Jawaban Mendagri Terkait Pelantikan M Iriawan
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Sejumlah fraksi partai politik di DPR berencana menggunakan hak angket untuk menyelidiki adanya dugaan pelanggaran undang-undang di balik pelantikan Sekretaris Utama Lemhanas RI Komjen Pol M Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terbuka dengan saran dan kritik dari berbagai pihak terkait hal tersebut. Namun, dirinya menegaskan pengangkatan Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jabar tidak melanggar undang-undang.
"Terimakasih. Saya bertanggung jawab sesuai UU. Tidak mungkin saya sebagai Mendagri ajukan nama untuk Keppres kalau melanggar UU. Keppres keluar pasti ada telaahan tim hukum Sekneg (Sekretariat Negara). Saran, pendapat, kritik saya terima. Yang penting saya tidak melanggar UU," kata Tjahjo saat dikonfirmasi Okezone, Selasa (19/6/2018).
Tjahjo berujar, argumen para pengkritik seakan-akan yang dilantik sebagai Penjabat Gubernur adalah anggota Kepolisian sebagaimana diatur Pasal 28 Ayat 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
"Padahal aturan tersebut jika anggota polisi hendak bertugas di luar institusi Polri. Dan hal tersebut benar, namun ada pengecualian sesuai PP Nomor 21 Tahun 2002, di mana beberapa lembaga negara dapat diisi oleh anggota TNI dan Polri tanpa harus berhenti sebagai anggota polisi termasuk menjadi Sestama Lemhanas RI (pejabat tinggi)," jelasnya.
"Dan beliau (Iriawan) saat (ini) tidak lagi bekerja pada insitusi Kepolisian, tapi di Lemhamas RI. Contoh ini sama persis dengan Pak Irjen Pol Carlos Tewu ketika diangkat sebagai Pj Gubernur Sulbar tahun 2017. Yang bersangkutan adalah polisi aktif yang menjabat sebagai Sahli Menkopolhukam (pejabat tinggi madya)," sambung Tjahjo.
Selain itu, Tjahjo juga mengatakan pengangkatan Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jabar tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Lex spesialis UU 10 Tahun 2016 (tentang) Pilkada pasal 201 bahwa yang dapat diangkat jadi penjabat gubernur adalah pejabat tinggi madya. Jadi siaapapun yang menjadi jabatan tinggi madya memenuhi syarat jadi Pj gubernur, termasuk Sestama Lemhanas RI," terangnya.
Sebelumnya, sejumlah fraksi partai politik di DPR berencana mengajukan hak angket terhadap pengangkatan Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jabar oleh Mendagri Tjahjo Kumolo.
Kadiv Advokasi dan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean menegaskan pihaknya di DPR akan mengajukan hak angket terhadap hal tersebut. "Ya betul, Demokrat akan mengambil langkah sesuai hak yang dimiliki oleh DPR yaitu mengajukan Hak Angket," kata Kadiv Advokasi dan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean saat dikonfirmasi Okezone.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mendukung dibentuknya Pansus Hak Angket terkait pengangkatan perwira Polri aktif sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat.
Penunjukkan anggota Polri aktif sebagai gubernur dinilai cukup jelas melanggar tiga undang-undang. Pertama, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam pasal 28 ayat 1, beleid itu jelas memerintahkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
"Begitu juga dalam ayat 3 Pasal 28, yang menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Rambu ini sangat tegas. Rambu ini juga menjadi bagian dari spirit reformasi yang telah ditegaskan konstitusi pasca-amandemen," tutur Fadli.
Kedua, sambung dia, UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pilkada. Menurut beleid ini, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur maka diangkat pejabat gubernur yang berasal dari jabatan pemimpin tinggi madya. Jabatan pemimpin tinggi madya ini ada batasannya, yaitu pejabat Aparatur Sipil Negara. Gubernur adalah jabatan sipil, jadi tak dibenarkan polisi aktif menduduki jabatan tersebut.
"Ketiga, UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Pasal 20 ayat (3) disebutkan pengisian jabatan ASN tertentu memang bisa berasal dari prajurit TNI atau anggota Polri, namun ketentuan inipun ada batasnya, yaitu hanya bisa dilaksanakan pada Instansi Pusat saja. Sementara, gubernur pejabat pemerintah daerah," pungkas Fadli.
Editor: Nandra F Piliang
Sumber: Okezone