Bisnis Ritel dalam Dilema
RIAUMANDIRI.co - Wacana yang mulai berkembang terkait moratorium bisnis ritel jenis minimarket, saya rasa masih perlu untuk dipertimbangkan. Walaupun benar pada kenyataannya bahwa, menjamurnya bisnis minimarket yang semakin marak, tidak berbanding lurus dengan pemerataan ekonomi. Karena justru malah membuat ketimpangan ekonomi masyarakat semakin curam. Namun, pesatnya perkembangan bisnis ritel ini sejatinya telah membantu sektor konsumsi untuk terus tumbuh se-hingga akhirnya mampu terus menopang pertumbuhan ekonomi.
Banyak yang mengatakan bahwa, pertumbuhan bisnis minimarket yang semakin marak belakangan ini telah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Pasalnya, bisnis ini telah menggusur bisnis masyarakat kecil khususnya pada jenis "klontong". Hal tersebut diperburuk dengan kenyataan bahwa minimarket yang telah mendominasi pasar hanya milik segelintir orang saja. Ujung-ujungnya, anggapan bahwa yang kaya akan semakin kaya, yang miskin semakin merana tidak terelakkan lagi. Lalu dimanakah ekonomi pancasila kita ?
Memang benar bahwa, menjamurnya bisnis ritel berbading lurus dengan peningkatan daya beli masyarakat, karena dengan otomatis akan menumbuhkan banyak lapangan pekerjaan. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah benar bahwa masyarakat harus selalu pasrah dengan menjadi pelaku konsumsi saja tanpa mendapatkan keuntungan dari pesatnya pertumbuhan bisnis ritel tersebut? tentu saja anggapan tersebut tidak benar. Tentu ada keunggulan komparatif yang didapatkan, namun semua itu tinggal menunggu bagaimana Pemerintah serta dunia usaha lainnya mampu membangun sinergis satu sama lain.
Moratorium dan proteksi Akhir tahun 2016 yang lalu, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bersepakat untuk terus menggenjot pertumbuhan bisnis ritel. Salah satunya dengan cara ekspansi ke daerah Indonesia bagian Timur. Pasalnya, daerah Indonesia bagian timur dianggap masih sangat prospektif untuk dikembangkan. (Kompas, 29/12/2016) Selama ini, masyarakat Indonesia bagian timur memiliki prilaku berbelanja dalam jumlah besar pada hari-hari tertentu saja. Hal tersebut salah satunya disebabkan akses distribusi barang konsumsi yang masih sulit sehingga biaya akomodasi menjadi mahal dan mempengaruhi harga barang. Oleh karena itu, Aprindo sangat menunggu realisasi rencana Pemerintah melalui Kementrian Perdagangan untuk membangun gerai tol laut sehingga ekspansi bisni ritel segera dapat diwujudkan. Sederhananya, ketika bisnis ritel dapat dikembangkan, maka dengan sendirinya pembangunan infrastruktur dan segala bentuk bisnis substitusi lain juga akan berkembang.
Bisnis ritel memang sangat baik untuk dikembangkan. Dengan omzet yang terbilang cukup besar pertahunnya, dimana pada 2015 mencapai Rp 181 triliun, Rp 191 triliun pada 2016, kemudian di 2017 ini proyeksinya akan tumbuh lagi 10 % yakni berkisar Rp 219 triliun, artinya, bisnis ritel dengan otomatis memberikan gairah terhadap pertumbuhan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah monopoli yang terjadi dalam pasar bisnis ritel.
Lihat saja, hampir di setiap kota di Indonesia telah dijajah oleh bisnis ritel dengan merk alfamart, indomaret, dan sejenisnya. Ekspansi brand tersebut akhirnya menciptakan monopoli sehingga membuat banyak pengusaha lokal menjadi sulit untuk berkembang. Selain karena faktor modal, pengalaman dalam melakukan branding menjadi kendala utama para pebisnis lokal. Dalam kon-teks pasar, apabila terjadi monopoli, artinya masyarakat tidak mampu untuk bersaing. Lemahnya daya saing inilah yang harus menjadi prioritas Pemerintah ke depan, tentu dengan harapan akan terjadi pemerataan ekonomi di kemudian hari.
Bercontoh pada kasus di Sumatera Barat. Saya rasa, hanya Sumatera Barat Provinsi di Indonesia yang melakukan proteksi ekonomi lokalnya dari serangan pasar ritel jenis minimarket yang kian menjamur. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melarang beberapa merk minimarket ternama seperti alfamart, indomaret dan sejenisnya untuk menggelar lapaknya. Dalam hal ini, awalnya saya meyakini bahwa upaya Pemerintah melakukan proteksi atau sama halnya seperti melakukan moratorium, ada baiknya. Pasalnya, Sumatera Barat sangat potensial untuk perkembangan pasar Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Tentu jika dihantam oleh dominasi ritel modern ini, maka cukup rasional apabila nantinya UMKM sulit untuk berkembang. Namun, bukan malah menyuburkan UMKM lokal. Pemerintah malah mendukung berdirinya bisnis ritel jenis minimarket dengan merk "Minang Mart".
Menurut hemat saya, pendirian Minang tersebut sangat tidak baik. Pasalnya, selain membangun monopoli, Minang Mart nantinya akan menjadi pesaing handal bagi para pengusaha ritel lokal lainnya. Karena selama ini upaya memproteksi dari alfamart dan indomaret telah berhasil memberikan ladang bagi pengusaha ritel lokal untuk berkembang. Kedatangan Minang Mart otomatis dapat memberikan ketegangan baru diantara para pebisnis ritel lokal nantinya.
Bayangkan saja, selain berani memasang harga miring, Minang Mart juga akan dibangun sebanyak seribu gerai di Sumatera Barat. Ekspansi besar-besaran ini akan mematikan bisnis klontong masyarakat. Alih-alih melindungi pengusaha kecil, dengan mendukung Minang Mart artinya Pemerintah tidak konsisten dengan komitmennya, lalu dengan perlahan membunuh perekonomian masyarakat dari dalam.
Seharusnya langkah yang diambil adalah tetap membiarkan bisnis ritel tumbuh sebagaimana mestinya. Bukan dengan melakukan proteksi ataupun moratorium. Persaingan dalam dunia bisnis itu adalah hal yang lumrah, untuk menghadapinya tentu Pemerintah harus memprioritaskan kepada peningkatan daya saing masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini pun, Pemerintah dapat memberikan kesepakatan ataupun kerjasama kepada banyak pengusaha ritel untuk lebih memprioritaskan produk lokal untuk dipasarkan di gerainya. Tentu langkah ini cukup efektif untuk membantu perkembangan ekonomi lokal.
Kini kita harus menyadari bahwa ekonomi Indonesia harus didorong dari dalam, karena faktor eskternal untuk saat ini masih menjadi ancaman besar bagi ekonomi kita. Oleh karena itu, meng-gairahkan sektor konsumsi adalah jalan utama untuk terus menghangatkan aktifitas ekonomi sembari terus berusaha menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Penulis adalah Analis Economic Action (EconAct) Indonesia