Kebangkitan The Foxes
Leicester (RIAUMANDIRI.co) - Leicester City mulai bangkit usai memecat Claudio Ranieri dengan mengalahkan tim papan atas, Liverpool 3-1 dalam lanjutan Premier League pekan 26 yang digelar di King Power Stadium, Selasa (28/2) dinihari WIB.
Jamie Vardy menjadi bintang kemenangan The Foxes dengan memborong dua gol, sedangkan satu gol lainnya dicetak Danny Drinkwater. The Reds mendapat gol hiburan lewat Philippe Coutinho. Craig Shakespeare didapuk sebagai caretaker setelah Leicester memecat Ranieri. Ia pun hanya butuh empat hari untuk mengantarkan kemenangan pertama Leicester di Liga Primer Inggris pada 2017.
Kemenangan 3-1 atas Liverpool menjadi suatu yang mengejutkan. Para pemain Leicester tampil seperti saat ketika sukses membuat dongeng di musim lalu dengan merebut gelar Liga Primer Inggris untuk pertama kalinya, yang ketika itu didapat bersama Ranieri.
Apa yang ditampilkan Leicester pada Selasa (28/2) dinihari WIB, jadi sorotan Gary Neville. Legenda Manchester United yang kini aktif sebagai pundit di Sky Sports mengatakan bahwa The Foxes sudah balik kebentuk musim lalu.
"Semua tentang mental dan kemampuan. Para pemain yang memutuskan apakah mereka mau bermain atau tidak. Mereka akhirnya memutuskan untuk bermain," kata Neville dalam acara Monday Night Football yang dilansir dari detiksport.
"Mereka cuma bekerja lebih keras. Sesederhana itu. Tidak ada keraguan lagi Leicester kembali ke bentuk semula, main taktik. Tapi kualitas terbaik yang mereka punya adalah usahanya, etos kerja mereka, dan semangat juang mereka. Itu sempat hilang tiga sampai empat bulan terakhir," "Pandangan saya, itu berbeda dengan kinerja mereka sebelumnya. Mata kita tidak berbohong. Cocokan semangat para pemain Leicester ketika lawan Manchester United, mereka berjalan di lapangan. Mereka tidak lagi berjalan dalam permainan malam ini," tegas Neville.
Terlepas dari semangat dan tekad para pemain Leicester untuk meraih kemenangan, ada hal lain yang bisa dilihat dalam keberhasilan The Foxes pada dinihari tadi. Pertama, sorotan bisa ditujukan pada formasi 4-4-2 sejajar yang dipilih Shakespeare. Formasi itulah yang bikin Leicester mampu menjungkalkan seluruh prediksi di dunia dengan keluar sebagai juara liga musim lalu.
Di musim ini, pelatih asal Italia itu mulai mencoba-coba formasi baru. Dalam sepuluh pertandingan terakhir bersama Leicester di liga, Ranieri menggunakan formasi 4-4-2 sebanyak lima kali, 3-5-2 satu kali, 4-1-2-1-2 dua kali, dan 4-2-3-1 dua kali. Itu diterapkan hampir tidak berurutan di tiap-tiap laga.
Hasil dari perubahan-perubahan formasi itu bener-benar mengecewakan. Leicester hanya meraih satu kemenangan, dua imbang, dan sisanya kekalahan. Ranieri pun dipecat. Tapi, perubahan formasi bukan satu-satunya indikasi yang bikin Leicester rapuh musim ini di tangan Ranieri. Seringnya lini tengah diutak-atik juga bisa jadi penyebab lain.
Seperti halnya Danny Drinkwater, Marc Albrighton, Christian Fuchs hingga Jamie Vardy, yang sering terkena rotasi Ranieri meski tidak mengalami cedera. Situasi itu tampak membuat mereka sulit beradaptasi dengan cepat terhadap pola-pola baru yang diterapkan.
Dan ketika Shakespeare mengembalikan semuanya ke cara lama, cara yang membawa Leicester mengukir dongeng indah di Inggirs, semua berjalan mulus. Mereka semua bermain baik dengan saling terlibat dalam gol-gol ke gawang Liverpool. (dtc/bln/ril)