Restorasi Gambut di Riau Jadi Sorotan, Ini Penyebabnya
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti upaya Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam melakukan pemulihan gambut di Provinsi Riau. Ini menyusul kembali terjadinya kebakaran lahan dan hutan hebat pada awal 2018.
"Pada dasarnya kita mengapresiasi semangat BRG dalam melakukan restorasi, namun kita melihat ada yang perlu dievaluasi dari upaya tersebut," kata Staf Walhi Devi Indriani di Pekanbaru, Senin (26/2/2018).
Devi memberikan sejumlah catatan kepada BRG terkait upaya restorasi gambut di Riau. Pertama, Riau sudah masuk dalam daerah intervensi BRG sejak awal lembaga nonstruktural itu dibentuk.
BRG kemudian mulai bekerja di Riau dengan menjadikan Kabupaten Kepulauan Meranti dan Indragiri Hilir sebagai pilot project mereka. Secara umum, BRG juga menggolongkan Provinsi Riau sebagai daerah intervensi mereka.
Pada 2017, dia menjelaskan BRG menargetkan 200.000 hektare restorasi gambut dengan berbagai upaya. BRG mengklaim restorasi gambut berhasil dilakukan dengan pembangunan 200 sumur bor serta lebih dari 350 sekat kanal yang tersebar di bumi Lancang Kuning tersebut.
Devi tidak mempersalahkan ketika BRG mengklaim seluruh keberhasilan mereka dalam memulihkan ekologi gambut di Riau. Namun, pada kenyataannya, pada awal 2018, yang bahkan belum genap dua bulan, 680 hektare lahan di provinsi itu terbakar. Sebagian besar lahan yang terbakar juga merupakan lahan gambut.
"Dalam pernyataan di media beberapa waktu lalu, Kepala BRG Pak Nazir Foead mengatakan lahan terbakar bukan berada di wilayah restorasi mereka. Tapi seharusnya BRG memahami bahwa Riau secara keseluruhan adalah wilayah intervensi mereka," urainya.
Ia menuturkan, BRG dilengkapi dengan tim riset yang bekerjasama dengan perguruan tinggi di Provinsi Riau. Hasil-hasil riset tersebut, dia menyebutkan, menjadi acuan BRG dalam melakukan restorasi.
Seharusnya, dia menilai tim riset BRG bergerak dan mengantisipasi potensi lahan gambut yang terbakar, termasuk salah satunya Meranti yang mengalami kebakaran hebat hingga mencapai lebih dari 135 haktare. "BRG ada tugas riset yang tugasnya untuk koordinasi, perencanaan, penetapan zonasi hingga konstruksi infrastruktur. Tim riset seharusnya juga bisa menggambarkan, daerah mana yang berpotensi terbakar. Ini juga kita pertanyakan," ujarnya.
Melengkapi Delvi, Bidang Advokasi Walhi Riau, Ali Mahmud mengatakan BRG perlu lebih membuka pintu menerima masukan dari semua pihak. Menurut Ali, tugas restorasi bukan hanya pekerjaan BRG, melainkan seluruh pihak. Termasuk di antaranya masyarakat yang sejak lama berhasil menjaga gambut secara tradisional.
"Kita masih ada sisa 10 bulan di 2018 ini. Kita melihat partisipasi aktif dari masyarakat itu yang belum terbangun," ujarnya.
Akhir pekan lalu, kepala BRG Nazir Foead berkunjung ke Riau guna mengevaluasi program restorasi gambut. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kebutuhan upaya ekstra untuk mencegah kebakaran lahan gambut, yang tahun ini masih terjadi di wilayah provinsi itu.
"Meski pada 2018 ini sudah ada perbaikan, namun belum jamin tak ada yang terbakar. Jadi kami ingin menggali usaha ekstra apa yang bisa dilakukan oleh BRG," kata Nazir Foead.
BRG tahun ini mengalokasikan anggaran sekitar Rp49,5 miliar untuk restorasi gambut di Riau dengan luas area target 140 ribu hektare. Luas kebakaran lahan dan hutan di Riau secara komulatif sejak 14 Januari lalu mencapai sekitar 680 hektare. ***
Sumber : Antara