Kehadiran Saldi, Momentum Mengangkat Integritas MK
RIAUMANDIRI.co - Pelantikan Saldi Isra sebagai hakim konstitusi yang baru menggantikan Patrialis Akbar memberikan harapan baru bagi pemulihan citra, integritas, dan kredibilitas Mahkamah Konstitusi (MK).
Paling tidak itulah yang kita inginkan setelah sebelumnya lembaga tersebut tercoreng dan bahkan terpuruk karena dua kasus korupsi dan suap yang menimpa Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.
Bahkan mereka terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK sehingga sangat telak dan dramatis.
Kelahiran MK sebagai salah satu buah reformasi sangatlah vital dan strategis karena diharapkan dapat mengawal penegakan konstitusi dalam praktik hukum dan bernegara di Indonesia.
Lembaga itu benar-benar dihormati dan mempunyai integritas tinggi pada saat dipimpin Prof Jimly Asshiddiqie dan Prof Mahfud MD. Sayang kemudian, MK seperti akan runtuh karena kasus Akil Mochtar.
Tidak diduga tiga tahun kemudian terulang kembali lewat apa yang dilakukan Patrialis Akbar.
Jujur, tidak mudah mengembalikan kepercayaan publik setelah kasus kedua terjadi. Benarkah kasus itu sudah diusut sampai tuntas dan tidak ada hakim lain yang terlibat? Lalu apa daya seorang Saldi Isra kalau ternyata mafia peradilan sudah ada di sana. Beberapa waktu lalu juga ramai dibicarakan tentang kasus pencurian berkas perkara pilkada yang akan disidangkan.
Benarbenar memalukan hal seperti itu bisa terjadi di sebuah lembaga yang menjadi benteng terakhir penegakan konstitusi.
Terus terang kita mulai was-was ketika MK mulai ditugasi menangani sengketa pilkada yang pasti dipenuhi oleh konflik kepentingan yang luar biasa.
Dan semua mafhum kontestasi politik di Indonesia apalagi pilkada sangat diwarnai aroma politik uang. Dalam situasi seperti itu pastilah godaan hakim konstitusi sangat besar.
Keputusan yang terkait dengan hasil pilkada sangatlah rawan untuk tidak dikatakan mudah dipengaruhi oleh suap. Hal itu sudah terbukti dari dua kasus yang akhirnya terungkap.
Maka sangatlah arif pernyataan Saldi Isra bahwa pada akhirnya semua tergantung pada komitmen hakim konstitusi. Jabatan ketua, wakil, dan anggota adalah sama dan sederajat dalam menangani perkara.
Ketika Akil Mochtar akhirnya terbongkar dengan praktik jual beli keputusan kita disadarkan bahwa ternyata praktik itu bisa berjalan mulus tanpa diketahui oleh ketua MK. Paling tidak itulah yang bisa disimpulkan dari proses persidangan Akil Mochtar. Jadi penilaian atas integritas bisa bersifat individual.
Bagaimanapun kita berharap kehadiran Guru Besar Universitas Andalas sebagai hakim konstitusi yang baru menjadi momentum untuk kembali mengangkat pamor dan integritas MK. Kasus Patrialis Akbar haruslah yang terakhir.
Sulit membayangkan apa jadinya MK kalau masih akan terjebak pada praktik suap yang benar-benar memalukan itu. Hanya ada beberapa hakim konstitusi dan mereka seharusnya adalah sosok ”dewa”dalam hukum ketatanegaraan serta berpikir dan bertindak sebagai negarawan. ***