Rupiah Melemah, Hampir Rp14.000 per USD
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Gejolak nilai tukar rupiah diperkirakan bakal berlanjut sepanjang kuartal kedua tahun ini. Selain faktor global, tekanan dari domestik diperkirakan bakal membuat rupiah melemah.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA), David Sumual menjelaskan, tekanan pada nilai tukar rupiah yang terjadi di akhir pekan lalu hingga awal pekan ini memang disebabkan oleh faktor global. Gejolak rupiah pun diperkirakan belum akan berakhir, bahkan kian besar seiring adanya tekanan dari sisi domestik.
"Kuartal II memang biasanya tekanan akan lebih besar, karena permintaan valas di dalam negeri biasanya meningkat," ujar David, Rabu (25/4).
Peningkatan permintaan valas, biasanya terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan pembayaran impor, utang luar negeri, dan dividen oleh korporasi. Hal ini, menurut David, dapat disiasati dengan terus mendorong pasar lindung nilai (hedging) makin dalam.
"Pelemahan seperti ini yang dikhawatirkan, eksportir menahan dolar karena khawatir rupiah terus melemah. Maka pasar hedging perlu didorong. Selain itu, kalau ada permintaan (valas) besar, misalnya dari Pertamina, BI bisa sediakan backdoor (pintu belakang) sehingga tak ganggu pasar," jelas dia.
David pun menyarankan BI tak menjaga rupiah dalam level tertentu. BI sebaiknya hanya menjaga agar rupiah gejolak rupiah tak terlalu tinggi.
"Kalau menjaga pada level tertentu, dikhawatirkan cadev (cadangan devisa) tergerus. Kalau cadev terus turun, pasar justru khawatir dan bisa membuat rupiah makin melemah," terang dia.
David pun menilai pelemahan rupiah yang sepanjang tahun ini yang masih berada di kisaran dua persen masih kondusif. Dampaknya juga belum terasa pada pergerakan harga. Ia pun memperkirakan nilai tukar rupiah tak akan membumbung dan melampaui Rp15.000 per dolar AS.
"Kalau sudah di atas 5 persen baru mungkin harga akan berubah. Sekarang sudah ada sedikit pengaruhnya, tapi pelaku usaha belum menaikkan harga karena permintaan juga masih lemah," ungkap dia.
Sementara, Ekonom CORE Piter Abdullah Redjalam memperkirakan Bank Indonesia akan gencar mengintervensi rupiah. Dengan demikian, memasuki awal Mei 2018 rupiah diperkirakan tetap stabil dan tak sempat menyentuh Rp14.000 per dolar AS.
"Pada minggu ini, BI akan berusaha untuk kembali menarik nilai tukar rupiah ke sekitar Rp13.800 per dolar AS, sehingga itu akan membawa keyakinan dari pelaku pasar bahwa BI ada di pasar," terang dia.
Menurut Piter, BI akan berupaya semaksimal mungkin menstabilkan rupiah lantaran bank sentral nasional pasti menyadari bahwa tekanan pelemahan rupiah akan lebih besar pada Mei mendatang.
Berdasarkan histori pergerakan rupiah pada awal tahun, rupiah cenderung anjlok sekitar sebulan sebelum pengumuman kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Federal Reserve. Misalnya, pada Februari lalu, rupiah lunglai ke kisaran Rp13.700 per dolar AS. Padahal, pengumuman kenaikan Fed Fund Rate (FFR) baru terjadi pada Maret 2018.
Dengan begitu, intervensi jor-joran pada pekan ini menjadi mutlak akan dilakukan BI untuk mempersiapkan rupiah jelang tekanan pelemahan pada Mei mendatang. "Sehingga pada bulan depan, jelang keputusan The Fed akan menahan atau menaikkan suku bunga acuannya, pasar sudah tidak panik lagi dengan kondisi rupiah," imbuhnya.
Kendati begitu, Piter belum bisa memproyeksi berapa besar cadev yang akan digelontorkan BI pada pekan ini. Namun, ia melihat, cadev yang digelontorkan tak sebesar saat BI menstabilkan rupiah yang anjlok ke kisaran Rp13.700-13.800 per dolar AS.
