PPP: Pilkada Langsung Telah Mengoyak-Koyak Bangsa Ini
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Wakil Ketua Fraksi PPP di MPR Syaifullah Tamliha, menilai wawasan Kebangsaan saat ini sedang menghadapi cobaan yang begitu berat akibat berubahnya atau amandemen UUD 1945.
"Apakah cocok lagi UUD 1945 itu disebut sekarang ini, ataukah undang-undang dasar 2002. Karena perubahan yang mendasar dari undang-undang dasar1945 pada tahun 2002 itu menyebabkan semua produk perundang-undangan yang dibikin DPR bersama pemerintah cenderung menjadi negara liberal," kata Syaifullah dalam diskusi RUU Wawasan Nusantara, di Media Center DPR, Selasa (30/5).
Dia mencontohkan, siapa yang menang, dia bisa menindas yang kalah dan tidak ada lagi budaya musyawarah untuk mufakat. Menurut dia, sila kelima "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" sangat berpaedah ketimbang demokrasi suara terbanyak.
Yang paling mengkhawatirkan, kata Syaifullah , saat ini pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung. Dia meminta MPR untuk mengkaji kembali Pilpres dan Pilkada secara langsung tersebut.
"Menurut saya perlu dikaji kembali. Kenapa? Saya melihat hasil dari pada pilpres dan pilkada secara langsung itu hanya memainkan 2 peran saja. Pertama adanya kapital besar, mereka yang berduit itulah yang akan bisa menjadi pemenang dalam pilkada. Ini bukan rahasia umum, setiap pilkada pasti bagi-bagi duit," katanya.
Dengan pilkada langsung memerlukan biaya yang sagat besar bagi masing-masing, dan setelah terpilih dan menjadi kepala daerah, mereka berpikir bagaimana mengembalikan modalnya. Pertama yang dilakukan adalah menjual sember daya alam.
Bukan itu saja menurut Syaifullah, pilkada langsung telah mengkoyak-kayak bangsa ini. Dia mencontohkan pilkada DKI balum lama ini, bagaimana masing-masing mempunya group WA, kemudian isu-isu dan hampir tidak ada lagi yang saling menghormati.
"Ada yang pengurus NU (Nadhlatul Ulama) yang menghujat Rois Am-nya. Kemudian ada yang paling berbahaya saat ini dan saya bawa ke dalam rapat Fraksi MPR adalah berbahayanya kebhinekan kita hanya karena pilkada," ungkapnya.
Maka itu, Badan Kajian MPR telah melakukan kajian-kajian dan ada yang menyuarakan keinginan untuk mengembalikan pemilihan presiden itu melalui pemilihan MPR. "Ada baiknya, Badan Kajian MPR itu menyelesaikan tugasnya. Jangan terus dikaji saja, kapan selesainya. Saya tanya sudah berapa lama lembaga kajian ini, sudah sejak bapak masuk di sini dan hasilnya tidak ada perubahan apapun yang sekiranya mau finalisasi. Mau dibawa kemana Negara ini," kata Syaifullah mengkritisi MPR.
"Kerjaan MPR saat ini tidak lebih sosialisasi empat pilar. Harganyanya mahal sekali, para pimpinan MPR berangkat ke luar negeri menemui para warga negara Indonesia yang kadang-kadang cuma 40 orang untuk diberikan wawasan empat pilar," ulas Syaifullah Tamliha.
Anggota Pansus RUU Wawasan Nusantara Jhon Kennedy Aziz sependapat dengan apa yang disampaikan Syaifullah. "Apa yang disampaikan bapak Syaifullah sangat cocok dengan hasil rapat dengar pendapat kami dan kunjungan kami. Kita berharap RUU ini kalau rampung bisa menyikap kembali simpul-simpul kebangsaan yang mungkin kita rasakan mulai tergores," kata Jhon.
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 31 Mei 2017
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang