Komisi III Janji Sampaikan ke Jokowi
JAKARTA (riaumandiri.co)-Komisi III DPR berjanji akan menyampaikan aspirasi para demonstran kepada pemerintah melalui pimpinan DPR. Terutama, terkait menonaktifkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Aspirasi akan kami sampaikan kepada pemerintah melalui pimpinan DPR," kata Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan perwakilan demonstran aksi damai Bela Islam 212 Jilid II, di ruang rapat Komisi III DPR, Jakarta, Selasa (21/2).
Dikatakan, Komisi III DPR menerima empat tuntutan para demonstran, yaitu nonaktifkan Ahok, hentikan kriminalisasi terhadap para ulama, tidak ada mahasiswa yang ditahan, dan penegakan hukum secara konsisten.
Menurutnya, untuk poin kedua hingga keempat, Komisi III DPR akan menyampaikan kepada Kapolri saat Rapat Kerja di Komisi III DPR yang dijadwalkan pada Rabu (22/2).
"Poin kedua hingga keempat akan kami sampaikan terkait apa yang menjadi aspirasi masyarakat," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Muhammad al-Khaththath dalam RDPU itu mengatakan, massa aksi hanya ingin UU dilaksanakan. Sebab, dalam UU Pemda menyebutkan bahwa kepala daerah berstatus terdakwa harus diberhentikan.
Kedua, meminta agar Komisi III DPR memperjuangkan agar para ulama tidak dikriminalisasi pascaaksi damai pada bulan Desember 2016 dan Januari 2017. "Ketiga, tidak ada mahasiswa yang ditahan dan keempat penegakkan hukum secara konsisten," katanya.
Tertib
Sama dengan aksi-aksi sebelumnya, aksi kali ini yang diikuti ribuan massa, juga berjalan dengan damai dan tertib. Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab juga ikut turun ke jalan. Rizeq mengomandoi massa agar bubar dengan tertib.
Massa aksi memutuskan untuk bubar setelah perwakilan mereka menemui Komisi III DPR. Bukan hanya itu, Komisi III DPR juga turut menyambangi massa aksi dengan naik ke mobil komando. ''Ayo pulang biar tertib, saya ikut pulang, sampai ketemu lagi, bismillah,'' kata Habib Rizieq, kepada massa aksi.
Massa aksi pun menuruti imbauan Habib Rizieq untuk segera mengakhiri aksinya. Mereka bubar dengan tertib tanpa ada ketegangan. Bahkan, Habib Rizieq mengajak massa untuk membantu warga yang kerna banjir. ''Kita bantu yang kebanjiran, kita turun ke tempat banjir besok, setuju?'' ajak dia.
Bubarnya massa aksi diiringin oleh shalawat dan takbir sepanjang perjalanan. Bahkan, mereka mengakhiri momen tersebut dengan saling berfoto untuk mengabadikan aksinya.
Menistakan Ulama
Pada hari yang sama, sidang dugaan penistaan agama dengan terdakwa Ahok, juga digelar di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta. Dalam sidang kemarin, ahli agama Islam dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, menyatakan, ucapan Ahok saat menyinggung surah al-Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu merupakan penistaan terhadap ulama.
"Itu yang dituduh berbohong bisa politikus, mubaligh, guru, bisa juga ulama. Dalam konteks ini yang punya otoritas mewarisi Nabi menyampaikan risalah Islam adalah ulama. Maka ucapan itu telah menistakan ulama," kata Yunahar.
Menurut dia, dalam pidato Ahok itu walaupun tidak sebutkan ulamanya, tetapi disebutkan kata 'orang' dan 'orang' itu bersifat umum siapa saja yang menyampaikan surah al-Maidah ayat 51.
"Tentu, menurut itu ulama berbohong, dalam khasanah intelektual Islam berbeda pendapat itu biasa, menyatakan pendapat orang salah juga itu biasa, mengatakan sesat juga biasa tetapi jangan mengatakan bohong karena dalam ilmu hadis bohong itu adalah satu dosa besar," kata Yunahar.
Sebelumnya, ahli agama Islam dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Miftachul Akhyar menyebutkan, dugaan penistaan agama itu hanya terjadi di Jakarta, yang sedang menggelar Pilkada. Sementara di ratusan daerah lain yang menggelar kegiatan serupa, hal tersebut tidak ditemukan.
Jangan Lempar Tanggung Jawab
Sementara itu, hingga saat ini belum ada keputusan pasti dari pemerintah, terkait tuntutan penonaktifan Ahok dari Gubernur DKI, karena statusnya sebagai terdakwa.
Baik Mahkamah Agung, Menteri Dalam Negeri, belum bersedia memberikan keputusan. Mahkamah Agung mengatakan tidak bisa memberi rekomendasi seperti yang diminta Mendagri, karena gugatan terhadap Ahok masih diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sedangkan Mendagri Tjahjo Kumolo, mengatakan pihaknya masih memegang keputusan sebelumnya, yakni menunggu tuntutan jaksa terhadap kasus Ahok. Bahkan Mendagri juga terkesan melemparkan bola kepada Presiden Jokowi, dengan mengatakan pihaknya menunggu kebijakan Presiden.
Tak ayal, kondisi itu mendapat tanggapan dari Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti. Ia mendesak pemerintah dan MA tidak saling melempar tanggung jawab terkait status Ahok yang masih aktif sebagai Gubernur DKI Jakarta kendati tersangkut kasus hukum.
"Polemik soal jabatan gubernur ini harus selesai. Ada gejala lempar tanggung jawab," ujarnya.
Mu'ti mengatakan gejala lempar tanggung jawab itu tampak dalam pernyataan terkait jabatan Ahok baik dari versi Presiden Joko Widodo, Mendagri Tjahjo Kumolo dan Mahkamah Agung (MA). "Saat ditanya ke Presiden, Presiden bilang itu urusan Menteri Dalam Negeri, saat ditanyakan ke Mendagri agar menanyakan ke MA, sementara MA menyebut tidak perlu meminta fatwa soal status jabatan Ahok tapi bisa dari presiden langsung," katanya.
Gejala lempar tanggung jawab, kata dia, justru akan membingungkan masyarakat sehingga berada dalam polemik yang tidak pasti. Menurutnya, posisi pemangku kepentingan terkait status jabatan Ahok harus jelas.
"Jika boleh rangkap maka jelas. Sekarang tidak ada kejelasan," kata dia.
Mu'ti berharap persoalan Ahok segera selesai karena jika tetap berkepanjangan dapat membuat setiap pihak terus fokus pada kasus tersebut. "Kalau terus berlangung tidak selesai-selesai, energi kita akan terkuras habis hanya untuk satu persoalan. Padahal masih banyak persoalan lain yang ada di depan mata serta membutuhkan tindak lanjut," jelasnya. (rol, ral, sis)