Outward Looking dan Open Minded
(riaumandiri.co)-Diplomasi merupakan seni berunding atau seni bernegosiasi, atau secara lebih luas diartikan keseluruhan kegiatan untuk melaksanakan politik luar negeri suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain untuk memperoleh tujuan tertentu. Sebagai sebuah seni, sebuah taktik diplomasi tertentu belum tentu efektif untuk memenangkan negosiasi, karena keberhasilan diplomasi sangat tergantung kapasitas suatu negara (in group) dihadapkan dengan kapasitas negara lain (out group).
Presiden Donal Trump sebelum resmi dilantik menjadi Presiden AS pada 24 Januari 2017, mencoba melakukan bluffing diplomacy (diplomasi menggertak) terhadap Tiongkok yaitu pada 2 Desember 2016 Trump melakukan pembicaraan telepon 10 menit dengan Presiden Taiwan, Tsai Ing-Wen yang menyatakan tidak mau terikat dengan kebijakan satu China (one China policy). Tindakan Trump disikapi oleh Presiden China Xi Jinping dengan silent diplomacy (diplomasi diam) dengan memilih memboikot komunikasi dengan Presiden Donal Trump, sebagai reaksi protes terhadap Donal Trump. Dalam konteks Laut Tionkok Selatan, Sekretaris Amerika Serikat melalui Juru Bicara Gedung Putih, Sean Spicer juga melakukan bluffing diplomacy terkait komentar dengan mengatakan Amerika Serikat akan melindungi kepentingan Amerika Serikat di Laut Tiongkok Selatan. Hal ini, direspon Tiongkok dengan bluffing diplomacy melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hua Chunying dengan mengatakan Tiongkok mendesak Amerika Serikat untuk menghormati fakta, berbicara dan bertindak hati-hati untuk menghindari kerugian perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan ( Mel, Amerika Serikat Di Bawah Trump Pertegas Sikap Soal Laut China Selatan; Rmol, 24 Januarai 2017).
Pada akhirnya, Amerika Serikat harus melakukan quiet diplomacy (diplomasi tenang) melalui penasehat keamanan, Dubes AS melakukan komunkasi antar pihak, memberian ucapan Lunar New Year, dan lain-lain, yang pada akhirnya Trump menelpon Xi Jinping untuk menyatakan menghormati kebijakan satu China.
Hal itu menggambarkan pentingnya memahami dan menerapkan taktik diplomasi yang proporsional dalam merespon setiap peristiwa, termasuk mengajarkan setiap pejabat negara agar proporsional merespon setiap peristiwa politik dan pemerintahan yang terjadi dalam suatu negara. Hubungan baik Indonesia-Tiongkok saat ini, juga direspon secara tidak proporsional sehingga berkembang “isu bangkitnya komunis”, “isu kepungan tenaga kerja asing” dan “isu Indonesia menjadi wilayah pertarungan Tiongkok – Amerika Serikat”. Dengan berkembangnya, isu tersebut semestinya pejabat pemerintah tidak terlalu gagap merespon isu kepungan tenaga kerja Tiongkok, dengan menyatakan bahwa TKA China hanya 20 s.d 22 persen dari total TKA di Indonesia. Namun lebih proporsional dalam memberikan respon karena dengan 20 s.d 22 persen TKA China memang terbesar dari TKA lainnya, serta pembebasan visa kunjungan dan meningkatnya investasi China di Indonesia memang selaras dengan peningkatan TKA dari China.
Berkembangnya isu ini, bisa jadi karena kita kurang berfikir outward looking dan open minded dalam melihat hubungan Indonesia – Tiongkok. Berfikir outward looking, mengarahkan agar berusaha meneropong jauh ke luar (negara-negara asing) agar perspektif dan spektrum pandangannya lebih luas, namun outward looking bukan diartikan berorientasi ke luar (asing), sehingga masyarakat semakin kaya pemahaman dalam mengatasi persoalan internal. Sedangkan, open minded yaitu seseorang memiliki pikiran terbuka karena dapat menerima ide-ide atau informasi, namun bukan berarti pikiran terbuka adalah orang yang mudah terpengaruh dan mudah goyah prinsipnya. Open minded memberikan ruang untuk menerima ide-ide yang logis tanpa harus skeptis, penuh prejudice dan merasa terancam.
