Sesuai UUD 1945, Polri dan Kejaksaan Agung Inti Penegakan Hukum
RIAUMANDIRI.co, JAKARTA - Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, bahwa semangat dan sikap permanen dalam sistem peradilan pidana atau criminal justice system, yaitu berlandaskan pada Pasal 1 Ayat 3 dan Pasal 27 UUD 1945 yang menyebutkan, Polri dan Kejaksaan Agung merupakan inti daripada penegakan hukum Indonesia, harus disepakati.
“Lembaga tinggi negara lainnya, seperti KPK dan Komnas HAM untuk membantu dan mendukung penegakan hukum, bukan untuk mengganti inti lembaga negara tersebut,” tegas Bambang dalam rapat gabungan Komisi III DPR dengan KPK, Polri dan Kejaksaan Agung, Senin (16/10).
Dikata Bambang, tugas yang diamanatkan dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK harus menjadi landasan untuk mewujudkan tugas dan fungsinya dilaksanakan dengan baik, dan diselesaikan dengan baik.
"Tampaknya fungsi utama KPK sebagai triger mechanism, telah dilaksanakan dengan baik. Meskipun sifat-sifat koordinasi masih belum maksimal. Tetapi sebagaimana sifat dan sistem demokrasi, akan melahirkan pelaksanaan anti korupsi secara otomatis oleh sistem inti yang ada, termasuk Kepolisian dan Kejaksaan," kata politisi Partai Golkar itu.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Junaidi Mahesa selaku pimpinan rapat mengatakan, catatan yang dinilai penting, bahwa saat ini agak susah menuju negara bebas korupsi secara konkret karena kementerian dan lembaga yang korupsi, sampai hari ini tidak memiliki antybody yang bisa menjadi contoh atau pilot project penindakan korupsi bagi KPK.
“Poin ini penting bagi kita, untuk mengevalusi catatan-catatan tentang apa yang terjadi hari ini, apa dan yang ke depan harus kita lakukan. Apakah ada kekurangan peraturan yang tidak mendukung, ada efek jera yang tidak maksimal, atau ada persoalan edukasi pencegahan terhadap korupsi yang tidak maksimal,” jelas politisi F-Gerindra itu.
Sementara, Wakil Ketua DPR Ri Benny K. Harman mempertanyakan, apakah Kepolisian dan Kejaksaan Agung sudah siap dan selesai dibangun dan bertugas memberantas korupsi. Pasalnya, indeks korupsi semakin meningkat. Penindakan korupsi tidak hanya bisa mengandalkan KPK. Menurutnya, Densus Tipikor bisa menjadi jawaban kegelisahan atas hal ini.
“Kepolisian dan Kejaksaan perlu membentuk Densus di internal masing-masing dengan KPK sebagai supervisi dan koordinasi. Mengapa KPK sebagai koordinasi dan supervisi, karena untuk memastikan penanganan korupsi berlangsung transpanan, akuntabel dan fokus,” jelas politisi Demokrat itu
Menanggapi apa yang disampaikan Pimpinan Komisi III itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, pemberantasan korupsi tidak berhenti, dan tidak berjalan di tempat. Tetap berjalan, meskipun belum signifikan.
Menurut Agus, sejak 1999 selepas Orde Baru tingkat pemberantasan korupsi di Indonesia, berada di tingkat paling bawah di Kawasan Asia Tenggara. “Kita (dulu) di bawah Thailand, Vietnam, dan Filipina,” imbuh Agus.
Sementara itu Jaksa Agung Muhamad Prasetyo berharap Kejaksaan Agung memiliki kesetaraan yang sama dengan penegak hukum lainnya seperti Polri dan KPK, sehigga penegakan hukum dapat berlangsung efektif.
“Terkait pembentukan Densus Tipikor, kami telah mempersiapkan dan merevitalisasi Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK),” imbuh Prasetyo.
Dalam kesempatan yang sama, Kapolri Tito Karnavian menegaskan, kasus korupsi yang masif, tidak bisa dengan satu senjata, yakni penindakan. Setidaknya dibutuhkan tiga senjata, yakni pencegahan, penindakan, dan pasca penindakan.
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 17 Oktober 2017
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang