Kekerasan atas Perempuan, KDRT Tertinggi
Jakarta (riaumandiri.co)-Komnas Perempuan Indonesia mengungkapkan terdapat 259.150 kasus kekerasan atas perempuan sepanjang tahun 2016, yang dihimpun dari data di Pengadilan Agama dan yang ditangani lembaga mitra pengadaan layanan di Indonesia.
Dan dari seluruh kasus itu, maka Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT merupakan yang tertinggi mencapai lebih dari 245.548 kasus atau sekitar 94%.
Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan, Indraswari, mengatakan kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga terjadi karena masih adanya ketimpangan gender, dengan laki-laki dianggap lebih berkuasa dari perempuan.
"Jadi tidak selalu terkait dengan status sosial ekonomi karena dari pengaduan yang datang melapor itu perempuan dari berbagai golongan, dari berbagai status sosial ekonomi, etnis, level pendidikan, berbagai usia dan agama juga, profesi juga beragam," jelas Indraswara, kemarin.
Meski telah memiliki UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga sejak 2004 lalu, tetapi proses penegakan hukum untuk kasus KDRT juga diinilai masih sulit karena sebagian aparat belum memiliki pemahaman tentang gender.
"Agar UU itu dapat diimplentasi kan perlu pakai kacamata gender kan, kalau tidak ya itu contohnya ada sebagian kasus yang pengaduannya kami terima, UU ini justru digunakan untuk mengkriminalisasi korban yang mengalaminya," kata Indraswara.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, mengatakan telah mengirimkan 46 surat rekomendasi yang disampaikan kepada lembaga-lembaga antara lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, MA, DPR dan lain-lain, tetapi hanya 12 surat yang mendapatkan tanggapan.
"Kasus yang dilaporkan dan kita kirimi surat paling tinggi memang diberikan kepada kepolisian, karena kan garda terdepan untuk penegakkan hukum, jadi responsnya juga paling banyak, dia memberikan perkembangan penyidikan dan menyampaikan rekomendasi yang diberikan Komnas Perempuan ditindaklanjuti," jelas Nurherwati.
Laporan kekerasan sulit
Bagi perempuan yang mengalami tindakan kekerasan, tak mudah mendapatkan keadilan, menurut LBH APIK. Lembaga yang mendampingi perempuan korban kekerasan LBH APIK menyebutkan dari pengaduan perempuan korban kekerasan yang mencapai 854, hampir semua korban harus membayar pemeriksaan Visum et repertum, visum et psikiatrikum (VER), dan kesehatan baik fisik atau psikologis, yang digunakan sebagai bukti untuk pelaporan di kepolisian.
Padahal biaya untuk pemeriksaan itu mencapai Rp150.000, sampai Rp1.500.000, yang termahal adalah untuk korban kekerasan seksual.
Korban KDRT Siti Rubaidah yang mengalami pemukulan oleh pria yang ketika itu masih menjadi suaminya, juga melapor ke kepolisian dengan berbekal hasil visum.
Dia mengaku mengalami kekerasan verbal dan fisik dalam 15 tahun perkawinan, karena tidak tahan dia kemudian melaporkan kasus pemukulan pria yang ketika itu masih menjadi suaminya. Pengadilan kemudian memberikan hukuman ringan.
"Kan mereka (jaksa) cuma mengajukan empat bulan, ketok palunya satu setengah bulan penjara, menurut teman-teman yang mengerti hukum itu tidak sepadan dengan yang dilakukan, sampai sekarang yang menjadi ganjalan saya, vonis itu tidak berbunyi sama sekali, karena tidak ada eksekusi," jelas Rubaidah.
Padahal putusan banding dan kasasi mengukuhkan vonis pengadilan negeri. Selain mengadukan kasus KDRT, Rubaidah pun bercerai tetapi meski pengadilan agama memutuskan agar mantan suaminya harus memberikan tunjangan sebesar Rp100 juta, tetapi sampai sekarang tidak membayarnya. (dtc)