DPR Cari Solusi Terbaik soal Polemik Pasal Penghinaan Presiden
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoert) menegaskan bahwa Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sedang membahas pasal penghinaan kepala negara. Panja RUU KUHP akan mencari formulasi terbaik atas pasal yang kini menjadi polemik di masyarakat itu.
“Pasal yang menjadi polemik masih menjadi pembahasan di Panja RUU KUHP. Ketentuan penghinaan presiden yang jadi polemik terutama Pasal 238 dan Pasal 239 ayat (2) Rancangan KUHP,” tegas Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Menurut politisi Golkar itu, ayat 1, berbunyi setiap orang yang di depan umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori I pejabat.
Sedangkan ayat ke-2, berbunyi tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Adapun pasal 239 juga memuat dua ayat. Pada ayat pertama berbunyi setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sedangkan ayat ke-2, berbunyi tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Karena itu Bamsoet mendorong Panja RUU KUHP dan pemerintah bisa segera menemukan formulasi terbaik.
“Kami harapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa dicapai rumusan yang baik yang disepakati antara pemerintah dan DPR tanpa mengesampingkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara,” pungkasnya.
Sedangkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai wacana pemerintah membangkitkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dinilai sebagai bentuk penjajahan terhadap rakyat.
Menurut Fahri, pasal penghinaan terhadap presiden adalah pasal peninggalan Belanda, yang ditujukan untuk penghinaan kepada pemimpin-pemimpin kolonial, Ratu Belanda, Gubernur Jenderal dan lain-lain.
“Pasal ini memang digunakan bukan di Belanda, tapi di negara-negara jajahan, jadi kalau pasal ini hidup itu sama dengan presiden itu menganggap dirinya penjajah dan rakyat itu yang dijajah,” ujarnya.
Anggota DPR dari FPKS dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menegaskan bahwa penghidupan kembali pasal penghinaan presiden sebagai kemunduran yang luar biasa.
“Penghidupan pasal tersebut harus dihentikan, karena sama saja memutarbalik jarum jam peradaban demokrasi kita jauh ke belakang, mudah-mudahan Pak Jokowi paham bahwa ini kesalahan yang fatal,” tambahnya.
Diketahui, DPR dan pemerintah sepakat pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden masuk ke dalam RKUHP. Pasal ini tetap dipertahankan meski sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan, pasal terkait penghinaan presiden ini diperluas di pasal selanjutnya dengan mengatur penghinaan melalui teknologi informasi.
Berdasarkan Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara.
Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Reporter: Irawan Surya
Editor: Rico Mardianto