Ketenangan di Masa Tenang
(riaumandiri.co)-TIGA hari ini, terhitung sejak tanggal 12 – 14 Februari 2017, seluruh kegiatan pasangan calon memasuki masa tenang. Tak boleh ada lagi yel-yel, atau foto baliho, umbul-umbul dan spanduk yang memajang pasangan calon terpampang di pinggir jalan. Tak boleh lagi bicara dengan ajakan memilih pasangan calon A, atau pasangan calon B.
Status media sosial juga harus sudah di-off line-kan. Pokoknya, semua yang berbau kampanye sudah di-stop sejak pukul 00.00 Wib pada 12 Februari kemarin. Semuanya harus saling menahan, dan ‘puasa bicara’. Para pasangan calon, partai politik pengusung dan para pendukung harus benar-benar menghormati masa tenang ini.
Massa kampanye, kurang lebih 105 hari terhitung 28 Oktober 2016 – 11 Februari 2017 dinilai sudah cukup. Apalagi masa kampanye pemilihan kepala daerah kali ini, boleh dibilang masa kampanye yang terpanjang dalam sejarah kepemiluan di Indonesia.
Bandingkan dengan kampanye Pemilu Legislatif yang hanya kurang lebih 85 hari atau Pemilu Presiden yang jauh lebih singkat, yaitu 32 hari. Atau pemilihan kepala daerah sebelum-sebelumnya yang relatif masan kampanyenya pendek.
Ruang kampanye, dengan berbagai bentuknya, seperti; pemasangan alat peraga, pertemuan terbatas, dialog, pemasangan iklan di media, penyebaran bahan kampanye dan debat terbuka. Atau kampanye bentuk lainnya, seperti; rapat umum, kegiatan kebudayaan, kegiatan olahraga, kegiatan sosial dan kampanye di media sosial. Masa yang panjang dengan berbagai bentuk ruang kampanye yang tersedia itu sudah sangat memadai. Bahkan kadang, karena panjangnya masa kampanye tak jarang membuat pasangan calon jenuh. Lalu, mereka menyiasati tak seluruh masa kampanye yang tersedia digunakan untuk berkampanye.
Larangan di masa tenang
Wajar, jika regulasi secara tegas melarang bentuk kampanye dalam bentuk apapun di masa tenang. Masa tenang, harus menjadi masa recovery untuk menghadapi hari pencoblosan dan penghitungan suara di TPS, yang jatuh 15 Februari 2017. Pemilih perlu diberi waktu dengan tenang untuk menentukan pilihannya. Begitu pula pasangan calon perlu menenangkan diri menghadapi hasil ‘pertarungan’ yang sesungguhnya. Segala tenaga, usaha dan upaya sudah dikerahkan. Karenanya, semua perlu ketenangan. Yakinlah, hasil takkan jauh dari usaha yang sudah diusahakan.
Pengaturan
Pengaturan masa tenang tidak diatur secara rinci dan detil. Pengaturannya, baik di UU No. 1/2015 sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU No. 10/2016 tentang pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan walikota-wakil walikota, yang sering disebut pemilihan kepala daerah (pilkada) hanya satu pasal saja. Misalnya, Pasal 67 ayat (1) UU No. 1/2015 menyebutkan, “Kampanye dilaksanakan 3 (tiga) hari sejak penetapan pasangan calon sampai dengan dimulainya masa tenang”. Begitu pula di Pasal 67 ayat (2) menyebutkan, “Masa tenang berlangsung selama 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara”.
Ada ancaman pidana
Tidak ada penjelasan lebih rinci sesungguhnya seperti apa masa tenang itu. Poin penting yang dirujuk untuk diperhatikan oleh pasangan calon adalah batasan masa kampanye berakhir sampai masa tenang. Lalu mengatur tentang jumlah hari di masa tenang, yaitu 3 (tiga) hari jelang pemungutan suara. Larangan di UU ini justru ditemukan di bagian ketentuan pidana, yaitu di Pasal 187 ayat (1) UU No. 1/2015 yang mengatur “setiap orang” dengan sengaja melaksanakan kampanye di luar jadwal yang sudah ditetapkan KPU dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan denda sebesar Rp100 ribu atau paling banyak Rp1 juta.
Begitu pula dalam peraturan pelaksanaannya melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 12/2016 perubahan terakhir atas PKPU No. 7/2015 tentang kampanye juga tak mengatur rinci. Hanya ada tambahan, penegasan kembali larangan melakukan kampanye di masa tenang. Yaitu di Pasal 49 ayat 3 bahwa, “Pada masa tenang pasangan calon dilarang melaksanakan kampanye dalam bentuk apapun”. Meski tak diatur terperinci, selama ini masa tenang cukup dihormati dan dipatuhi oleh semua pasangan calon, partai pengusung dan para pendukungnya. Sudah sewajarnya, jika masa tenang ini betul-betul dijadikan ruang untuk menciptakan ketenangan. Jauh dari kegaduhan, dan hiruk-pikuk pengerahan massa.
Kesibukan penyelenggara
Masa tenang, justru menjadi masa yang paling disibukkan bagi penyelenggara, khususnya KPU. Karena di masa inilah logistik dan perlengkapan pemilihan di TPS didistribusikan. Pada masa ini, menjadi waktu yang paling krusial. Persiapan matang yang sudah ditempuh kurang lebih 10 bulan lamanya, betul-betul diuji pada proses 3 hari masa tenang ini.
Penyelenggara belum bisa tenang, jika logistik berupa surat suara, formulir penghitungan, perlengkapan TPS, dan kelengkapan lainnya sudah betul-betul dipastikan sampai di seluruh TPS. Tak hanya sampai, tapi juga ketercukupan jumlah dan jenis logistik harus diperhatikan. Tak sampainya logistik di suatu TPS, dapat berakibat pemungutan di suatu TPS tertunda. Bahkan, jika sampai waktu yang ditentukan juga belum sampai, maka pemungutan di TPS yang bersangkutan akan dimasukkan sebagai pemungutan susulan.
Jika para pasangan calon dan tim pendukungnya ‘puasa’, tak demikian halnya dengan penyelenggara. Di tengah kesibukan mengurus distribusi logistik, sebaliknya KPU dianjurkan menggunakan ruang sosialisasi untuk terus-menerus mengajak pemilih datang ke TPS. Pasalnya, masa tenang 3 hari efektif untuk mengingatkan masyarakat yang mempunyai hak pilih untuk menggunakan haknya dengan sebaik-baiknya. Ajakan KPU kepada masyarakat pemilih harus diarahkan kepada ajakan memilih dan mendatangi TPS.
Siapa pun pilihannya, itu adalah hak pemilih dan dijamin sesuai azas: jujur, adil (jurdil), langsung, bebas dan rahasia (luber). Kewajiban KPU adalah bagaimana hak pilih pemilih disalurkan ke TPS, tak ada pemilih yang tidak menggunakan haknya untuk memilih. Dan menjamin tak ada seorang pun pemilih yang kehilangan hak memilihnya. Semoga.
Penulis adalah anggota KPU Riau