsi dilarang menjadi caleg. Berbeda dengan PNS dan TNI/Polri yang diatur oleh UU.
"Saya setuju dengan memberantas korupsi tapi bukan begini caranya. Kalau kita menggunakan cara yang salah dalam memberantas korupsi sama halnya kita mendorong korupsi," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Firman Subagyo menyatakan pelarangan mantan napi menjadi caleg tersebut sudah menjadi perdebatan panjang di Komisi II dalam rapat dengan KPU. Karena PKPU itu harus membuat peraturan sebagai penterjemahan daripada UU yang telah diundangkan.
Dalam UU sendiri jelas Firman, sudah tidak mengatur norma-norma yang terkaitr dengan masalah pelarangan terhadap hak-hak warga negara. Prinsip dasar Komisi II ketika itu adalah keadilan hukum yang harus dikedepankan karena negara ini
adalah negara hukum. Sedangkan KPU sendiri mengedepankan azas moralitas, ini tidak ketemu.
"Kalau kita bicara moralitas memang spirit semangatnya dari seluruh partai untuk pemberantasan tindak pidana korupsi itu memang semangatnya sama, harus menjadi prioritas utama 10 fraksi mengatakan bahwa seperti itu. Namun ketika kita bicara ranah hukum ada ketentuan perundang-undangan yang ditabrak maka kita bertahan karena DPR ini adalah lembaga pembuat undang-undang. Akan menjadi presiden buruk kalau DPR itu merupakan pembuat undang-undang dan menabraknya sendiri," kata Firman.
Firman juga menyayangkan sikap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM yang mengesahkan PKPU tersebut. Karena sebelumnya menyatakan tidak setuju dengan PKPU tersebut.
"Pemerintah juga melanggar undang-undang, tidak konsisten. Padahal harusnya Kemenkumham itu harus kekeh pada pendiriannya. Kalau memang itu bertentangan dengan undang-undang maka harusnya Menkumham tidak mengesahkan," ujar Firman.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu dengan nada yang sama mengatakan bahwa pembatasan hak-hak warga negara hanya bisa diatur dengan UU, tidak bisa dengan paraturan yang dibuat KPU, seperti UU tentang TNI dan Polri, dan UU ASN.
"Kalau semua institusi lembaga negara boleh melakukan pembatasan hak politik warga negara dan lembaga itu masing-masing mengeluarkan peraturan masing-masing yang mengacu pada UU, ini kan jadi masalah," tegas Masinton.
Juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut mantan napi korupsi Waode Nurhayati. Mantan politisi PAN ini mengajukan judicial review ke MA terhadap PKPU karena hak politiknya sebagai caleg dikekang oleh PKPU tersebut.
"Saya mengajukan judicial review ke MA bukan karen Waode Nurhayati ingin jadi anggota DPR semata-mata, tapi agar konstitusi kita tegak di jalan yg benar," ujar mantan napi korupsi kasus PPID tersebut.
Dalam analisa dia, PKPU itu cacat formil. Cacatnya karena ada dua PKPU dengan nomor yang sama. Pertama diterbitkan tanggal 20 Juni 2018 dan satu lagi diterbitkan tanggal 2 Juli 2018. Keduanya ditandatangani oleh ketua KPU.
Kemudian menurut dia, PKPU itu cacat materil. Cacat materilnya adalah tidak ada cantolannya di UU Pemilu. "Itu saya rasa semua orang tahu. Anggota DPR juga tahu. Kalau dua cacat formil dan materil, maka apa yang mau dipertanggungjawablkan," ujarnya.
Reporter: Syafril Amir