Uji Nyali Menteri Jokowi
Harga beras melambung tinggi di pasaran. Seperti layang-layang putus, harga beras lepas tak terkendali. Pelbagai upaya yang dilakukan pemerintah, seperti menggelar operasi pasar, belum membuahkan hasil.
Jika semula kenaikan harga beras hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, kini merembet ke sejumlah daerah. Biasanya, saat musim paceklik terjadi kenaikan harga sebesar 10 persen. Namun, kenaikan kali ini sudah mencapai 30 persen. Pemerintahan baru tengah diuji: apakah bisa mengendalikan harga beras atau tidak?
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menuding ada mafia beras yang bermain untuk mengeruk keuntungan dari situasi ini. Tudingan semacam ini bukan hal baru. Pada pemerintahan lalu, tudingan ada mafia beras berkali-kali dilemparkan. Namun, sampai saat ini tak ada seorang pun yang bisa membuktikan. Juga tak ada yang diseret ke meja hijau. Bahkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum bisa membuktikan adanya kartel beras, mafia, atau sejenisnya. Pertanyaannya, apa penyebab kenaikan harga beras kali ini?
Setidaknya ada tiga hal yang membuat harga beras melambung. Pertama, panen terlambat. Dalam kondisi normal, irama tanam dan panen padi berlangsung ajeg: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65 persen dari total produksi), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari). Karena hujan datang terlambat 1-1,5 bulan, tanam dan panen pun mundur. Akibatnya, dalam kondisi normal Februari mestinya panen raya, justru terjadi paceklik. Supply tidak mampu mengimbangi demand. Sesuai hukum besi supply-demand, harga melambung.
Hujan yang datang terlambat yang ujung-ujungnya membuat tanam dan panen mundur bukan fenomena yang tak kasat mata. Lalu, mengapa tidak diantisipasi? Dari pengalaman berpuluh-puluh tahun, kita mengetahui titik kritis cadangan beras akan terjadi tiap akhir Desember. Cadangan beras setidaknya harus cukup untuk memenuhi tiga bulan musim paceklik. Pemerintahan baru sepertinya masih gagap mengantisipasi soal ini.
Kedua, beras untuk rakyat miskin atau raskin terlambat dibagikan. Raskin baru bisa dibagikan pada 28 Januari dari seharusnya pada awal bulan. Sejumlah pemerintah daerah terlambat mengeluarkan surat permintaan alokasi akibat wacana penggantian raskin dengan voucher atau e-money. Bahkan, muncul wacana penghapusan raskin. Sebanyak 15,5 juta rumah tangga sasaran yang tidak menerima raskin akhirnya berburu beras di pasar. Perburuan ini menambah eskalasi harga beras di pasaran.
Jika ditarik agak ke belakang, kekisruhan harga beras kali ini merupakan efek dari kekeliruan pemerintah yang tidak membagikan raskin pada November-Desember 2014. Warga yang biasa menerima raskin diberi subsidi BLSM sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Apa yang terjadi?
Harga eceran beras naik sekitar Rp 1.000 per kg dalam dua bulan. Ujung-ujungnya inflasi melonjak tinggi. Pada November dan Desember 2014 inflasi masing-masing mencapai 1,5 persen dan 2,46 persen sehingga inflasi tahunan 8,36 persen. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada November dan Desember beras jadi penyumbang inflasi nomor tiga dan satu.
Ketiga, operasi beras tidak efektif. Ini terbukti dari sidak Menteri Perdagangan Rachmat Gobel: beras operasi pasar dioplos pedagang dengan beras lain dan dijual dengan kemasan sendiri. Beras operasi pasar ditebus dari gudang Bulog Rp 6.600 per kg yang mestinya dijual Rp 7.400 per kg ternyata dilego pedagang Rp 8.200-Rp 8.300 per kg. Artinya, harga beras operasi pasar dijual dengan harga pasar. Dari oplos-mengoplos ini pedagang untung besar. Tidak heran bila harga beras di pasaran tidak kunjung menurun.
Sepanjang sejarah perberasan, operasi beras adalah instrumen jangka pendek. Operasi pasar fungsinya tak lebih sebagai tukang pemadam kebakaran. Tujuannya untuk memengaruhi harga. Namun, efektivitas operasi pasar dalam memengaruhi harga beras tergantung banyak faktor: stok pemerintah, besarnya beras yang digerojok di pasar, stok yang dikuasai pedagang/spekulan, dan psikologi publik. Oleh karena itu, operasi pasar sebenarnya bukanlah instrumen ampuh untuk mengatasi instabilitas harga dalam negeri.
Berbeda dengan di era Orde Baru yang instrumen dan kelembagaannya komplet, sekarang instrumen dan aransemen stabilisasi harga beras domestik amat terbatas. Revisi harga pembelian pemerintah (HPP) beras dari Rp 6.600 per kg menjadi Rp 7.250 per kg, Januari 2015 lalu, bukanlah bentuk perlindungan harga, baik harga langit-langit (ceiling price) buat konsumen maupun harga dasar (floor price) bagi produsen. Batu pijak konsep HPP adalah kuantitas, yaitu membeli sejumlah tertentu beras/gabah (untuk kebutuhan stok nasional dan raskin) pada harga yang ditentukan. Karena sifatnya target kuantum, pengaruh pembelian terhadap tingkat harga di pasar menjadi residual.
Apa yang bisa dilakukan agar harga tak terus melambung? Ada dua. Pertama, jika jatah raskin bulan Februari belum dibagikan, pemerintah mesti segera membagikannya. Bila harga beras di pasaran masih ada tren naik, pemerintah bisa memperbesar volume raskin. Jatah raskin bulan-bulan berikutnya bisa dibagikan pada Februari ini.
Musim paceklik merupakan saat tepat membagikan raskin. Ketika panen raya, raskin bisa ditahan karena harga beras cenderung rendah. Volume raskin sebesar 10 persen dari kebutuhan beras nasional besar pengaruhnya terhadap naik-turunnya harga beras di pasar.
Kedua, mengefektifkan operasi pasar. Caranya ada dua: menggandeng pedagang dan menjual langsung di lokasi-lokasi sasaran. Pedagang perlu digandeng agar pasokan beras di pasar tetap terjaga. Agar tidak dioplos dan dijual sesuai ketentuan, pedagang perlu diikat dengan perjanjian dan diawasi ketat. Selain itu, Bulog bisa menggelar operasi pasar langsung di kantong-kantong kemiskinan, seperti pabrik dan permukiman kumuh. Dengan harga yang menarik, bisa dipastikan operasi pasar akan menarik mereka membeli.
Kisruh harga beras kali ini merupakan “uji nyali” pemerintahan baru. Pedagang tahu, saat November-Desember 2014 tak ada raskin cadangan beras pemerintah di Bulog tergerus untuk operasi pasar khusus. Jika cadangan beras pemerintah menipis, pasar dipastikan mudah sekali memanas.
Di sisi lain, pedagang juga memiliki stok. Pedagang pasti menunggu: seberapa kuat pemerintah membanjiri pasar beras dengan operasi pasar? Jika “uji nyali” ini lolos, besar kemungkinan pedagang tak akan berani “main-main” lagi. (rol)
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat.