PKS Sebut Perppu Ormas Berpotensi Lahirkan Rezim Otoriter
RIAUMANDIRI.co, JAKARTA - Fraksi PKS DPR juga dengan tegas menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) ditetapkan menjadi UU.
“Saya dari Fraksi PKS menyatakan tegas menolak Perppu Ormas menjadi Undang-undang,” kata Mardani Ali Sera ketika menyampaikan pandangan fraksinya dalam rapat pembahasan Tk I RUU Penetapan Perppu Ormas antara Komisi II DPR RI dengan Mendagri, Menkumham dan Menkominfo, di Gedung DPR RI, Senayan, (16/12).
Mardani menegaskan, hak untuk berserikat dan berkumpul merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam Konstitusi. Karenanya, perbuatan melakukan pembatasan terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul yang bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Menurut dia, Perppu Ormas mengandung ambiguitas yang rawan ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pelaksana kebijakan. Seperti, dalam hal norma tentang larangan bagi Ormas dalam berkegiatan, yang meliputi pula larangan untuk menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang.
Tak hanya itu, politisi F-PKS ini mengatakan Perppu Ormas berpotensi melahirkan atau memunculkan rezim otoriter dengan menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran Ormas.
“Hal yang sangat krusial dan fatal yang diatur dalam Perpu tentang Ormas sehingga menjadikan Perpu ini sebagai ancaman bagi pelaksanaan demokrasi di negara hukum Indonesia, adalah dihilangkannya peran pengadilan dalam pembubaran Ormas dan diambil alih oleh Pemerintah,” tegasnya.
Selain menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran Ormas, dalam Perpu ini juga Pemerintah menyederhanakan dan menghilangkan tahapan-tahapan pembubaran Ormas yang sebelumnya diatur secara berjenjang dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Fraksi PKS menilai bahwa Perpu tentang Ormas memuat sanksi pidana yang berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi. Pemberatan sanksi pidana dalam perkara penyalahgunaan, penistaan, dan penodaan terhadap agama dalam konteks pelanggaran Ormas yang diatur dalam Perpu tentang Ormas ini tidaklah tepat karena tidak konsisten dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain mengenai norma yang sama.
Melalui Perpu tentang Ormas ini, Pemerintah menambah berat sanksi pidana dalam hal penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dilakukan oleh orang menjadi anggota dan pengurus Ormas, menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
“Ketentuan ini sangat rawan untuk dijadikan senjata oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kriminalisasi terhadap orang-orang tertentu dengan dalih penodaan terhadap agama. Bahkan, ketentuan ini dapat dijadikan celah untuk memberangus kegiatan Ormas dengan mengkriminalisasikan anggota dan/atau pengurus Ormas tersebut dengan menggunakan pasal tentang penodaan agama ini,” terang Mardani.
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 17 Oktober 2017
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang