Catatan Kecil dari Surabaya (2): Setiap Jengkal Kota Dipenuhi Sejarah
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Jam digital di tangan sudah menunjukkan pukul 15.55 WIB, Rabu (29/11/2017) lalu. Tapi, belum juga ada tanda-tanda, kegiatan rapim KPU di ruang ball room lantai 2 Hotel JW Marriott, memasuki sesi istirahat sore.
Sementara, cuaca di luar mulai kelihatan kurang bersahabat. Awan pekat tebal menghitam mulai mengumpal di atas langit Surabaya. Memang, sejak siang kekuatan sinar matahari terlihat kurang bertenaga.
Sudah sejak dua hari berturut-turut, Kota Surabaya di sebelah sore selalu diguyur hujan deras.
Menginjakkan kaki di Surabaya di bulan Nopember, memang memiliki kenangan tersendiri. Kota ini penuh dengan lembaran sejarah. Saksi perjuangan hebat bangsa ini ketika mengusir Belanda. Di setiap sudut kota, sayup-sayup seakan selalu terdengar pekik suara “Merdeka!” “Allahu Akbar!” “Merdeka!”.
Bangunan sejarah di setiap sudut dan jengkal kota ini selalu ada nilai sejarahnya. Sejumlah bangunan dan gedung sejarah terukir di sana. Seakan bangunan-bangunan itu menyiratkan pesan: “Kami adalah saksi perjuangan _arek-arek_ Suroboyo 10 Nopember 1945”.
Ada Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan No. 65 Surabaya. Dulunya, hotel ini bernama Oranje Hotel. Saat pendudukkan Jepang, hotel ini dijadikan markas tentara Jepang. Lalu namanya diganti Yamato Hoteru atau Hotel Yamato. Kurang lebih 3,5 tahun Jepang bermarkas di hotel ini.
Dari JW Hotel Marriott, Jalan Embong Malang hanya berjarak beberapa meter saja. Ditempuh dengan berjalan kaki tak sampai 9 menit. Sedikit berjalan melawan arah, kita harus berbelok di bundaran taman kecil. Tepatnya berputar di depan Gedung Monumen Pers Perjuangan Surabaya.
Gedung ini juga bagian penting dari sejarah perlawanan arek-arek Suroboyo. Kita akan ceritakan juga tentang Monumen Pers Perjuangan Surabaya ini. Tapi nanti, setelah kita menulis tentang cerita Hotel Yamato yang sangat historis itu. Atau kita tulis jika ada kunjungan kembali ke Surabaya.
Hotel Majapahit, dulunya saat rangkaian peristiwa 10 Nopember 1945 masih bernama Hotel Yamato. Letaknya, dicapai harus berjalan kembali melawan arah dari Gedung Monumen Pers Perjuangan Surabaya. Tak sampai seratus langkah kaki. Cukup dekat sekali. Dan langsung terlihat menara bagian atas hotel. Tampak bendera merah putih berkibar-kibar. Angin kencang yang diiringi rintik-rintik air hujan, sore itu, membuat merah putih semakin gagah berkibar.
Di Hotel Majapahit, kami langsung disambut Desy, yang memperkenalkan diri sebagai Secretary Manager Hotel Majapahit. Perempuan cantik ini menyambut hangat. Meski sore itu pukul 16.30 WIB, waktu kunjungan sudah ditutup, tapi Desy dengan baik hati tetap menyediakan waktunya.
Mulai dari gambar dan lukisan yang menempel di dinding hotel, satu persatu diceritakan secara detil. Setiap sudut dan kamar hotel diceritakan, jika kamar-kamar di sana masih terjaga sejak hotel ini dibangun oleh pemilik awalnya, Lucas Martin Sarkies (Armenia) pada tahun 1910.
Desy juga mengajak melihat kamar 33. Yang letaknya agak di bagian belakang. Selain tipe kamarnya yang besar, kurang lebih memiliki luas 86 m2. Kamar 33 ini disebut juga kamar “Merdeka”.
Cukup banyak sejarah di kamar ini terjadi. Kamar ini pernah dijadikan Pusat Komando Tentara Belanda. Di kamar ini pula dilengkapi pintu darurat menuju ke perkampungan. Di kamar yang sama, tokoh arek-arek Suroboyo, Roeslan Abdul Gani meminta penjelasan mengapa bendera Belanda berkibar di hotel tersebut.
Selengkapnya, peristiwa Hotel Yamato, akan ku tuliskan ditulisan berikutnya yang ku rangkum dari berbagai sumber yang menceritakan peristiwa heroik tersebut. Ditunggu ya rek! (bersambung)
*Tulisan ini sebagai catatan buah tangan Ilham Muhamamd Yasir, anggota KPU Provinsi Riau Divisi Hukum dan Pengawasan selama mengikuti Rapim KPU provinsi se-Indonesia di Hotel JW Marriott Surabaya, 27–30 Nopember 2017.