Perppu Ormas: Sebuah Upaya Penyelamatan NKRI
PEMERINTAH menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, kontroversi pun merebak. Masyarakat terbelah, ada yang menolak, dan tidak sedikit pula yang setuju. Penerbitan Perppu sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, terdapat dua alasan yang menjadi kekurangan dalam UU Ormas tersebut, sehingga dianggap tidak lagi memadai dalam menjawab tantangan zaman, maka tidaklah berlebihan jika Perppu No. 2/2017 yang diteken Presiden Jokowi tanggal 10 Juli 2017 itu diyakini dapat mengisi kekosongan hukum.
Pertama, dari aspek administrasi. UU Ormas No. 17/2013 dinilai tidak memadai untuk mengatur terkait meluasnya ormas yang bertentangan, baik itu dari sisi norma hukum, sanksi, dan prosedur hukum yang berlaku. Seperti diketahui, UU Ormas tidak mengatur mengenai pemberian izin dan pencabutan izin, yang seharusnya berasal dari lembaga atau institusi yang sama, melainkan melalui Pengadilan yang membutuhkan waktu sekitar 450 hari, ini adalah waktu yang sangat lama dalam pemberian putusan sanksi.
Padahal Pemerintah, sebagai lembaga yang mengeluarkan keabsahan Organisasi kemasyarakatan harusnya punya wewenang untuk mencabut keabsahan tersebut. Kedua, definisi mengenai ajaran dan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila didalam UU Ormas yang ada masih terlalu sempit, sementara perkembangan bentuk dan ideologi Organisasi-organisasi yang ada sekarang begitu kompleks dan cepat tumbuh didalam masyarakat. Dalam UU Ormas, dinyatakan bahwa yang bertentangan dengan Pancasila adalah ateisme, komunisme, dan marxisme-leninisme. Sementara saat ini begitu banyak ideologi global yang berpotensi mengancam ideologi Pancasila dan NKRI.
Berdasarkan Pasal 22 UUD 1945, Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Sebagaimana juga yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 bahwa Perppu dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa dan memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada persidangan selanjutnya.
Undang-undangNomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan pada pasal 11, menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi Undang-Undang. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa Perppu itu secara materiil adalah Undang-Undang, hanya bentuknya bukan Undang-Undang.
Dari segi bentuknya Perppu itu adalah peraturan pemerintah, tetapi dari segi isinya perppu itu sebenarnya adalah Undang-Undang yang karena alasan kegentingan yang memaksa ditetapkan sendiri oleh Presiden.
DPR tentunya akan memproses Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dalam satu kali masa sidang.
Apabila disetujui oleh sidang paripurna DPR, maka Perppu langsung akan menjadi undang-undang. Namun, jika tidak disetujui, berarti akan kembali pada UU No 17 Tahun 2013. Kendati demikian, untuk saat ini pemerintah sudah bisa menerapkan Perppu tersebut.
Presiden memiliki diskresi dan kewenangan untuk menafsirkan secara subjektif hal ihwal kegentingan yang memaksadan karenanya dapat dan sah untuk mengambil langkah-langkah lanjutan berdasarkan Perppu tersebut khususnya dalam hal pembekuan organisasi masyarakat yang di anggap bertentangan dengan isi Perppu tersebut.
Mahkamah Konstitusi merumuskan Ukuran objektif penerbitan PERPU dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu: 1). Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2). Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3). Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-
Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Terdapat hal baru dalam Perppu No. 2 Tahun 2017, Dibandingkan dengan UU No. 17 Tahun 2013. Antara lain pengertian organisasi kemasyarakatan (ormas), larangan-larangan untuk ormas, hingga sanksi terhadap ormas, baik anggota maupun pengurus yang melakukan pelanggaran.Disamping terdapat penghapusan sejumlah ketentuan dalam UU Ormas sebelumnya dari pasal 62 hingga pasal 80yang mengatur ketentuan mengenai penjatuhan sanksi, mekanisme penghentian, pencabutan status
badan hukum dan pembubaran, juga terdapat penambahan pada Pasal 80A, 82A dan Pasal 83A.
Menurut Pasal 60 Perppu tersebut, ormas yang melanggar Pasal 21 (tentang kewajiban), Pasal 51 (kewajiban bagi ormas yang didirikan oleh warga negara asing atau
WNA) dan Pasal 59 ayat (1,2) mengenai larangan-larangan akan dijatuhi sanksi administratif.
“Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 (larangan bagi ormas yang didirikan WNA) dan Pasal 59 ayat (3,4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Berdasarkan Perppu tersebut, peringatan tertulis sebagaimana dimaksud diberikan hanya satu kali dalam jangka waktu tujuh hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.Sementara bagi ormas yang tidak mematuhi peringatan tertulis yang diberikan dalam jangka waktu yang ditentukan, maka menteri dan menteri
penyelenggara urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM, sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan. Sedangkan untuk pencabutan status badan hukum ormas sebagaimana dimaksud, sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Perppu tersebut.
Ormas dan Masa Depannya
Perlu ditegaskan bahwa Perppu No. 2 tahun 2017 ini bukan saja ditujukan khusus untuk pembubaran HTI, implikasi luas juga diterima oleh berbagai Ormas lainnya, baik Ormas yang bernafas keagamaan maupun yang non keagamaan yang memiliki agenda mengganti bentuk dan eksistensi nilai Pancasila dan NKRI, Pancasila dan NKRI merupakan konsensus nasional yang menjadi perekat kerukunan agama dan mengatur kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Harus diakui, Perppu ini menjadikan HTI sebagai Ormas terdampak yang pertama, namun demikian Perppu ini juga menyediakan aturan bagi HTI untuk membela diri melalui gugatan atas putusan administratif ke PTUN.
Dalam konteks ini maka putusan untuk menjatuhkan sanksi terhadap HTI yang didasarkan pada Perppu No.2 / 2017 bukanlah sebuah keputusan yang represif, karena tersedia berbagai jalan hukum yang dapat ditempuh oleh HTI. Tinggal sekarang HTI ingin menempuhnya sesuai ketentuan atau tidak.
Perlu kita renungkan mengapa saat ini pancasila sebagai ideologi harus menjadi arus utama dalam setiap gerak langkah organisasi masyarakat yang ada, antara lain bisa kita cermati sejak bergulirnya reformasi dimana semangat patriotik para generasi muda mengalami dekadensi pada titik yang mengkhawatirkan, pengaruh globalisasi telah memberi warna baru dalam kehidupan sosial saat ini. Sehingga perluadanya pengukuhan orientasi dan nilai yang dapatmenggugahkesadaranwarganegaradalamkancah
sosial untuk merivatalisasi kembali semangat nasionalisme agar tidak rapuh.
Untuk itulah Pancasilaharus kembali diletakkansebagaidasarfalsafahnegarasertapandanganhidupsetiap Ormas, dan bukan malah direduksi, dibatasiapalagidimanipulasi
demi kepentinganpolitik.
Eksistensi HTI di Indonesia akan ditentukan oleh sejarahnya sendiri, dan kelak kita juga akan diperlihatkan Ormas-ormas lainnya yang bertentangan dengan ideologi bangsa dan cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 akan terpental satu persatu. Ormas-ormas keagamaan yang ada hendaknya menyadari bahwa ancaman serius yang dihadapi oleh setiap agama saat ini ialah disintegrasi bangsa, degradasi moral, pluralisme dan ketidak-adilan (Sugiharto, 1998).
Persoalan tersebut menjadi semakin runyam dan sulit diatasi apabila muncul sikap agresif yang berlebihan terhadap pemeluk agama lainnya ditambah
dominannya kepentingan diluar agama yang turut mengintervensi seperti kepentingan politik dan ekonomi.
Semua Ormas, baik yang berdimensi keagamaan maupun non keagamaan selayaknyalah mendapat kesempatan yang sama (equal opportunity) untuk berkembang dengan baik dan berkontribusi positif dalam membangun masyarakat Indonesia. Masing-masing berkembang secara variatif yang ditentukan oleh daya tahan internal organisasi, urusan internal inlah yang akan menjadi tolok ukur keluar (eksternal) yang menentukan apakah sikap, misi dan orientasi suatu organisasi mampu beradaptasi
dengan lingkungan di luarnya.
Bisakah organisasi tersebut berlaku adil terhadap kelompok lain yang berbeda agama atau suku bangsa misalnya?, bisakah organisasi tersebut berlaku egaliter terhadap sesama walaupun beda agama?, bisakah Organisasi tersebut bersikap terbuka, jujur dan berpartisipasi untuk kepentingan bangsa?, pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban jujur dari setiap Ormas, termasuk HTI.
Ke depan, kita berharap semua elemen bangsa yang tergabung dalam setiap organisasi kemasyarakatan dapat menyalurkan energy positifnya bagi keutuhan NKRI, meskipun realita hari ini memperlihatkan semua energi yang ada masih terfragmentasikan sedemikian rupa.
Untuk itulah Perppu tersebut sedapat mungkin harus dijadikan batu pijakan untuk menyalurkan dan mengkanalisasi setiap kontribusi terbaik yang dimiliki elemen bangsa sesuai dengan potensinya masing-masing.
Penulis: Cecep Suryadi (Aktivis Ormas/Peminat Kajian Kebangsaan)