Seluruh warga, semestinya memahami bahwa hubungan Indonesia – Tiongkok bukan terkait dengan kebangkitan komunisme, kepungan TKA China dan daerah pertarungan China – Amerika Serikat. Warga Indonesia perlunya memahami bahwa:
Pertama, dalam pergaulan dunia modern, sebuah negara tidak bisa melakukan alienasi negaranya tanpa bergantung dengan negara lain. Kerjasama bilateral dan multilateral maupun aliansi dengan negara lain sangat menentukan bargaining position suatu negara, sehingga Indonesia harus membuka diri untuk melakukan kerjamasa dengan negara manapun untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Kedua, Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor Indonesia terbesar kedua setelah Amerika Serikat, yaitu sekitar 15% produk ekspor Indonesia dikirim ke Tiongkok. Disamping itu, Tiongkok sebagai negara dengan ekonomi kedua terbesar kedua setelah Amerika Serikat menjadi mitra yang sangat penting bagi Indonesia. Kerjasama bilateral Indonesia – Tiongkok sangat strategis dalam membangun aliansi Indonesia di antara negara-negara besar dunia lain. Disampuing itu, China atau Tiongkok merupakan salah satu negara super power yang diperbolehkan mengembangkan senjata nuklir sesuai Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty atau NPT), diantara Amerika Serikat, Rusia (bekas Uni Soviet), Britania Raya (Inggris) dan Perancis.
Ketiga, peningkatan investasi harus meningkatkan lapangan kerja. Sebagaimana Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 16 Tahun 2015 menyebutkan bahwa perusahaan atau lembaga yang memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA), maka setiap memperkerjakan 1 TKA harus menyerap 10 TKI, meskipun dikecualikan bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau anggota Pembina, anggota Pengurus, Anggota Pengawas, TKA yang bekerja darurat, TKA bekerja untuk sementara dan TKA dalam usaha jasa impresariat. Dengan kebijakan ini, maka setiap proyek dan investasi Asing yang memperkerjakan TKA secara otomatis akan membuka peluang kerja bagi warga Indonesia.
Dengan berfikir outward lokiing dan open minded, tentunya Pemerintah Indonesia sebagai negara yang hendak mewujudkan kesejahteraan rakyatnya dapat menerima beberapa hal, yaitu:
Pertama, proteksi: belajar dari kebijakan Donald Trump yang resmi menarik diri dari keanggtoaan TPP pada 24 Januari 2017 setelah pelantikkannya. Penarikan diri Amerika Serikat, disinyalir untuk melakukan proteksi dalam memacu pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang memburuk. Dengan tetap berada di TPP, Amerika Serikat terpasung dalam perdagangan jasa dan barang anggota TPP yang bebas dari prosedur dan bea masuk. Disisi lain, Tiongkok tetap memberlakukan standar dan aturan administratif terhadap barang-barang impor yang masuk ke Tiongkok untuk melakukan proteksionis. Selaras dengan kebijakan proteksionis bahwa meskipun kerjasama multilateral mengikat adanya perdangan bebas kawasan, namun kerjasama bilateral penting adanya kesepakatan kawasan industri bebas. Hal ini sangat penting untuk memangkas prosedur admistrasi, mengawasi standar yang diterapkan dan mengontrol produk-produk yang disepakati sebagai produk yang bebas untuk diperdagangkan. Sebagai contoh, Malaysia meminta agar China membuat kawasan Industri bebas bea di China, dan pada waktu bersamaan China juga meminta agar Malaysia membangun kawasan Industri bebas bea di Malaysia. Inisiatif ini ditanggapi oleh China dan Malaysia dengan ditandai pembangunan Industrial Park China – Malaysia di Qinzhou dengan luas 55 KM2., dan China juga membangun Kawasan Industri China-Malaysia di Kuantan-Malaysia seluas 5000 Hektar. Keduanya dikerjakan dalam koridor CAFTA (China-ASEAN Free Trade Area).
Kedua, Investasi Asing menjadi alternatif. Dengan mengambil istilah “There no ain’t such thing as a free lunch”, investasi Tiongkok di Indonesia tetap bertujuan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi Tiongkok. Negara-negara yang kuat secara ekonomi, lebih banyak digerakan denganinvestasi dalam negeri untuk membangun negaranya. Investasi ke luar negeri merupakan kebijakan invansi secara ekonomi. Banyak negara-negara maju, melakukan invasi investasi keberbagai negara untuk melakukan penjajahan secara ekonomi.
Ketiga, peningkatan investasi harus meningkatkan lapangan kerja. Sebagai contoh, PT. Conch South Kalimantan Cement di Kalsel, saat ini mempekerjakan TKA asal Cina berjumlah 121 orang yang ditempatkan pada jabatan kepala bagian dan general manajer (GM). Sedangkan untuk pekerja lokal, PT. Conch sendiri mempekerjakan sebanyak 423 orang (eka, Hanya Pegang Izin Terbatas, Jumlah Pekerja Asing di PT Conch Ternyata; ProKalsel, 25 Desember 2016), seharusnya bisa memenuhi 1 : 10 antara TKA China berbanding TKI dengan memperhitungan jabatan yang dikecualikan.
Penulis adalah Pemerhati Masalah sosial dan Perilaku, Alumnus Pasca Sarjana Universitas Indonesia