Konsep Bantuan Hukum
RIAUMANDIRI.CO - DI dalam negara demokrasi, penegakan hukum menjadi salah satu indikator untuk menilai demokrastis atau tidaknya suatu negara. Penegakan hukum dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek; yaitu dari sisi aspek regulasi, aspek aparat penegak hukum, dan aspek budaya hukum. Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat), negara wajib memberi jaminan kesetaraan bagi setiap warga negaranya di hadapan hukum (equality before the law). Bahkan, sila kedua, dan sila kelima Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar), telah menjamin persamaan hak asasi dan keadilan itu.
Sebagai suatu indikator demokrasi, maka penegakan hukum juga tak boleh mengabaikan prinsip-prinsip pemberian bantuan hukum. Sebab, bantuan hukum juga menjadi parameter untuk melihat proses penegakan hukum di suatu negara sudah berjalan dengan baik atau sebaliknya. Bahkan juga, merupakan salah satu syarat penting terwujudnya fungsi peradilan yang baik. Yaitu ketika setiap orang bisa mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak (fair and impartial court). Kedudukan seseorang yang lemah dan tidak mampu, tak menghalanginya untuk mendapatkan suatu keadilan. Karena bantuan hukum adalah sarana bagi warga negara yang tidak mampu mendapatkan akses keadilan, dan sebagai manifestasi atas jaminan hak-haknya di dalam konstitusi.
Konsep Bankum
Melihat sejarahnya, konsep bantuan hukum di Indonesia, pertama kali digagas pada era 1970-an. Konsep bantuan hukum diperkenalkan melalui wadah lembaga advokat, yaitu pada saat kongres III Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) 1969. Peradin yang saat itu di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution, selanjutnya menginisiasi lahirnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebagai semacam proyek percobaan (pilot project) untuk memperkenalkan konsep bantuan hukum di Indonesia.
LBH Jakarta mulai beroperasi berkat dukungan Pemerintah Ibukota Jakarta, sewaktu Gubernur DKI Jakarta dijabat Ali Sadikin atau lebih populer biasa dipanggil Bang Ali. Kasus tanah di Simprug, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan menjadi kasus pertama ditangani LBH Jakarta saat membela masyarakat melawan pengusaha pembangunan perumahan mewah ketika itu. Langkah awal tersebut, sekaligus menjadi debut perdana Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Kira-kira 35 tahun lalu atau tak lama setelah berdiri pada 28 Oktober 1970. Ketika itu kompetensi dasar (core competence) LBH adalah membuka akses memperoleh keadilan (access to justice), yaitu membantu rakyat kecil yang hak-haknya tertindas untuk mendapat keadilan.
Pemberian bantuan hukum oleh LBH, awalnya hanya sebatas pada bantuan hukum individual. Hal itu terimplementasikan di dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 16/2011 tentang Bantuan Hukum, selanjutnya disebut Bankum yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia pada 2011. Lahirnya UU Bankum ini mencerminkan, bahwa negara telah berbenah untuk memberikan hak yang sama bagi semua warga negara di hadapan hukum. Pemberian Bankum tanpa memandang kedudukan di masyarakat, tentunya merupakan bentuk rasa keadilan sehingga ketimpangan yang selama ini terjadi dapat dihindarkan. Konsepnya, yang miskin tak terpinggirkan, dan yang kaya tetap bisa mendapatkan keadilan. Sehingga rasa keadilan dapat terpenuhi secara menyeluruh.
Bantuan Hukum Struktural
Sejak awal pendirian LBH, atau jauh sebelum lahirnya UU Bankum, YLBHI ikut memberikan konsep pemikiran bagaimana Bankum di Indonesia tak hanya fokus pada individual saja, namun juga Bantuan Hukum Struktural (BHS). Kekeliruan gerakan bantuan hukum sebelum terbitnya UU Bankum, mengkoreksi gerakan bantuan hukum selama ini yang terlalu individual dan bersifat kota. Maka lahirlah pemikiran untuk memperkenalkan gerakan Bankum struktural. Gerakan Bankum struktural ini menekankan pada dimensi sosial politik dalam mendorong perubahan di tingkat supra struktur dan pada tingkat infrastruktur politik.
Sehingga dalam kerja-kerja yang dilakukan YLBHI, terdapat dua macam bantuan hukum. Pertama, Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang merupakan ruh dari kerja-kerja para pemberi bantuan hukum di YLBHI. Yakni sebuah gerakan bantuan hukum yang tidak hanya menyentuh individual, namun lebih kepada perubahan-perubahan struktural transformatif melalui pembaharuan hukum dan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip ketatanegaraan yang demokratis. Kedua, adalah bantuan hukum cuma-cuma yang berlaku sejak adanya UU Bankum. Perbedaannya hanya dari sisi penerima manfaat dan hasil dari kerja-kerja yang dilakukan.
LBH Pekanbaru
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru bernaung di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), berdiri pada tahun 2005. LBH Pekanbaru bekerja dengan pola gerakan bantuan hukum struktural dan bantuan hukum cuma-cuma. Awal berdirinya LBH Pekanbaru adalah untuk menyikapi dan melakukan advokasi terhadap ketimpangan struktural yang terjadi di Provinsi Riau. Cakupan isu yang kerap dipegang LBH Pekanbaru adalah pelanggaran HAM, seperti kebebasan berserikat, berkumpul dan beragama dan berkeyakinan, konflik agraria dan konflik sumber daya alam melawan perusahaan, perburuhan, pelanggaran prinsip peradilan yang jujur dan adil (fair trail), kekerasan terhadap perempuan dan anak serta beberapa bentuk pelanggaran HAM lainnya.
Kasus terhadap isu-isu tersebut mempunyai suatu karakteristik, yaitu kasus yang ada tidak hanya di lihat sebagai sesuatu yang harus diselesaikan, melainkan juga untuk melihat adanya konflik sosial yang lebih dalam. Dengan demikian, langkah yang diambil tidak terbatas hanya pada tindakan hukum semata, tapi juga politik. Misalnya, seperti mendesak lembaga legislatif dalam menuntut pengakuan hak, hukum yang adil dan penolakan kesewenang-wenangan oleh kekuasaan. Sedangkan, pelanggaran prinsip fair trail oleh para penegak hukum di lapangan merupakan isu yang paling cukup menyita perhatian dan menjadi suatu permasalahan tersendiri di Riau.
Selanjutnya, LBH Pekanbaru juga melakukan pengamatan langsung di lapangan, dimana masih rendahnya keberanian aparat penegak hukum untuk menyediakan hak bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa. Padahal dalam Pasal 54 dan 56 KUHAP menjelaskan, tersangka atau terdakwa wajib mendapatkan bantuan hukum. Namun faktanya di lapangan, penyidik di kepolisian masih enggan memenuhi hak-hak tersangka tersebut. Alasan penyidik, hanya karena tersangka menolak di dampingi dan dibuatkan surat pernyataannya oleh penyidik. Hal tersebut bahkan diamini oleh para hakim di Indonesia. Padahal secara prinsip hukum, secarik kertas surat pernyataan yang ditandatanggani oleh tersangka dan terdakwa, tak dapat menghilangkan hak seseorang begitu saja sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan. Sesungguhnya, secara hirarki peraturan perundang-undangan itu, bahwa undang-undang jauh lebih tinggi kedudukannya di atas surat pernyataan itu. Namun hal itu sering terjadi dan sering LBH Pekanbaru menjumpainya di dalam praktek di lapangan.
Jaminan Bankum
Salah satu contoh kasus pencabulan yang menimpa seorang anak bernama A (nama disamarkan) di Riau. Dalam kasus tersebut, A disidik sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH), mengutip istilah yang lazim digunakan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Di tingkat kepolisian, A tidak di dampingi oleh penasihat hukum (Ph). Penyidik saat itu berdalih telah menawarkan penasihat hukum, namun ibu si A menolak. Dan A yang saat itu berusia 12 tahun dibuatkan surat pernyataan yang dicap jempol oleh dirinya sendiri dengan menyatakan A menolak untuk di dampingi oleh Ph. Kasus ini berlanjut hingga ke pengadilan. Barulah ibu si A mendatangi LBH Pekanbaru setelah diarahkan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan minta didampingi.
Dalam keterangan tersebut ibu si A tidak diberi tahu jika ada pengacara yang cuma-cuma dan hal tersebut tidak dijelaskan oleh penyidik sehingga ibu si A menolak di dampingi saat di tingkat kepolisian. Dalam kasus tersebut, putusan pengadilan dengan hakim tunggal menolak dalil pembelaan Penasihat Hukum dan lebih membiarkan menerima surat pernyataan yang jelas-jelas bertentangan dengan norma hukum yang ada dan tidak berdasarkan hukum. Padahal dalam kasus tersebut, mendapat pendampingan ataupun bantuan hukum adalah wajib, dan penyidik, jaksa maupun hakim dapat menunjuk langsung penasihat hukum atau advokat guna mendampingi A. Kasus ini hingga kini masih di tahap kasasi dan belum ada putusannya.
Kasus si A tersebut mencerminkan, bahwa bantuan hukum belum menjadi suatu kebiasaan hukum dalam sistem peradilan kita. Masih banyaknya penyelewengan dan pelanggaran dalam tahapan, baik dari penyidikan hingga pengadilan karena tidak di dampinginya tersangka atau terdakwa. Hal tersebut lebih kepada kesadaran aparat penegak hukum terutama penyidik agar bersifat lebih inisiatif, karena masalah biaya bukan lagi menjadi problem lagi bagi pemberian bantuan. Saat ini Negara melalui UU No. 16/2011 telah menjamin adanya bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa yang kurang mampu. Tinggal bagaimana aparat penegak hukum mau menerapkan ketentuan tersebut atau tidak. Maka LBH Pekanbaru dalam hal ini akan terus mendorong dan mengupayakan suatu sistem bantuan hukum menjadi suatu budaya di masyarakat. Sehingga haus akan keadilan di tengah tandusnya proses peradilan di Indonesia dapat terobati dengan setitik harap dari adanya program bantuan hukum struktural dan cuma-cuma dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Semoga.
Penulis adalah Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru terpilih 2017 - 2021.