Arsul: Kepala Daerah Terdakwa Harus Diberhentikan
JAKARTA (riaumandiri.co)-Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan pemberhentian sementara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, tak perlu dilakukan. Hal itu mengacu pada Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Pernyataan Refly dinilai anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengandung kekeliruan. Arsul mengatakan Refli menggunakan penafsiran leksikal atas kata 'paling sedikit' dalam bunyi Undang-Undang tersebut.
"Kekeliruan sudut pandang Refly atas Pasal 83 UU 23 Tahun 2014 adalah ia hanya menafsirkan bunyi pasal itu secara leksikal, tidak melihat risalah pembahasan yang melandasi perumusan pasal itu ketika dibuat oleh pembentuk UU (yakni DPR dan Pemerintah)," ujar Arsul, Sabtu (11/2) malam.
Menurut Arsul, kepala daerah yang menjadi terdakwa dalam kasus pidana dengan ancaman 5 tahun harus diberhentikan sementara.
"Kalau kita lihat kembali risalah pembahasannya maka maksud pembentuk UU adalah siapapun kepala daerah yang kemudian menjadi terdakwa dalam suatu perkara pidana dengan ancaman pidananya dari 5 tahun maka ia harus diberhentikan sementara," jelas Arsul.
"Pembentuk UU memang menggunakan kata "paling singkat", namun maksudnya adalah untuk mengcover ancaman pidana 5 tahun baik yang 5 tahunnya itu sebagai ancaman paling lama atau paling singkat. Pasal 156a KUHP yang dikenakan kepada Ahok itu memang dirumuskan ancamannya paling lama 5 tahun," lanjutnya.
Menurut Arsul, jika menafsirkan isi dari UU tersebut dengan akrobat penafsiran leksikal maka hal itu akan melepaskan dari penerapan UU kontekstual.
Tak Objektif
Sementara itu, kebijakan Mendagri mengaktifkan Ahok kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta, terus mendapat sorotan. Kali ini datang dari Pemuda Muhammadiyah. Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik, Faisal, menilai, wajah hukum tidak begitu berdaulat ketika berada di depan rentetan peristiwa yang berkaitan dengan Ahok.
"Begitu rumitnya seperti kita sedang berhadapan pada situasi kasus yang maha sulit padahal cukup simpel jika melihat unsur pasal penistaan agama," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu kemarin.
Kemudian, kata dia, saat di persidangan pihak terdakwa mengatakan memiliki bukti percakapan yang berujung pada spekulasi publik menuding adanya indikasi melakukan penyadapan tanpa hak. Hal ini jelas melanggar undang-undang. Bahkan, menurut Faisal, penegak hukum tak berupaya sedikitpun menindaklanjuti pernyataan pihak terdakwa apalagi ini bukan delik aduan.
"Bahkan, belakangan langkah Mendagri yang tidak memberhentikan sementara terdakwa mem buat daftar panjang jika hukum betul betul tidak berdaulat," ujarnya.
Terkait pernyataan Mendagri yang mengatakan menunggu tuntutan terhadap Ahok untuk mengambil keputusan pemberhentian, Faisal melihat dalih Mendagri sama sekali tidak memperhatikan prinsip obyektivitas dan prinsip tidak berpihak dalam menegakkan hukum dan UU.
Kemudian, ujar Faisal, sebagai Mendagri tentu dalam mengambil keputusan yang dilihat adalah tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bukan malah cenderung memihak.
Faisal menyebut apabila pemerintah masih bangga menggunakan istilah reformasi dalam berhukum, sudah tentu kedaulatan terhadap hukum mutlak harus diberikan. "Janganlah kuasa politik menjadi pemasung dan di ujung sana hukum menjadi tidak berdaulat," ujarnya. (dtc/rol/sis)