Selain mengintervensi dengan cadev, Piter melihat sebenarnya ada beberapa jurus lain yang dapat dilakukan BI untuk menjaga rupiah agar tak melemah lebih dalam. Namun, upaya itu seharusnya dilakukan sejak jauh-jauh hari dan tak bisa memberikan hasil instan.
Pertama, dengan mengatur keluar masuk modal asing. Menurutnya, hal ini dilakukan dengan memperketat masa masuk dan keluarnya modal asing dengan memasang kurun waktu tertentu, sehingga ketika The Fed menaikkan suku bunga acuannya dan membuat suku bunga di luar negeri lebih kompetitif, hal itu tak segera memicu keluarnya modal asing (capital outflow).
"Dana yang masuk tidak boleh seenaknya keluar begitu saja, sebenarnya BI bisa atur masa waktunya untuk tetap di Indonesia, meski ada tekanan dari luar negeri," tuturnya.
Kedua, dengan mengatur kepemilikan devisa. Piter bilang, BI sebenarnya bisa mengatur hal ini, misalnya ke eksportir dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar menyerahkan hasil devisanya ke pemerintah atau ke BI.
"Ini bukan melarang orang memiliki devisa. Hal ini bisa dilakukan, tapi yang paling tepat itu harus tetap melihat kondisi pasar seperti apa," pungkasnya.
Di sisi lain, sekalipun rupiah sempat menyentuh Rp14.000 per dolar AS, Piter menilai, sebenarnya angka tersebut masih sah-sah saja bagi kurs rupiah. Hanya saja, yang perlu diperhatikan oleh BI bukan sekedar angka, namun bagaimana dampaknya pada psikologis pelaku pasar.
"Yang perlu diperhatikan adalah menjaga agar tidak ada kepanikan di masyarakat. Karena sebenarnya berapa pun cadev yang digelontorkan kalau tidak ada kepercayaan, itu jadi percuma. Makanya BI harus confidence menjaga pasar agar bisa kendalikan rupiah," jelasnya.
Kekhawatiran Pengusaha
Disisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengaku khawatir rupiah bakal terus melemah seiring meningkatnya impor bahan baku dan rencana kenaikan bunga AS di Juni mendatang.
"Kami cukup khawatir juga. Kami sudah prediksi nilai tukar rupiah pasti mengalami tekanan," ucap Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani.
Ketika jumlah impor semakin tinggi, kondisi ekspor Indonesia justru terus turun beberapa waktu terakhir. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari 2018 neraca perdagangan tercatat defisit sebesar US$690 juta dan Februari 2018 defisit sebesar US$120 juta.
Sementara, efek rencana kenaikan suku bunga The Fed terjadi pada Mei hingga Juni 2018. Hal ini menyebabkan kondisi ekonomi dalam negeri yang kuat sekalipun tak mampu menahan laju pelemahan rupiah.
"Faktor global itu cukup dominan," imbuh Hariyadi.
Bila rencana itu benar terealisasi pada Juni 2018, maka hal itu akan menjadi kenaikan suku bunga The Fed kedua kalinya dalam tahun ini. Sebelumnya, pada Maret 2018 The Fed menaikan suku bunga menjadi 1,5 persen - 1,75 persen.
Hal lainnya yang mempengaruhi pelemahan rupiah, yakni musim pembagian dividen. Pasalnya, perusahaan asing akan mengkonversi penerimaan dividen tersebut ke mata uang negaranya masing-masing.
"Kondisi ini seharusnya bisa menjadi peringatan untuk mengelola ekonomi sebaik-baiknya," ujar Hariyadi.
Lebih lanjut ia menyebut pelemahan rupiah akan mempengaruhi perusahaan yang berbasis impor, khususnya yang mencapai 30 persen-50 persen. Ia mencontohkan salah satu perusahaan yang terkena dampak pelemahan rupiah berada di sektor farmasi.
"Kondisi terjadi alamiah saja, kondisi ini akan menjadi motivasi bagi kami," tutup dia.
Pada perdagangan hari ini di pasar spot, rupiah di buka melemah tipis 7 poin di level Rp13.881 per dolar AS.
Editor: Nandra F Piliang
Sumber: CNNIndonesia.com